Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi aksi demonstrasi publik (pexels.com/Vladimir Konoplev)
ilustrasi aksi demonstrasi publik (pexels.com/Vladimir Konoplev)

Demonstrasi publik bukanlah fenomena baru dalam kehidupan sosial dan politik. Jauh sebelum istilah “demo” dikenal luas seperti sekarang, masyarakat di berbagai belahan dunia sudah terbiasa menyuarakan pendapat mereka secara terbuka. Aksi-aksi ini lahir dari keinginan rakyat untuk menuntut perubahan, keadilan, atau sekadar menyampaikan ketidakpuasan terhadap penguasa.

Beberapa kota bahkan tercatat dalam sejarah sebagai tempat lahirnya tradisi demonstrasi yang memberi pengaruh besar bagi perkembangan demokrasi dunia. Dari alun-alun kuno di Athena hingga jalanan Paris yang penuh gejolak, jejak protes rakyat menjadi bukti bahwa suara bersama mampu menggerakkan perubahan. Yuk, simak kota-kota yang menjadi awal mula demonstrasi publik di dunia!

1. Athena, Yunani

ilustrasi suasana sidang rakyat di Athena, yang menjadi cikal bakal demokrasi dan aksi publik di dunia (commons.wikimedia.org/Philipp Foltz)

Pada sekitar abad ke-5 SM, Athena dikenal sebagai pusat lahirnya demokrasi yang berbeda dari sistem pemerintahan lain pada zamannya. Di jantung kota terdapat Agora, sebuah ruang publik terbuka yang bukan hanya berfungsi sebagai pasar, tetapi juga sebagai tempat rakyat berkumpul untuk membicarakan urusan negara. Di sana, warga bisa menyampaikan ide, berdiskusi, hingga menantang kebijakan yang mereka anggap tidak adil. Fungsi ganda ini menjadikan Agora sebagai simbol penting kebebasan berpendapat dalam masyarakat Athena.

Agora juga memperlihatkan bagaimana partisipasi rakyat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Para warga negara laki-laki hadir untuk mendengar pidato, menilai argumen, lalu ikut menentukan arah kebijakan bersama. Kehadiran forum ini mencerminkan awal dari praktik politik yang terbuka, di mana keputusan lahir melalui diskusi dan keterlibatan publik. Dari tradisi inilah, cikal bakal demonstrasi publik dapat ditelusuri, karena rakyat tidak lagi pasif, melainkan aktif bersuara terhadap jalannya pemerintahan.

2. Roma, Italia

ilustrasi Forum Romanum di Roma, pusat kehidupan politik dan tempat rakyat plebeian menyuarakan protes (commons.wikimedia.org/Internet Archive Book Images)

Pada awal Republik Romawi, sekitar abad ke-5 SM, terjadi ketegangan besar antara plebeian (rakyat kecil) dan patrician (kelas bangsawan). Rakyat merasa hak-haknya tidak diakui dan hanya dijadikan penopang sistem tanpa punya pengaruh politik. Sebagai bentuk perlawanan, plebeian melakukan secessio plebis, yaitu aksi meninggalkan kota secara massal untuk menghentikan aktivitas sosial dan ekonomi. Tekanan kolektif ini membuat pemerintah tak bisa mengabaikan suara rakyat, sehingga secessio dianggap sebagai salah satu contoh awal demonstrasi publik di dunia.

Aksi tersebut berlangsung berulang kali selama lebih dari dua abad, hingga akhirnya pada tahun 287 SM lahirlah Lex Hortensia. Undang-undang ini menetapkan bahwa keputusan Dewan Plebeian (plebiscita) berlaku untuk semua warga, termasuk patrician, tanpa perlu persetujuan senat. Pencapaian ini bukan hanya mengakhiri Conflict of the Orders, tetapi juga membuktikan bahwa protes rakyat dapat menghasilkan perubahan mendasar dalam sistem politik. Dari sini terlihat jelas bagaimana aksi kolektif mampu menggeser keseimbangan kekuasaan dan membuka jalan menuju keadilan sosial.

3. London, Inggris

ilustrasi Raja Richard II bertemu pemberontak selama Peasants’ Revolt 1381 di London (commons.wikimedia.org/Jean Froissart)

Pada tahun 1381, rakyat Inggris melakukan pemberontakan besar yang dikenal dengan nama Peasants’ Revolt. Aksi ini muncul karena pajak kepala (poll tax) yang sangat memberatkan, terutama setelah rakyat menderita akibat wabah Black Death. Dari daerah Essex dan Kent, para petani dan pekerja berkumpul lalu bergerak menuju London dipimpin oleh Wat Tyler. Setibanya di ibu kota, mereka menyerbu Menara London, menargetkan pejabat yang dianggap bersalah, dan menuntut agar kebijakan pajak yang tidak adil segera dihapus.

