Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
illustrasi kerja remote (unsplash.com/LinkedIn Sales Solutions)
illustrasi kerja remote (unsplash.com/LinkedIn Sales Solutions)

Sistem kerja hybrid semestinya hadir sebagai jembatan antara fleksibilitas dan produktivitas. Ketika dijalankan dengan benar, sistem ini mampu memberikan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, tanpa mengorbankan kualitas output maupun kesehatan mental karyawan. Sayangnya, masih banyak kantor yang mengklaim menganut sistem hybrid, tapi implementasinya justru membuat pegawai merasa kelelahan secara fisik dan mental.

Alih-alih memberi ruang bagi karyawan untuk mengatur ritme kerja sendiri, kantor justru menciptakan kebijakan yang kaku dan serba mendadak. Jika terus dibiarkan, pola kerja seperti ini bisa berdampak serius terhadap motivasi kerja dan loyalitas tim. Berikut lima sinyal yang menunjukkan kalau kantor sebenarnya gak punya sistem kerja hybrid yang sehat.

1. Karyawan wajib masuk kantor tanpa jadwal yang jelas

illustrasi kerja remote (unsplash.com/Bench Accounting)

Ciri utama sistem kerja hybrid adalah fleksibilitas, terutama dalam menentukan hari kerja dari rumah atau dari kantor. Kalau perusahaan terus-menerus meminta karyawan masuk tanpa memberikan jadwal yang konsisten, ini menandakan lemahnya perencanaan dan koordinasi. Situasi ini dapat mempersulit karyawan dalam merancang agenda pribadi, mulai dari urusan keluarga sampai jadwal istirahat. Ketidakpastian semacam ini justru menimbulkan stres tambahan yang seharusnya bisa dihindari.

Tanpa kepastian jadwal, pekerja jadi merasa seperti selalu “siaga” untuk dipanggil ke kantor kapan saja. Ini menghapus batas antara waktu kerja dan waktu pribadi. Kantor yang sehat semestinya mampu merancang pola masuk kantor yang tetap dan bisa diprediksi, bukan mengandalkan instruksi mendadak. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus, maka kantor gagal menyediakan rasa aman dalam menjalankan sistem hybrid.

2. Pertemuan online dan tatap muka berlangsung secara berlebihan

ilustrasi meeting (freepik.com/senivpetro)

Rapat memang penting, tapi terlalu banyak pertemuan bisa menjadi indikasi bahwa kantor belum percaya dengan sistem kerja jarak jauh. Ketika satu hari dipenuhi dengan rapat daring, lalu disambung dengan meeting langsung keesokan harinya, ini bukan hybrid yang fleksibel, melainkan sistem yang membingungkan. Karyawan jadi kesulitan untuk fokus pada pekerjaan inti karena waktu habis untuk diskusi yang berulang.

Sistem kerja hybrid yang sehat mestinya menempatkan efisiensi sebagai prioritas, bukan hanya menunjukkan kehadiran. Terlalu banyak rapat juga memperlihatkan bahwa manajemen gak punya sistem delegasi yang baik. Jika semua hal harus dibahas bersama, artinya kepercayaan terhadap individu dalam tim masih lemah. Ini membuat suasana kerja jadi melelahkan secara mental dan emosional.

3. Kinerja dinilai dari kehadiran fisik, bukan output

ilustrasi kerja di kantor (freepik.com/pressfoto)

Satu prinsip utama sistem kerja hybrid adalah berfokus pada hasil, bukan kehadiran fisik. Namun, kalau perusahaan tetap menjadikan jumlah hari kerja di kantor sebagai tolak ukur kinerja, maka esensi hybrid sudah hilang. Pegawai yang lebih sering ke kantor dianggap lebih rajin, padahal belum tentu menghasilkan output yang lebih baik. Ini memperlihatkan pola pikir manajemen yang masih kuno.

Menilai kinerja berdasarkan keberadaan fisik akan membuat karyawan merasa kerja jarak jauh gak dihargai. Akhirnya, banyak yang terpaksa datang ke kantor demi pencitraan, bukan karena tuntutan pekerjaan. Hal ini bisa menimbulkan budaya kerja yang gak sehat, di mana kehadiran jadi penting, tapi kontribusi nyata malah terabaikan.

4. Tidak ada fasilitas pendukung kerja jarak jauh

illustrasi kerja remote (unsplash.com/Mykyta Kravčenko)

Sistem hybrid yang baik gak hanya sekadar memberi izin bekerja dari rumah, tapi juga menyediakan infrastruktur yang memadai. Kalau karyawan gak dibekali perangkat kerja seperti laptop mumpuni, akses VPN aman, atau platform komunikasi yang terintegrasi, maka sistem hybrid hanya sebatas wacana. Ini menunjukkan bahwa perusahaan belum benar-benar serius menjalankan kebijakan tersebut.

Tanpa dukungan teknologi dan fasilitas, produktivitas kerja dari rumah akan terganggu. Karyawan akan kesulitan memenuhi ekspektasi kerja karena keterbatasan alat dan akses informasi. Perusahaan yang gak mau berinvestasi dalam kebutuhan dasar ini sebetulnya gak siap menerapkan sistem kerja hybrid secara penuh dan hanya menggunakan istilah tersebut sebagai gimik.

5. Jam kerja gak pernah diatur ulang dan malah melebar

ilustrasi kerja remote (freepik.com/benzoix)

Dalam sistem kerja hybrid, fleksibilitas waktu menjadi faktor penting agar karyawan bisa menyesuaikan dengan kondisi masing-masing. Tapi kalau kantor tetap memaksa jam kerja konvensional tanpa penyesuaian, bahkan menambah beban dengan pesan atau tugas di luar jam kerja, maka ini sinyal bahaya. Sistem hybrid malah berubah menjadi jebakan kerja tanpa henti.

Banyak karyawan akhirnya merasa terus terhubung dengan pekerjaan tanpa ada ruang untuk benar-benar rehat. Ini memicu kelelahan kronis, penurunan motivasi, hingga burnout. Kantor yang gagal mengatur ulang pola waktu kerja berarti gak memahami esensi dari fleksibilitas, dan justru memaksakan produktivitas semu lewat jam kerja panjang.

Sistem kerja hybrid seharusnya memberi ruang untuk karyawan berkembang secara profesional tanpa mengorbankan kesehatan mental. Kalau lima sinyal di atas sudah terlihat, itu pertanda bahwa kantor belum benar-benar menerapkan sistem hybrid secara sehat. Mulai dari sekarang, penting untuk mengamati pola kerja dan berani bersuara kalau situasi kerja mulai mengganggu keseimbangan hidup.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team