Masjid As Syuhada ini termasuk peninggalan kampung Bugis di Serangan, dan sudah mengalami renovasi. Masjid ini juga jadi bukti sejarah adanya kedekatan persaudaraan antara umat Hindu dengan umat muslim di Serangan.
Masjid ini merupakan masjid tertua kedua di Pulau Bali yang dibangun pada masa kejayaan Majapahit. Masjid ini adalah pemberian Raja Puri Pemecutan, Badung, yang berkuasa kala itu agar orang-orang Bugis memiliki tempat beribadah.
Alkisah sekitar abad ke-17, lima kelompok yang dipimpin oleh Syeikh Haji Mukmin berlayar dari Sulawesi menggunakan kapal tua (Perahu pinisi). Mereka kabur dari daerah asalnya karena menolak aturan dalam Perjanjian Bongaya yang melarang warga lokal memiliki kapal-kapal besar. Perjanjian itu ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin dari Gowa, Sulawesi dan Laksamana Cornelis Speelman, perwakilan dari Belanda. Praktik monopoli Verenigde Ost Indische Compagnie (VOC), organisasi dagang milik kerajaan Belanda inilah yang membuat orang-orang Bugis memilih keluar dari daerahnya.
Syeikh Haji Mukmin bersama empat orang lainnya itu kemudian berlabuh di dermaga Pulau Serangan yang terletak di selatan pulau Bali ini. Sayangnya, pelabuhan itu sekarang sudah tidak ada lagi.
Singkat cerita, para tokoh Islam Bugis dari Sulawesi tersebut disambut baik oleh pihak kerajaan Puri Pemecutan, Badung. Mereka diizinkan menetap di kawasan hutan bakau dan mendirikan sebuah masjid (Masjid As Syuhada) karena orang-orang Bugis pernah membantu Raja Pemecutan berperang dalam konflik melawan Kerajaan Mengwi.
"Kakek-kakek kita itu dulu adalah pelayar dari Sulawesi. Baik berdagang rempah-rempah maupun nelayan. Di sebelah utara Serangan itu dulu ada dermaga. Peradaban Islam ini pun berkembang, sehingga kita dekat dengan umat Hindu di Bali. Sampai-sampai kita dekat dengan Raja dari Badung, dan memberi kita bangun masjid," ujarnya mengisahkan.