Prosesi pelebon Ida Tjokorda Pemecutan XI dengan tingkat uttama. (Dok. Pribadi/Ari Budiadnyana)
Dalam Lontar Yama Tattwa terdapat kutipan bait yang isinya:
Nihan daging kcap Yama Purwana Tattwa, par ssi, tingkah angupakara sawa sang mati, agung alit, nistha madhia utama, maka patuting wulah sang magama tirtha ring Balirajia.
Terjemahannya:
Inilah isi dari Yama Purwana Tattwa tersebut, bila melakukan upacara kematian sesuai dengan kemampuan yang disebut sederhana, menengah, dan utama (Nistha, madhya, uttama), agar tidak menyimpang dari petunjuk bagi umat yang beragama Hindu di Pulau Bali.
Makna dari kutipan di atas adalah bahwa pelaksanaan upacara kematian sangatlah penting dan hendaknya jangan memaksakan diri untuk melakukan upacara yang besar. Akan tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan keluarga yang ditinggalkan, sehingga tidak menjadi beban.
Melaksanakan tingkat upacara ngaben yang utama bukan berarti lebih baik dari yang nistha (Sederhana). Tetapi yang terpenting adalah dilandasi oleh hati yang tulus ikhlas, maka sang Atma akan memperoleh kebahagiaan abadi.
Tingkatan pelaksanaan ngaben adalah salah satu bentuk penghormatan untuk orang yang akan diupacarai.
Agama Hindu di Bali terdapat istilah Catur Dresta, yaitu empat cara atau kebiasaan untuk melakukan suatu yadnya atau upacara. Catur Dresta terdiri dari desa dresta yaitu kebiasaan pada suatu desa, kune dresta yaitu kebiasan yang dilakukan berdasarkan turun temurun, kula dresta yaitu kebiasaan yang dilakukan dalam suatu keluarga, dan sastra dresta yaitu kebiasaan yang harus berpedoman kepada sastra-sastra seperti Weda, Purwana, Babad, Lontar, Tatwa dan sebagainya.
Hal ini sering disebut dengan istilah Desa Mawacara atau Desa Kalapatra. Sehingga pelaksanaan upacara ngaben di setiap daerah bisa berbeda-beda tata cara pelaksanaannya, namun tetap mengacu pada Lontar Yama Purwana Tattwa.