Mengenal Tradisi Unik di Bali, Ari-ari Bayi Digantung di Kuburan

Sebanyak 11 macam kebudayaan Bali belum lama ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia tahun 2020 oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (RI). Satu di antaranya tradisi Ari-ari megantung yang sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Bayunggede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Keunikan dari tradisi ini adalah ari-ari bayi milik masyarakat Desa Adat Bayunggede tidak ditanam di pekarangan rumah. Melainkan digantung di pohon daerah kuburan khusus ari-ari (Setra Ari-ari) Desa Adat Bayunggede. Mengutip dari hasil penelitian serangkaian pengusulan tradisi Ari-ari Megantung menjadi WBTB Indonesia, berikut fakta tradisi Ari-ari Megantung:
1. Ari-ari dari bayi yang baru lahir dilarang dikubur di pekarangan rumah menurut kepercayaan Desa Adat Bayunggede
Lazimnya, masyarakat Bali yang baru memiliki bayi, ari-arinya dikubur di pekarangan rumah. Biasanya ditanam di samping pintu masuk menuju dapur. Namun lain halnya dengan tradisi Ari-ari Megantung yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Adat Bayunggede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat Desa Adat Bayunggede, tidak diperbolehkan atau dilarang untuk mengubur ari-ari (Plasenta) bayi yang baru lahir di dalam pekarangan rumah. Hal ini karena masyarakat Desa Adat Bayunggede sangat menghormati Ibu Pertiwi. Seluruh pekarangan perumahan yang ada di desa tersebut merupakan kawasan yang disucikan. Karena itu, menanam ari-ari di pekarangan rumah dianggap akan menyebabkan leteh atau kotor secara rohani.
Sekadar diketahui, tradisi Ari-ari Megantung ini telah dilaksanakan jauh sebelum datangnya orang-orang Majapahit ke Bali. Hal itu diketahui melalui sejarah berdirinya Desa Adat Bayunggede, yang telah ada sebelum Bali dipengaruhi oleh Majapahit. Sistem pemerintahan adatnya menggunakan sistem Pemerintahan Adat Uluapad, yang biasanya dijalankan oleh masyarakat Bali Aga atau Bali Mula.