Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi malam hari (pexels.com/Alexey Demidov)
ilustrasi malam hari (pexels.com/Alexey Demidov)

“Hati-hati nyanan pesu, jani rahinan Kajeng Kliwon (Hati-hati nanti keluar rumah, sekarang Hari Raya Kajeng Kliwon),”

Kira-kira seperti itulah seruan orangtua di Bali, terutama ibu kepada anak-anaknya. Tidak ada jawaban pasti saat menagih alasan kenapa kita harus berhati-hati saat keluar rumah pada Hari Kajeng Kliwon. Pesan itu juga ditambah dengan larangan pulang larut malam. Intinya setiap Kajeng Kliwon, anak-anak di Bali selalu dapat peringatan agar lebih berhati-hati selama beraktivitas di luar rumah.

Kajeng Kliwon menjadi hari yang dianggap keramat sejak turun-temurun dalam ritus umat Hindu di Bali. Sederet naskah lontar kerap menyebut Hari Kajeng Kliwon dalam berbagai metode pengobatan tradisional. Contohnya ada dalam penggalan Lontar Tenung Sapuh Jagat Jati, dengan kalimat berikut.

Disebabkan karena ada pagar yang salah, disapa oleh Ki Bula Pemali, dimohon ampunkan sampai pada Hari Kajeng Kliwon.

Itu baru satu contoh lontar saja, masih ada deretan lontar lainnya memilih Kajeng Kliwon sebagai hari untuk mengobati sekaligus menyakiti. Kira-kira kenapa demikian? Ini penjelasan selengkapnya.

Kajeng Kliwon sebagai hari beryoga Dewa Siwa, sehari sebelumnya juga harus waspada

ilustrasi Dewa Siwa. (pixabay.com/ankit_dandhare)

Kajeng Kliwon adalah hari saat Dewa Siwa sedang beryoga, sehingga pancaran energi pada hari ini amat kuat. Berbagai kekuatan bangkit, saling beradu menunjukkan eksistensinya. Jika menangkap energi dengan tepat dan bertujuan mulia, maka arah kekuatan yang baik memancarkan sinyal positif.

Sehingga, karena alasan itulah Kajeng Kliwon kerap dipilih sebagai hari memohon kesembuhan dalam berbagai lontar usada (pengobatan). Namun, jika sejak awal niat dan penarikan energi bertujuan buruk, penuh dengki, dan balas dendam, maka arah kekuatan jadi berbalik negatif.

Sehari sebelum Kajeng Kliwon, akan lebih berisiko atau disebut dengan pemagpag Kajeng Kliwon. Pada hari tersebut, orang-orang yang mempelajari ilmu spiritual Bali akan menguji kemampuan mereka, khususnya ilmu pengeleakan (leak). Namun, ingat baik-baik bahwa ilmu leak adalah pelajaran spiritual energi, bukan untuk menyakiti. Mereka yang belajar ilmu leak akan ke kuburan untuk bertapa, memfokuskan diri untuk melepas raga dan jiwa. Namun, ada juga mereka yang tidak bertanggung jawab sehingga menjadi belajar ilmu leak pangiwa (leak ilmu hitam) untuk menyakiti orang lain atau balas dendam.

Selain peringatan waspada saat bepergian, ada larangan tak boleh keramas saat Kajeng Kliwon

ilustrasi keramas (pexels.com/id-id/karolina-grabowska)

Kajeng Kliwon tak hanya dikenal sebagai hari untuk lebih waspada. Jurnal berjudul Sugesti Tradisional Bali sebagai Landasan Pendidikan Moral dan Etika Anak Usia Dasar, mengulas tentang berbagai sugesti tradisional Bali. Satu di antaranya disebutkan, Sing dadi mambuh nuju Kajeng Kliwon, nyanan kadena bisa ngleak. Sugesti tradisional itu berarti jangan keramas saat Hari Kajeng kliwon, nanti dikira menguasai ilmu hitam (magis atau leak).

Anak Agung Gede Wiraputra, Ni Nyoman Nur Aditya Maha Yogi, dan Kadek Aria Prima Dewi PF menerbitkan jurnal tersebut pada 2021. Mereka menuliskan bahwa sugesti itu muncul karena saat Kajeng Kliwon, mereka yang berilmu leak akan membersihkan diri dengan cara mandi dan keramas. Sebab, sehari sebelumnya mereka yang ngeleak telah menyerap berbagai energi di kuburan.

Mengutip hasil wawancara dalam jurnal tersebut dengan budayawan, Anak Agung Gede Raka Sukawati, bahwa prosesi keramas setelah beryoga di kuburan adalah wujud pembersihan diri. Mereka yang mempelajari ilmu leak meyakini bahwa pemujaan Dewa Siwa sebagai pelebur adalah wujud bakti atas segala kuasa dari-Nya. Bagi warga awam, memang terlihat mengerikan bahkan dilebih-lebihkan. Gde Raka menyampaikan sejatinya ilmu leak adalah ilmu meditasi dan pengendalian energi. Ilmu leak akan menjadi negatif tergantung pada kendali manusia itu sendiri.

Meskipun demikian, sejak zaman dulu stigma negatif soal ilmu leak sudah kadung tersebar dan mengakar. Sehingga, secara turun-temurun, orangtua di Bali yang masih meyakini cerita tersebut, akan melarang anaknya untuk keramas saat Kajeng Kliwon. Alasannya, agar tidak dianggap memiliki kemampuan ilmu leak yang dianggap negatif.

Sesajen yang dihaturkan saat Kajeng Kliwon

Potret canang untuk upacara dan sembahyang umat Hindu di Bali (Pexels.com/Alexey Demidov)

Setiap 15 hari sekali, Hari Kajeng Kliwon diperingati dengan cara menghaturkan segehan manca warna. Segehan adalah sesajen berupa nasi yang telah diberikan warna-warni sesuai penjuru mata angin (manca warna). Tujuan mempersembahkan segehan manca warna sebagai wujud bakti dan keyakinan kepada Dewa Siwa. Melalui kekuatan peleburannya, Dewa Siwa mengembalikan keseimbangan alam secara sekala dan niskala. 

Ada juga tambahan sesajen berupa nasi kepal maupun tuak serta arak berem, serta canang. Umat Hindu di Bali mengenal tiga jenis Hari Kajeng Kliwon di antaranya Kajeng Kliwon Uwudan; Kajeng Kliwon Enyitan; dan Kajeng Kliwon Pamelastali (Watugunung Runtuh, yang datang setiap 6 bulan sekali).

Gimana semeton (teman-teman), apakah kamu pernah dapat peringatan dan larangan saat Kajeng Kliwon? Bagikan cerita kamu yuk!

Editorial Team