TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dilema Penerapan PJJ, Anak Autis Sulit Menerima Perubahan

Contohnya di SLB Negeri 1 Denpasar ini

Ilustrasi Profesi (Guru) (IDN Times/Mardya Shakti)

Denpasar, IDN Times - Pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui daring selama pandemik COVID-19 tidak hanya dilakukan oleh siswa umum saja. Tetapi juga siswa berkebutuhan khusus. Hanya saja, karena memiliki keterbatasan fisik dan mental, ada beberapa kendala yang menghambat proses belajar mengajar.

Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Denpasar, I Ketut Sumartawan, mengaku mengalami kendala ketika PJJ diterapkan pada semester sebelumnya. Sehingga tahun ajaran baru yang sekarang akan dilakukan sistem kombinasi. Yakni pembelajaran secara daring dan luring.

Baca Juga: [OPINI] Mengapa Anak Muda Bali Ngekoh?

Baca Juga: 4 Pesan Bijak Tetua Bali yang Tidak Boleh Kamu Lupakan

1. Tidak semua anak bisa menggunakan ponsel pintar, ada juga yang mengalami kendala jaringan internet, hingga siswa merasa bosan belajar di rumah

Ilustrasi belajar daring (IDN Times/Dokumen)

SLB Negeri 1 Denpasar menerapkan pembelajaran daring selama pandemik.  Tetapi kondisi justru menyulitkan anak yang memiliki keterbatasan.

Seperti tidak semua anak bisa menggunakan ponsel pintar, ada juga yang tidak punya ponsel, terkendala jaringan internet, hingga orangtua tidak bisa mendampingi sepenuhnya mengingat harus bekerja demi menyambung hidup.

“Ada anak yang bisa menggunakan HP (Handphone atau ponsel pintar), ada yang sama sekali tidak bisa. Orangtua juga begitu. ada yang mampu mendampingi anak, ada yang tidak bisa karena harus bekerja. Belum lagi masalah jaringan internet,” ujarnya, Jumat (17/7/2020).

Berdasarkan hasil evaluasi para guru selama tiga bulan, ditemukan adanya siswa yang merasa bosan dan tidak mau mengerjakan tugas.

“Diberi tugas sekarang, seminggu kemudian baru dikerjakan. Itulah dinamika pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Tapi apapun kondisi kita sekarang, ini tanggung jawab kita,” kata Sumartawan.

2. Guru dan orangtua harus bekerja sama ketika memberikan pembelajaran lewat grup WA

Ilustrasi WhatsApp. IDN TImes/Paulus Risang

SLB Negeri 1 Denpasar juga menerapkan pembelajaran lewat grup WhatsApp (WA). Selama siswa bisa mengoperasikan WA, orangtua tinggal mendampinginya. Sementara bagi siswa yang tidak bisa mengoperasikanmya, guru dan orangtua harus bekerja sama dalam menunjang proses belajar sang anak.

“Sistem belajarnya, guru setiap hari memberikan tugas kepada anak lewat WA. Tapi sebelum itu, guru juga harus komunikasi dengan orangtua tentang belajar online ini. Kalau anak tunanetra yang kecerdasannya bagus, tidak masalah. Tapi yang autis, tuna grahita keterbelakangan mental memang perlu didampingi,” terangnya.

“Setelah diberi tugas, dipantau oleh guru. Nanti sore biasanya diselesaikan dan diberikan gurunya kembali. Hasilnya dilaporkan kepada saya kemudian direkap oleh pegawai. Hasil belajar bisa berupa video, atau jawabannya bisa difoto, lalu dimasukkan ke WA group. Di samping itu, laporan direkap setiap minggu dan disimpan di Google Drive agar ada pertanggungjawaban ke atasan,” jelas Sumartawan.

Baca Juga: 7 Doa Agama Hindu Agar Mendapat Kedamaian Hidup

3. Anak autis sulit menerima perubahan

Ilustrasi siswa. IDN Times/Sukma Sakti

SLB Negeri 1 Denpasar mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus seperti tunanetra, tuna grahita, tuna daksa, autis, dan lambat belajar. Tetapi jika ada anak tuna rungu wicara yang mendaftar, maka pihak sekolah akan merekomendasikannya ke SLB Negeri 2 Denpasar.

Saat ini SLB Negeri 1 Denpasar memiliki 230 siswa yang terdiri dari jenjang SD, SMP, dan SMA.

Selama proses pembelajaran di sekolah, anak yang memiliki keterbelakangan mental (Autis) masih sulit menerima perubahan. Dalam arti, perubahan sulit diterima dan dicerna oleh otaknya. Biasanya anak autis dengan spektrum yang berat akan berontak ketika terjadi perubahan, yang mengharuskan ia bertindak tidak sesuai dengan kegiatan seperti biasanya.

“Anak autis yang spektrumnya berat kesulitan dalam menerima perubahan. Baik itu perubahan tempat, waktu, atau pun guru yang mengajar. Dia sulit menerima di otaknya dengan alasan tertentu. Wujud protesnya bisa berupa berontak, ngambek, tantrum marah besar, menyakiti diri sendiri, menyakiti orang lain. Sehingga perlu kesabaran dalam memberikan penjelasan sejelas jelasnya,” ungkap Sumartawan.

4. Ketika MPLS, SLB Negeri 1 Denpasar harus bertemu siswa baru secara langsung. Mereka akan memanggilnya 2-3 siswa per hari ke sekolah

Ilustrasi Profesi (Guru) (IDN Times/Mardya Shakti)

Sementara ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), SLB Negeri 1 Denpasar memilih untuk menilai siswa baru secara langsung karena kondisinya berkebutuhan khusus. Sehingga pihak sekolah perlu bertemu secara langsung untuk melakukan observasi terhadap karakter, serta kemampuan masing-masing siswa.

Siswa baru akan dipanggil secara bergiliran setiap hari. Untuk tahun ini, SLB Negeri 1 Denpasar menerima 12 siswa baru.

“Kemarin bergilir datang. Kami datangkan sehari 2 sampai 3 anak. Mereka diasesmen, diobservasi langsung untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan anak. Tapi ini untuk siswa baru kelas 1 SD. Untuk yang naik kelas VII SMP dan X SMA rata-rata sudah mengenal sekolah. Jadi tinggal diberikan tugas mengenal lingkungan sekolah seperti MPLS di sekolah umum. Cuma disesuaikan dengan kemampuannya. Tidak yang berat-berat,” katanya.

Baca Juga: 6 Doa Memulai Aktivitas Menurut Agama Hindu Bali

Berita Terkini Lainnya