Omed-omedan ini hanya boleh diikuti oleh sekaa teruna teruni atau pemuda-pemudi yang sudah berusia 17 hingga 30 tahun dan belum menikah. Seperti biasa, sebelum melakukan kegiatan, mereka terlebih dahulu melakukan persembahyangan di dalam banjar untuk memohon keselamatan.
Sementara itu para panitia mempersiapkan tempat yang digunakan sebagai arena (Jalan raya utama di depan banjar) omed-omedan. Panitia membasahi jalan raya dan memercikkan air dari selang dan timba ke arah penonton. Ya, penonton tak luput dari cipratan air. Jika jadi penonton di sini, sebaiknya kamu harus siap basah dan simpan barang-barang elektronik ke dalam kantong kresek.
Setelah itu dua kelompok keluar secara bergantian ke arena, memisahkan diri membentuk kelompok laki-laki dan perempuan di sebelah utara-selatan. Selama keluar dari banjar, mereka dipercikkan air oleh panitia. Sehingga tak satupun kaus dan balutan pakaian adat mereka tidak basah.
Tradisi Omed-omedan (IDN Times/Irma Yudistirani)
Sambil diiringi suara baleganjur, kedua kelompok berlainan jenis itu berputar satu kali dan saling berhadapan. Satu orang di antara kelompok tersebut dipilih secara acak untuk dihadapkan pada lawan jenisnya. Mereka menunggu aba-aba dari para panitia, dan pasangan muda-mudi yang terpilih tersebut didorong hingga saling berpegangan, berangkulan dan saling tarik menarik, bahkan sampai ada yang berciuman.
Ketika hal itu terjadi, mereka diguyur air sampai basah kuyup. Mereka dan para penonton histeris serta bergembira menyambut momen tarik menarik itu.
Putra Wirya mengungkapkan, omed-omedan merupakan tradisi unik yang telah diwariskan secara turun-temurun, dan keberadaannya kini sudah dikenal secara luas baik dalam maupun luar negeri.
"Kami telah meyakini ajang omed-omedan ini juga memiliki nilai sakral dan ada kaitannya dengan sesuhunan (Manifestasi Tuhan) kami di banjar. Sehingga kami bertekad untuk terus melestarikan dan menjadikannya sebagai alat pemersatu," katanya, dilansir dari Antara.