Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Cokorda Gde Raka Sukawati
Cokorda Gde Raka Sukawati (Dok. Istimewa/Pendidikan Politik Rakjat: 1949)

Intinya sih...

  • Cokorda Gde Raka Sukawati adalah satu-satunya perwakilan Bali dalam Kongres Pemuda II Tahun 1928.

  • Raka Sukawati aktif dalam misi kebudayaan, menentang pandangan misionaris soal Hindu Bali.

  • Raka Sukawati memboyong para seniman maestro dalam promosi kebudayaan Bali di Eropa, membentuk format pariwisata massal di Bali.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tak banyak catatan dan buku yang menulis tentang sepak terjangnya dalam kancah diplomasi, kebudayaan, hingga politik di Indonesia. Cokorda Gde Raka Sukawati atau dalam ejaan lama Tjokorda Gde Raka Soekawati adalah satu-satunya perwakilan Bali dalam Kongres Pemuda II Tahun 1928. Kongres tersebut adalah cikal bakal ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. 

Cokorda Gde Raka Sukawati adalah mantan Punggawa (pejabat adat) Ubud. Kariernya semakin menanjak ketika terpilih dan bergabung sebagai anggota volksraad pada tahun 1924. Volksraad adalah Bahasa Belanda dari dewan rakyat. Jadi merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ala Hindia Belanda. Volksraad terbentuk pada 16 Desember 1916 oleh pemerintah kolonial Belanda. Seperti apa sepak terjang Cokorda Gde Raka Sukawati? Berikut penjelasan selengkapnya.

Aktif dalam misi kebudayaan, menentang pandangan misionaris soal Hindu Bali

ilustrasi Bali (unsplash.com/Harry Kessell)

Cokorda Gde Raka Sukawati lahir di Ubud, Kabupaten Gianyar pada 15 Januari 1899. Selama mengenyam pendidikan di Osvia (sekolah khusus calon pegawai bumiputera zaman Belanda), Raka Sukawati mulai tumbuh sebagai remaja yang melek terhadap perjuangan kemerdekaan dengan cara diplomasi kebudayaan.

Semula sang ayah tidak menyetujui kepergian Raka Sukawati mengenyam pendidikan Sekolah Osvia yang berlokasi di Probolinggo, Jawa Timur. Namun, Raka Sukawati tetap berangkat dan lulus, hingga kembali ke Bali. Ia pun terpilih menjadi anggota volkrsraad dalam daerah pemilihan (dapil) Sunda Kecil (Bali Nusa Tenggara).

Masa itu, Raka Sukawati aktif mengkritik misionaris Katolik hingga Protestan atas praktik zending yang masif (penyebaran agama Kristen Katolik dan Protestan). Raka Sukawati menolak keras pandangan misionaris yang menuliskan agama Hindu Bali dengan perspektif dan standar khas barat.

Presiden NIT dan memperluas misi kebudayaan Bali, dua sisi efek baliseering

Ilustrasi Belanda. (Pixabay.com/ValdasMiskinis)

Karier politik Raka Sukawati semakin menanjak naik. Setelah menjadi anggota Dewan Rakyat tahun 1927, Ia lanjut menjadi Anggota Dewan Delegasi Dewan Rakyat. Pada 1931, Raka Sukawati ke Eropa untuk melanjutkan studi. Lalu pada 1932, Ia pergi ke Belanda untuk belajar ilmu peternakan dan pertanian.

Setahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya 1946 gonjang-ganjing bentuk pemerintahan, membuat Belanda mengambil kesempatan. Kesempatan itu melalui Konferensi Denpasar dan Raka Sukawati yang hadir terpilih sebagai Presiden Negara Indonesia Timur (NIT). Pemerintah NIT berjalan sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) pada masa itu, dengan wilayah pulau-pulau di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua.

Selama menjadi Presiden NIT, Raka Sukawati aktif pelesir budaya. Efek baliseering membuatnya aktif mempromosikan Bali intensif. Baliseering merupakan program antropologis Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengendalikan Bali dengan menciptakan citra Bali sebagai museum Hindu kuno dan surga pulau. Tujuannya untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Memperkenalkan seniman maestro hingga ke Eropa, cikal bakal pariwisata massal di Bali

Pertunjukan tari Legong Keraton. (Kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Promosi budaya Bali ala Raka Sukawati berlanjut hingga ke Prancis bersama istri keduanya, Gilberte Vincent, yang dinikahinya pada 1931. Sebelumnya, Raka Sukawati menikahi perempuan Bali bernama Gusti Agung Niang Putu. Dari pernikahan pertama itu, mereka dikaruniai seorang putra bernama Cokorda Ngurah Wim Sukawati. Sedangkan dari pernikahannya dengan Gilberte Vincent, mereka memiliki dua anak bernama Cokorda Raka Suamba dan Cokorda Raka Suksma.

Raka Sukawati memboyong para seniman maestro dalam promosi kebudayaan Bali di Eropa. Mereka di antaranya I Nyoman Kakul, I Ketut Maria, Anak Agung Gede Mandera, Made Lebah, Ni Nyoman Jabreg, I Ketut Gerudung, dan I Gusti Kompyang. Berdasarkan jurnal antropologi budaya bertajuk ‘To the Extremes of Asian Sensibility’ Balinese Performances at the 1931 International Colonial Exhibition atau dalam Bahasa Indonesia ‘Menuju Ekstrem Kepekaan Asia’ Pertunjukan Bali di Pameran Kolonial Internasional 1931, Juliana Coelho de Souza Ladeira mendeskripsikan para seniman yang tampil dalam Gala Balinais.

Pertunjukan itu memboyong banyak media luar negeri. Mereka memotret, sementara Raka Sukawati dan penerjemah menjelaskan isi dan makna pertunjukan tari Bali yang dibawakan para seniman, yaitu Tari Legong, Baris, Janger, dan Barong. Pertunjukan budaya dan publikasi internasional itu menjadi cikal bakal kedatangan turis mancanegara ke Bali, dan membentuk format pariwisata massal (mass tourism) di Bali.

Pada 21 April 1950, Raka Sukawati terlibat perundingan agar NIT terintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga, menjadi satu dukungan mayoritas terbentuknya keutuhan negara kesatuan. Sejak saat itu, Raka Sukawati memilih pensiun dari karier politik yang membesarkan namanya. Ia meninggal dunia pada 1967 pada usia 68 tahun. 

Editorial Team