ANTARA FOTO/Risky Andrianto
Menurut Adinata, masih banyak orang Tionghoa yang menyebut dirinya Buddha, namun bersembahyang secara Khonghucu dan mengatasnamakan hal itu sebagai tradisi. Padahal itu merupakan ajaran Khonghucu sejak ribuan tahun yang lalu. Hal inilah yang dianggapnya banyak menimbulkan kerancuan di masyarakat, hingga menimbulkan polemik.
“Kalau Buddha sendiri kan pertama asalnya dari India, kalau Khonghucu kan dari Tiongkok. Yang kedua ajaran-ajarannya pun banyak perbedaan. Orang Khonghucu lebih banyak belajar laku bhakti kepada orangtua. Kemudian setelah meninggal pun mereka disembahyangin. Kalau Buddha kan sudah putus hubungan itu ketika kita meninggal. Sudah selesai urusannya karena punya karma masing-masing,” jelas Adinata, Rabu (19/2).
Ia menilai, pemeluk agama Buddha yang murni memakasi patung Buddha sebagai simbolnya, bukan dengan patung dewa-dewa Khonghucu. Begitu pula penghaturan sembahyang yang mereka gunakan. Di mana pemeluk Khonghucu menghatur daging, sedangkan dalam agama Buddha tidak. Kondisi ini, diakuinya masih banyak dilakukan oleh warga Tiongkok yang melakukan persembahyangan Khonghucu, namun mengaku Buddha.
Selain itu, Kelenteng yang ada simbol Patung Buddha disebutnya sebagai Vihara. Padahal bentuk dalamnya Kelenteng sendiri tidak berubah. Pada dasarnya, Kelenteng dan Vihara itu dua tempat yang berbeda. Kelenteng adalah tempat peribadatan umat Konghucu (Tionghoa), sedangkan Vihara adalah tempat peribadatan umat Buddha.