Ilustrasi (IDN Times/Debbie Sutrisno)
Secara epidemiologi, Indonesia masih berstatus under-detected. Namun kemampuan Negara dalam pengujian COVID-19 memang harus dibenahi segera.
Berdasarkan data dari berbagai sumber, jumlah pengujian di Indonesia hanya 65 orang per satu juta penduduk. Kalau dibandingkan dengan Jepang, misalnya, yang mempunyai rasio 509 per juta penduduk. Rasio Indonesia hanya 10 persen dari Jepang. Jika angka ini dijadikan patokan, bahwa Indonesia baru mendeteksi 10 persen dari kasus yang sebenarnya. Jumlah kasus terkonfirmasi saat ini mestinya minimum 200 ribu.
“Angka kasus terkonfimasi mestinya tidak membuat kita begitu cemas. Secara alami, virus COVID-19 diketahui tidak selalu menyebabkan kasus berat, apalagi sampai meninggal. Sebagian besar orang yang terpapar tidak menjadi sakit. Yang mengembangkan gejala klinis pun lebih banyak klinis ringan,” terangnya.
Mahardika mengungkapkan informasi dari World Health Organization (WHO), bahwa 80 persen pasien yang sakit dapat sembuh tanpa pengobatan khusus. Misalkan data dari karantina kapal pesiar Diamond Princess di Jepang, yang dimuat pada Journal Eurosurveillance bisa dijadikan patokan. Persentase orang terpapar tapi tak terinfeksi sekitar 75 persen. Proporsi yang positif tanpa gejala adalah 8 persen, dan yang simptomatik adalah 17 persen.
Sedangkan data dari Wuhan, Tiongkok, yang dipublikasi di JAMA menyebutkan pasien kritis hanya 5 persen dari yang mengeluh ringan sampai berat. Itu berarti 5 persen dari 17 persen hanya 0,85 persen. Di alam yang sebenarnya, bukan kapal pesiar, angkanya dapat jauh lebih kecil.
“Data kasus COVID-19 harian yang fatal yang mestinya membuat kita khawatir. Akar masalahnya harus segera diinvestigasi. Intervensi terbaik harus segera dilakukan,” tegasnya.
Tren angka kasus harian memang meningkat. Ini sejalan dengan peningkatan kapasitas laboratorium (Lab). Jumlah lab yang terlibat bahkan lebih dari 30 laboratorium. Beberapa di antaranya bahkan dikabarkan sedang menggenjot kapasitas harian.