Mitologi Galungan, Melawan Raja Angkuh yang Suka Disembah

Umat Hindu di Indonesia, khususnya Pulau Bali, akan merayakan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan. Kenapa harus merayakannya dua kali? Sekadar diketahui, Galungan dan Kuningan memakai sistem wuku. Wuku di Bali ada 30. Satu wuku lamanya tujuh hari. Sehingga 30 wuku x 7 hari = 210 hari. Dari 210 hari : 30 hari (Kalender masehi) = 7 bulan. Sehingga perayaan ini dilakukan setiap tujuh bulan sekali berdasarkan kalender masehi.
Tak hanya Galungan dan Kuningan saja. Hal ini berlaku juga untuk Hari Raya Saraswati, dan otonan yang dilakukan setiap tujuh bulan sekali berdasarkan kalender masehi.
Hari Raya Suci Galungan memiliki makna perayaan kemenangan kebajikan (dharma) melawan kebatilan (adharma). Sepertinya kita harus mengingat kembali bagaimana filosofi Hari Raya Galungan itu sendiri. Harapannya agar umat bisa memaknai perayaan ini lebih mendalam, sehingga bisa menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya.
Berikut ini mitologi, filosofi, dan cara memaknai Hari Raya Suci Galungan:
1. Mitologi Hari Raya Galungan adalah melawan seorang keturunan raksasa bernama Raja Mayadenawa yang sombong dan angkuh
Berdasarkan mitologi Hindu Bali yang berkembang tentang Hari Raya Suci Galungan menyebutkan, ada seorang keturunan Daitya (Raksasa) di daerah Blingkang (Sebelah Utara Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur, bernama Raja Mayadanawa. Ia raja sakti dan paling ditakuti, yang dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkan. Raja Mayadanawa hidup di masa Mpu Kul Putih. Daerah Makassar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan dapat ditaklukkan oleh kesaktian Raja Mayadanawa. Karena kesaktian itu pula, Mayadenawa menjadi sombong dan angkuh. Ia ingin disembah oleh masyarakat Hindu Bali, melarang semua umat untuk datang ke pura dan memuja Tuhan. Lama kelamaan rakyat menjadi sengsara dan dunia menjadi tidak seimbang. Tanaman penduduk rusak dan wabah penyakit ada di mana-mana.
Melihat Mayadenawa sikapnya seperti itu, Bhatara Indra diutus oleh para dewa ke dunia untuk menghancurkan kejahatan Mayadenawa. Bhatara Indra membawa pasukan tempur yang siap menyerang raja sombong itu.
Namun untuk membunuh Mayadenawa tidak mudah karena sakti mantraguna. Pasukan Bhatara Indra sampai kewalahan. Mayadenawa terkenal sakti karena bisa berubah wujud dalam pelariannya. Ia beberapa kali berhasil mengelabui Bhatara Indra.
Tidak hanya itu. Bahkan Mayadenawa berhasil meracuni sebuah mata air, yang mengakibatkan seluruh pasukan Bhatara Indra mati saat meminum airnya. Namun berkat kesaktian Bhatara Indra, ditancapkanlah kerisnya ke tanah, dan muncul mata air yang bisa menghidupkan kembali pasukannya. Konon, mata air tersebut dinamai Tirta Empul.
Pada akhirnya, kebaikan akan selalu menang dari kejahatan. Meski sakti, Mayadenawa akhirnya bisa dikalahkan. Mayadenawa terdesak, dia melarikan diri dengan menjejakkan telapak kakinya secara miring. Tempat itu lalu dikenal dengan nama Tampak Siring. Akhirnya Bhatara Indra bisa membunuh Mayadenawa.
Kemenangan Bhatara Indra dalam menghancurkan kejahatan Mayadenawa ini kemudian dirayakan sebagai hari Raya Galungan dan Kuningan, yang secara filosofis bermakna merayakan kemenangan kebajikan (Dharma) melawan kebatilan (Adharma).