Ilustrasi gelombang tinggi (IDN Times/Mardya Shakti)
Perairan Bali Utara atau Laut Bali juga terdapat struktur sesar aktif yang merupakan kelanjutan atau terusan Sesar Naik Flores (Flores Back Arc Thrust). Kondisi tektonik ini menjadikan wilayah pesisir utara Bali menjadi kawasan yang rawan gempa bumi dan tsunami.
Inilah yang bertanggung jawab terhadap beberapa gempa besar yang terjadi di Bali. Catatan bencana ini juga tercatat dalam lontar yang disimpan di Puri Ayodya, Singaraja, seperti yang diungkapkan oleh I Made Kris Adi Astra, Analis dari BMKG Wilayah 2 Denpasar.
”Pada hari Rabu umanis kurantil tahun Saka 1737 (22 November 1815), gempa bumi besar mengguncang."
Disebutkan, getaran gempa bumi mengakibatkan pegunungan retak dan longsor dengan suara menggelegar seperti guntur. Longsoran pegunungan tersebut menimpa Ibu Kota Buleleng, Singaraja. Desa-desa tersapu ke laut. Bencana ini menewaskan 10.523 orang. Banyak pejabat penting kerajaan turut menjadi korban. Tetapi Raja Buleleng, I Goesti Angloerah Gde Karang, selamat. Dari catatan itu, diperkirakan gempa itu sampai menimbulkan tsunami.
Catatan lebih rinci lagi disebutkan oleh Arthur Wichman (1918) ketika menyusun katalog gempa bumi di Kepulauan Indonesia periode 1538-1877. Bahwa, gempa itu terjadi pada 22 November 1815 sekitar pukul 10 malam.