Gerakan massa ini akhirnya membuat Raja Richard II turun tangan. Ia sempat menjanjikan untuk menghapus pajak, mengakhiri sistem perbudakan tanah (serfdom), dan melakukan reformasi. Namun, janji itu kemudian dibatalkan setelah pemberontakan berhasil dipadamkan dan para pemimpinnya dihukum mati. Meski gagal mencapai tujuan jangka panjang, Peasants’ Revolt di London menjadi salah satu contoh awal bahwa aksi protes besar-besaran bisa mengguncang kekuasaan, sekaligus menunjukkan kekuatan suara rakyat dalam sejarah Inggris.

4. Amsterdam, Belanda

ilustrasi peristiwa Alteratie 1578, demo terorganisir di Amsterdam (commons.wikimedia.org/Rijksmuseum)

Pada 26 Mei 1578, Amsterdam mengalami peristiwa besar yang dikenal sebagai Alteratie atau “Perubahan”. Saat itu, kota masih setia pada pemerintahan Katolik Spanyol, sementara banyak kota lain di Belanda sudah bergabung dengan pihak Protestan yang dipimpin Willem van Oranje. Situasi semakin sulit karena Amsterdam dikepung dan dipenuhi pengungsi. Akhirnya, sekelompok warga bersama pasukan bersenjata masuk ke pusat kota (Dam Square), menahan para pejabat Katolik, lalu mengirim mereka keluar kota lewat kanal. Dari peristiwa ini, Amsterdam resmi berpihak pada pihak Protestan dan ikut dalam Revolusi Belanda.

Yang menarik, perubahan besar itu terjadi tanpa pertumpahan darah. Warga berhasil menunjukkan bahwa aksi bersama bisa membawa hasil nyata, meskipun dilakukan dengan cara damai. Setelah Alteratie, pemerintahan kota dipimpin oleh kelompok Protestan, dan banyak gereja berubah fungsi. Peristiwa ini bisa dibilang sebagai bentuk awal demonstrasi publik di Amsterdam, karena menunjukkan bagaimana suara rakyat mampu mengganti arah politik sebuah kota.

5. Paris, Prancis

ilustrasi demonstrasi rakyat di Paris yang memicu Revolusi Prancis 1789 (commons.wikimedia.org/Unidentified painter)

Pada 14 Juli 1789, ribuan rakyat Paris menyerbu Bastille, sebuah penjara dan benteng tua yang saat itu dianggap simbol kekuasaan raja yang sewenang-wenang. Meskipun hanya ada tujuh orang tahanan di dalamnya, Bastille tetap dilihat sebagai lambang penindasan dan ketidakadilan. Serangan ini dipicu oleh krisis pangan, mahalnya harga roti, dan ketakutan bahwa Raja Louis XVI akan menekan gerakan reformasi. Dengan menyerbu Bastille, rakyat ingin menunjukkan bahwa mereka tidak lagi takut pada kekuasaan absolut.

Keberhasilan merebut Bastille menjadi awal dari Revolusi Prancis. Penjara itu dihancurkan, dan peristiwa ini menandai lahirnya semangat baru untuk memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan. Tanggal 14 Juli kemudian ditetapkan sebagai Hari Nasional Prancis atau Bastille Day, yang hingga kini dirayakan sebagai simbol kekuatan rakyat. Peristiwa ini menjadi titik awal demonstrasi publik yang mengubah jalannya sejarah Prancis, di mana rakyat bersama-sama mampu merobohkan simbol penindasan dan membangun kerajaan rakyat yang lebih adil.

Dari Athena hingga Paris, sejarah mencatat bahwa demonstrasi publik selalu lahir dari keresahan rakyat yang ingin didengar. Aksi-aksi itu menunjukkan bahwa keberanian untuk bersuara bisa mengguncang sistem yang paling kokoh sekalipun, sekaligus meninggalkan warisan penting tentang arti kebersamaan dan perjuangan. Hingga kini, semangat itu masih terasa relevan, mengingatkan kita bahwa suara rakyat punya kekuatan untuk menentukan arah masa depan.

Referensi
“Early Centuries of the Roman Republic”. Diakses September 2025. Britannica
“Peasants’ Revolt”. Diakses September 2025. Britannica
“Storming of the Bastille”. Diakses September 2025. Britannica
“The Role of the Athenian Agora In Ancient Democracy”. Diakses September 2025. The Archaeologist
“1578 De Alteratie”. Diakses September 2025. Gemeente Amsterdam

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team