Mengenal Tradisi Gebug Ende, Cara Warga Adat Memohon Hujan

Karangasem, IDN Times - Desa Adat Seraya di Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem terletak di sebelah timur Pulau Bali. Wilayah dengan jumlah penduduk sekitar enam ribu kepala keluarga (KK) ini berbatasan dengan tiga wilayah. Sebelah timur berbatasan dengan Bunutan, barat dengan Tumbu, dan sebelah selatan berbatasan dengan Selat Lombok.
Walau berada di atas ketinggian, tetapi Desa Seraya memiliki keindahan alam yang memesona. Adat istiadatnya juga masih kental, serta punya budaya yang diwariskan leluhur sebelumnya. Yaitu Tradisi Gebug Ende yang dilakukan secara rutin oleh kramanya. Apa itu Tradisi Gebug Ende? Berikut ini uraian penjelasannya.
1. Tradisi Gebug Ende digelar saat Usaba Kaja di Seraya
Klian Adat Seraya, I Made Salin, mengungkapkan Gebug Ende adalah tradisi sakral yang dilakukan sejak Desa Seraya mulai berdiri. Kebiasaan ini dilaksanakan setiap Usaba Kaja pada Purnama Kapat di Bale Agung Desa Seraya. Prosesi digelar selama tiga hari setelah Usaba Kaja, atau setelah Ida Bhatara mesineb.
"Biasanya kita lakukan sore hari, pukul 16.00 wita. Sebelum dilaksanakan, kita haturkan banten di Bale Agung," kata Salin, Senin (13/1/2025).
2. Sarana yang digunakan dalam Tradisi Gebug Ende
Bunyi gamelan mengiring Tradisi Gebug Ende. Sarana yang digunakan di Gebug Ende yakni penyalin dari kayu rotan. Ini berfungsi untuk memukul lawan. Selain itu, ada sarana bernama ende yang fungsinya untuk menangkis pukulan dari lawan.
Peserta Gebug Ende terdiri dari dua orang. Masing-masing orang akan dibekali satu penyalin dan satu ende. Layaknya seperti pertarungan di atas ring, mereka didampingi oleh seorang saye (wasit). Tujuannya sebagai penengah dan menjaga sportivitas. Sehingga nantinya tidak akan dendam antara peserta yang megebug.
"Peserta tak boleh memukul bagian pinggang serta kaki lawan. Makanya peranan saye (wasit) sangat dibutuhkan saat dilaksanakan gebug," jelasnya.
3. Makna Tradisi Gebug Ende
Tradisi Gebug Ende diyakini masyarakat sebagai sarana untuk memohon hujan. Kata Salin, hal ini selalu terbukti. Karena menurutnya, setelah menggelar Gebug Ende, beberapa kemudian pasti turun hujan.
"Leluhur kami melaksanakan ini dari dulu. Apalagi kalau krama yang melakukan Gebug Ende dilandasi dengan tulus ikhlas. Hujan cepat turun. Kalau sudah hujan, masyarakat pasti akan sejahtera. Karena dia bisa kembali bertani," terang Salin.
Selain untuk memohon hujan, Tradisi Gebug Ende juga sebagai simbol keberanian krama di Seraya. Menurut Salin, dahulu saat penaklukan Kerajaan Sasak, pasukan Seraya yang ada di depan hanya membawa penyalin dan ende.
"Ini bukti keberanian krama Seraya," jelasnya.