ilustrasi korban. (IDN Times/Aditya Pratama)
Sudah jatuh, tertimpa tangga lagi. Sebuah pepatah yang menggambarkan realitas korban pasca mengalami kekerasan seksual.
Dalam daftar jenis-jenis kekerasan seksual yang dirilis Kominasi Nasional Anti Kekerasan (Komnas) Perempuan, penyebaran konten pornografi sebagai modus ancaman termasuk perilaku kekerasan seksual kategori eksploitasi seksual.
Walaupun eksploitasi bersifat merugikan korban dan menguntungkan pelaku, tetap saja, dalam masyarakat yang patriarkis, kerap korbanlah yang disebut bersalah atas kerugian yang dialaminya.
Tindak kekerasan seksual kerap dipandang sebagai pelanggaran susila, bukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam nilai-nilai dan norma susila yang dianut masyarakat Indonesia kebanyakan, perempuan yang dianggap paling bertanggung jawab untuk menjaga kesucian nilai. Maka apabila terjadi asusila, perempuanlah yang kembali disalahkan.
Apabila ada konten syur yang tersebar, yang disorot adalah perempuan. Siapa namanya ? Berasal dari keluarga mana? Apa pendidikannya? Profil korban tiba-tiba menjadi perbincangan hangat. Nama korban tercoreng karena dinilai mengotori kesucian nilai-nilai yang dianut masyarakat. Mereka fokus menyalahkan korban, tanpa melihat apa motif kejahatan pelaku. Apa tujuan konten tersebut disebar?
Candra menilai sistem hukum dan sistem masyarakat yang tidak berpihak pada korban, revenge porn, menandakan bahwa konstruksi sosial kita hari ini masih jauh dari perspektif gender.
“Katanya data itu lebih berharga dari emas. Tapi data juga seperti air yang mengalir dan sulit dikendalikan. Selalu berani bersikap dan katakan tidak bila tidak berkenan maupun ragu. Pahami juga sifat-sifat konsensus yang pada satu waktu tertentu dan tidak berlangsung berulang kali atau selamanya. Konsensus juga dapat dicabut. Untuk lelaki pun harus memahami arti kata tidak yang berarti adalah tidak,” kata Candra.
Menurutnya, banyak yang asal sebut bahwa penyebaran konten intim adalah revenge porn, seolah korban layak mendapatkannya. Padahal dilihat dari sisi manapun, ia adalah korban. Itu menandakan bukan saja sistem hukum, tapi masyarakat yang tidak berpihak dan menggunakan lensa gender. Kuncinya adalah relasi yang setara dan menghargai martabat sesama manusia.