Tari Sanghyang Jaran di Nusa Lembongan. (IDN Times/Wayan Antara)
Tari Sanghyang Jaran ini berawal dari kisah perjalanan seorang pendeta suci Hindu bernama Ida Pedanda Gede Punia, yang diusir oleh Raja Bangli ke Pulau Nusa Penida. Namun ia tidak menetap di sana karena tidak diterima oleh warga setempat. Sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Nusa Lembongan.
Selama di Nusa Lembongan, Ida Pedanda Gede Punia mengembangkan tarian sakral bernama Tari Sanghyang Jaran. Tarian ini kemudian berkembang di Nusa Lembongan.
Tari Sanghyang Jaran di Nusa Lembongan tidak diiringi oleh gamelan dinamis, namun hanya diiringi oleh kidung. Tarian akan mengikuti tempo dari kidung. Jika kidungnya lambat, maka penari akan melambat, begitu pula sebaliknya.
Para penari menunggangi properti mirip kuda lengkap dengan loncengnya. Penari biasanya akan kerasukan selama menari. Sehingga ketika menginjak maupun menendang bara api yang terbuat dari serabut kelapa, kulit para penari tidak akan melepuh atau terbakar.
Tarian sakral ini biasanya dipentaskan sebagai rasa syukur atas harapan yang terkabul atau istilahnya membayar sesangi, yang dipentaskan di balai banjar ataupun tempat umum lainnya.