Suasana di Desa Kekeran, Mengwi, Badung. (YouTube.com/made alit)
Berdasarkan Lontar Pasupati Tattwa, pada zaman dahulu terdapat raksasa atau detya sakti bernama Mayasura. Mayasura tinggal di hutan bersama para abdinya. Ia tak segan membunuh manusia dan hewan yang masuk ke wilayah hutannya. Hal ini membuat Sang Hyang Pasupati turun ke bumi dan mencari Mayasura.
Sang Hyang Pasupati lalu berperang di hutan tempat raksasa sakti tersebut tinggal. Sang Hyang Pasupati berhasil mengalahkan Mayasura beserta pengikutnya. Hutan tersebut kemudian diberi nama Alas Kekeran, yang berarti hutan angker dan gaib.
Setelah kemenangan tersebut, Sang Hyang Pasupati mengepal-ngepal tanah hingga berbentuk seperti sebuah lingga. Ini nantinya menjadi cikal-bakal Pura Purusada di Desa Kapal. Sang Hyang Pasupati kemudian menancapkan Pohon Dadap atau yang dikenal dengan nama pohon sakti. Tempat ini kemudian berkembang menjadi sebuah pura bernama Pura Dalem Naga Bhumi.
Sang Hyang Pasupati sempat mengukur wilayah Hutan Alas Kekeran dengan ukuran depa (bentangan tangan), tapak batis (telapak kaki), dan lampah (ukuran langkah). Satuan ukuran ini kemudian diwariskan dalam Lontar Asta Kosala-kosali yang berkaitan dengan konsep membangun dalam ajaran Hindu di Bali.
Roh orang yang meninggal karena perang dan korban Raksasa Mayayusa berubah menjadi penjaga Alas Kekeran berwujud memedi, wong samar (nama makhluk halus), jin, dan sejenisnya. Mereka tinggal di area pinggir hutan seolah-olah sebagai penjaga Alas Kekeran. Pada Tahun Saka 811 atau tahun masehi 899, Sang Hyang Pasupati kembali menuju Gunung Semeru melalui Pulau Jawa.