Makna Tradisi Dewa Mesraman saat Hari Raya Kuningan

Umat Hindu merayakan Hari Raya Kuningan, Sabtu (3/5/2025). Perayaan ini memang dirayakan setiap Sabtu, Saniscara Kliwon, wuku Kuningan. Selain melakukan persembahyangan, ada beberapa daerah yang melaksanakan tradisi bertepatan dengan Hari Raya Kuningan.
Satu di antaranya adalah Tradisi Dewa Mesraman yang ada di Kabupaten Klungkung. Seperti apa pelaksanaan dan makna tradisi ini? Berikut penjelasannya yang dikutip dari jurnal berjudul Internalisasi Kearifan Lokal Dalam Tradisi Dewa Mesraman Di Desa Paksebali Kabupaten Klungkung (Perspektif Nilai-Nilai Pendidikan) yang ditulis oleh Ida Ayu Nindia Brahmani Putri dan I Ketut Sudarsana.
1. Tradisi Dewa Mesraman awalnya berasal dari Karangasem
Tradisi Dewa Mesraman diadakan di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Tradisi ini secara rutin dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Kuningan. Konon, tradisi ini berasal dari Kabupaten Karangasem.
Pada zaman dahulu, Desa Panti Timbrah yang berada di Karangasem mengirimkan warganya ke daerah perbatasan Klungkung dan Karangasem. Di tempat tersebut, mereka membentuk pemukiman kecil untuk menjaga daerah perbatasan tersebut. Desa Panti Timbrah memiliki Tradisi Dewa Mesraman, yang merupakan warisan dari leluhur mereka.
Warga memilih untuk tetap melaksanakan Tradisi Dewa Mesraman di pemukiman tersebut. Saat ini, daerah tersebut telah masuk menjadi wilayah Klungkung. Pemukimannya telah menjadi Banjar Timbrah, sesuai dengan asal-usul warganya.
Karangasem sendiri memiliki tradisi yang mirip dengan Tradisi Dewa Mesraman. Namanya Tradisi Mebiasa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Jempana. Tradisi Perang Jempana dilaksanakan di perempatan Desa Bugbug, Karangasem.
2. Makna Tradisi Dewa Mesraman
Mesraman berasal dari kata mesra yang memiliki arti senang atau bersenang-senang secara lahir maupun batin. Dewa Mesraman sebagai wujud para Dewa dan warga yang diliputi kegembiraan serta kebahagiaan saat perayaan Kuningan dan pelaksanaan Tradisi Dewa mesraman. Warga Banjar Timbrah melaksanakan tradisi ini dengan tulus ikhlas yang disertai dengan rasa gembira.
Tradisi Dewa Mesraman dilaksanakan di Pura Panti Timbrah di Desa Paksebali. Pura ini merupakan pura kawitan atau dadia, dipuja oleh warga yang memiliki hubungan darah keturunan yang sama. Dalam hal ini adalah warga yang dulunya berasal dari Desa Timbrah, Karangasem.
3. Rangkaian prosesi sebelum pelaksanaan Tradisi Dewa Mesraman
Tradisi Dewa Mesraman dilaksanakan selama dua hari. Hari pertama bertepatan dengan pelaksanaan Hari Raya Kuningan. Warga berkumpul di Pura Panti Timbrah untuk bergotong-royong (ngayah) mempersiapkan sarana yang akan digunakan pada saat prosesi Tradisi Dewa Mesraman.
Satu di antara sarana yang penting adalah pembuatan dua buah penjor. Penjor ini menggunakan hiasan berbentuk Burung Merak yang terbuat dari bahan daun lontar. Penjor ini diletakkan di madya mandala Pura Panti Timbrah. Penjor ini merupakan simbol purusha dan pradhana. Sedangkan Burung Merak sebagai simbol manah atau budi, yang memiliki makna budi secara tulus ikhlas saat menjalankan prosesi Dewa Mesraman.
Pada hari kedua, warga melakukan atur piuning (permohonan izin atau permakluman secara niskala) di gedong tempat disimpannya pratima yang menjadi simbol Dewa. Setelah itu dilakukan prosesi nedunang untuk meletakkan pratima ke sebuah wadah yang disebut dengan joli, atau jempana yang sudah dihias. Terdapat tujuh buah joli yang kemudian dibawa ke Pura Panti Timbrah.
Setelah ketujuh jempana ini dilinggihkan (ditempatkan) di bale pengaruman, warga melakukan Tradisi Megibung. Megibung hanya dilaksanakan oleh anak-anak yang belum beranjak dewasa. Makanan yang disuguhkan adalah nasi, lawar, dan sate.
Setelah megibung, mereka akan mengusung jempana atau joli tersebut ke Tukad (sungai) Unda untuk melakukan prosesi mesucian. Masing-masing jempana diusung oleh dua orang. Prosesi mesucian bertujuan untuk membersihkan jasmani dan rohani warga sebagai persiapan pelaksanaan Tradisi Dewa Mesraman. Setelah prosesi mesucian selesai, Jempana dibawa kembali ke madya mandala Pura Panti Timbrah untuk dihaturkan sarana upacara segehan agung.
4. Prosesi puncak Dewa Pesraman
Saat tiba di madya mandala Pura Panti Timbrah, ketujuh jempana akan disambut oleh tarian rejang dewa dan tari baris yang membawa senjata keris. Kemudian, enam jempana akan diarak (digarap), sedangkan satu jempana tidak mengikuti prosesi tersebut karena jempana tersebut merupakan linggih Ida Bhatara Ratu Lingsir, Ida Bhatara yang dituakan. Ida Bhatara Ratu Lingsir hanya mengawasi jalannya prosesi Dewa Mesraman.
Keenam jempana saling beradu seolah-olah seperti sedang berperang. Hal inilah yang menyebabkan tradisi ini sering disebut dengan Dewa Mepalu. Padahal, sebenarnya gerakan ini sebagai simbol para Dewa yang sedang bergembira.
Setelah prosesi ini selesai, pengusung jempana seakan-akan berebutan saling mendahului untuk masuk ke area utama mandala Pura Panti Timbrah. Setelah seluruh jempana melinggih di utama mandala, mereka bersambahyang untuk memohon berkah dari Ida Sesuhunan yang melinggih di Pura Panti Timbrah. Setelah semua prosesi selesai, masing-masing pratima akan kembali ke tempat penyimpanannnya (gedong).
Pelaksanaan Dewa Mesraman sebagai penghormatan dan pemujaan Dewa yang dipuja yaitu Ida Bhatara Hyang Ratu Gumang, Ida Bhatara Hyang di Batur, Ida Bhatara Hyang Ratu Kelod Kangin, Ida Bhatara Hyang Manik Botoh (Manik Angkeran), Ida Bhatara Ratu Nganten, Ida Bhatara Manik Bingin, dan Sapta Rsi lainnya. Pemujaan dan penghormatan warga Desa Paksebali ini dilakukan agar mereka senantiasa mendapatkan anugerah, perlindungan, panen yang melimpah, serta dijauhkan dari segala penyakit maupun kekuatan negatif. Mereka percaya pelaksanaan Tradisi Dewa Mesraman ini membuat warga dilindungi oleh Ida Sesuhunan dan para leluhur.