Kabupaten Karangasem dikenal dengan kekayaan budaya dan alamnya. Begitu pula dengan aset pusaka budaya tak ragawinya. Tidak sedikit kini yang sudah hampir dilupakan, terutama oleh generasi muda. Satu di antaranya adalah kesenian cakepung, teater bertutur Bali, yang pada tahun 1920-an banyak dipentaskan di sejumlah desa, di antaranya Karangasem, Jasi, dan Budakeling.
Berdasarkan catatan dalam laporan Rencana Aksi Kota Pusaka Karangasem, diceritakan bahwa kesenian cakepung sesungguhnya bernuansa Sasak (Lombok). Lontar Monyeh yang dijadikan sebagai satu-satunya orientasi kesenian ini, memang berbahasa Sasak.
Lontar Monyeh yang dijadikan sebagai acuan, termasuk satu di antara versi cerita Panji. Karya sastra yang ditulis di atas daun lontar ini berkisah tentang cinta asmara, patriotisme, dan heroisme kaum bangsawan. Kesenian cakepung ini pun diyakini sesungguhnya merupakan upaya untuk mengupas isi sastra, namun disampaikan dalam suasana komunal adat atau ritual agama.
Pada tahun 1760, Raja Karangasem menaklukkan Lombok. Diperkirakan pada saat itulah kesenian cakepung ini mulai bersemi, khususnya di Lombok Bagian Barat. Kemudian kesenian ini perlahan berkembang di Karangasem. Masyarakat Lombok menyebut cakepung sebagai cepung.
Hal yang menonjol dalam kesenian ini adalah bunyi cek dan pung. Diduga dari sanalah muncul nama cakepung itu. Hanya saja hingga saat ini belum diketahui secara pasti arti katanya. Adapun ritme cek yang dipakai adalah sama dengan dalam tari Kecak. Sementara untuk pung, berasal dari bunyi instrumen gamelan Bali.