Foto hanya ilustrasi. (Unsplash/Annie Spratt)
Sebuah komunitas dengan misi utama mencegah bunuh diri di kalangan remaja Indonesia, Into The Light, mengungkapkan minimnya masyarakat yang mencari informasi dan pemahaman tentang bunuh diri. Karena minimnya wawasan itu, maka sikapnya kepada orang yang hendak bunuh diri menjadi tidak tepat. Atas dasar ini, Into The Light kemudian membuat beberapa rangkuman tentang mitos dan fakta bunuh diri yang sering disinggung oleh masyarakat. Berikut isinya:
Orang beragama tidak mungkin akan bunuh diri
Fakta: Agama termasuk faktor pencegah bunuh diri. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat memotivasi seseorang untuk bertahan hidup dan memiliki harapan. Berdoa dan aktif dalam kegiatan rohani juga dapat menjaga kesehatan mental. Termasuk juga komunitas keagamaan dapat memberikan dukungan kepada orang tersebut.
Namun faktor pencegah tersebut mungkin tidak lagi membantu seseorang ketika tingkat tekanannya sudah terlalu tinggi. Sehingga orang tersebut akan menolak makna-makna kehidupan yang diajarkan oleh agama atau sumber lainnya (Cognitive deconstruction).
Mitos ini juga dipatahkan dengan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh tokoh agama di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 16 Desember 2021 lalu. Ia melakukan sembahyang sebelum memutuskan bunuh diri.
Into The Light menyarankan, agar kita mendukung mereka tanpa mengatakan “Kurang iman atau ibadah” atau masalah spiritual lainnya.
Laki-laki biasanya tidak emosional, jadi jarang melakukan bunuh diri
Fakta: World Health Organization pernah menerbitkan buku berjudul Preventing Suicide: A Global Imperative yang terbit tahun 2014. Buku itu mencatat, jumlah laki-laki yang meninggal karena bunuh diri di seluruh dunia dua kali lebih banyak dibandingkan perempuan.
Sedangkan hasil riset dari Mohsen Naghavi, seorang profesor yang bergabung dalam Global Burden of Disease Self-Harm Collaborators, berjudul Global, regional, and national burden of suicide mortality 1990 to 2016: systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016, menunjukkan jumlah laki-laki di Indonesia yang meninggal karena bunuh diri diperkirakan tiga kali lebih banyak dibandingkan perempuan.
Pandangan bahwa laki-laki tahan banting, kuat, tidak boleh menangis, dan lainnya seringkali membuatnya lebih sulit untuk memperoleh bantuan, atau takut untuk mencari bantuan ketika mengalami masalah serius.
******
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Saat ini, tidak ada layanan hotline atau sambungan telepon khusus untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia. Kementerian Kesehatan Indonesia pernah meluncurkan hotline pencegahan bunuh diri pada 2010. Namun, hotline itu ditutup pada 2014 karena rendahnya jumlah penelepon dari tahun ke tahun, serta minimnya penelepon yang benar-benar melakukan konsultasi kesehatan jiwa.
Walau begitu, Kemenkes menyarankan warga yang membutuhkan bantuan terkait masalah kejiwaan untuk langsung menghubungi profesional kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat.
Kementerian Kesehatan RI juga telah menyiagakan lima RS Jiwa rujukan yang telah dilengkapi dengan layanan telepon konseling kesehatan jiwa:
- RSJ Amino Gondohutomo Semarang | (024) 6722565
- RSJ Marzoeki Mahdi Bogor | (0251) 8324024, 8324025
- RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta | (021) 5682841
- RSJ Prof Dr Soerojo Magelang | (0293) 363601
- RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang | (0341) 423444
- Layanan pencegahan bunuh diri dan kesehatan mental di Bali: 0811 3855 472 yang dapat dihubungi selama 24 jam
- Selain itu, terdapat pula beberapa komunitas di Indonesia yang secara swadaya menyediakan layanan konseling sebaya dan support group online yang dapat menjadi alternatif bantuan pencegahan bunuh diri dan memperoleh jejaring komunitas yang dapat membantu untuk gangguan kejiwaan tertentu.