Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi ogoh-ogoh (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Pembuatan patung raksasa atau yang sering disebut ogoh-ogoh adalah bagian tradisi dalam menyambut Tahun Baru Saka. Ogoh-ogoh ini dibuat dalam bentuk menyeramkan. Rangka terbuat dari bambu.

Ogoh-ogoh ini akan diarak keliling desa pada malam sehari sebelum Hari Raya Nyepi atau sering disebut Hari Pengerupukan. Pawai ini diikuti oleh banjar-banjar yang ada di lingkungan desa, dan kerap jadi tontonan warga. Namun di awal-awal pandemik tahun 2020 hingga 2021, pawai ogoh-ogoh ditiadakan. Sekarang tahun ini, masih belum jelas apakah diperbolehkan mengadakan kembali tradisi tersebut. Meskipun Gubernur Bali, I Wayan Koster, sudah mempersilakan para pemuda di banjar mengaraknya dalam jumlah terbatas dan mengikuti protokol kesehatan (Prokes).

Namun berbeda halnya dengan Desa Adat Renon di Kota Denpasar. Desa Adat Renon melarang warganya untuk membuat ogoh-ogoh. Bendesa Adat Renon, I Wayan Suarta, bercerita bagaimana awal mula larangan pembuatan ogoh-ogoh itu muncul. Ia bahkan pernah mencoba untuk melanggar larangan tersebut, dan malah begini hasilnya.

1. Mulanya warga Desa Adat Renon sangat antusias membuat ogoh-ogoh

Masyarakat Hindu Bali sedang pawai ogoh-ogoh. (Dok. Pribadi/Ari Budiadnyana)

Sekitar tahun 1985 atau 1986, banjar-banjar di Kota Denpasar mulai membuat ogoh-ogoh untuk diarak pada Hari Pengerupukan. Begitu pula warga banjar di Desa Adat Renon sangat antusias. Para pemuda banjar mencurahkan kreativitas dalam pembuatan ogoh-ogoh dan menciptakan karya terbaiknya.

"Para remaja saat itu sangat bersemangat membuat ogoh-ogoh. Ada yang membuat ogoh-ogoh raksasa, hansip, hingga babi. Warga bergotong royong dalam pembuatan ogoh-ogoh ini," ungkap Suarta saat ditemui di Kota Denpasar, Kamis (17/2/2022) lalu.

2. Terjadi hal-hal gaib selama Pengerupukan

Editorial Team

Tonton lebih seru di