Bali Poetry Slam, Orisinalitas Puisi Modal Utama Seorang Penyair
Siapa yang kemarin nonton ajang ini di Ubud?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Ubud, IDN Times – Bali Poetry Slam kembali mengadakan program tahunan poetry slam yaitu The Grand Slam 2019 di Betelnut Jalan Raya Ubud yang telah digelar pada Minggu (8/12) malam. Memasuki tahun kedua, Unspoken Justice ini menjaring enam finalis yang sebelumnya menjadi pembaca puisi terbaik di tahap heats pada bulan Maret, Mei dan Oktober dari berbagai kota di Pulau Bali. Di antaranya Cleo Chintya, Gek Ning, Imam Barker, Jong Santiasa Putra, Kaizar Nararaya dan Zeta Dangkua.
Selain ingin memberikan ruang apresiasi untuk puisi, Unspoken (Yang Tak Terungkapkan) Bali Poetry Slam juga ingin menyuarakan isu-isu yang umumnya sulit diungkapkan, sebagai tema puisi pada setiap penyelenggaraannya. Project ini berbasis komunitas sastra dan seni yang merayakan puisi dengan menyelenggarakan program hiburan dan mengedukasi seperti Poetry Slam (Adu Puisi), Open Mic (Panggung terbuka) dan Workshop (Loka karya).
Juga menjalin silaturahmi dengan komunitas lokal dan festival sastra dan seni penikmat puisi di Pulau Bali setiap dua atau tiga bulan sekali sepanjang tahun.
1. Kadek Sonia: keorisinilan karya menjadi faktor utama daripada ekspresi
Kadek Sonia Piscayanti, seorang dosen Fakultas Sastra, aktivis dan juri dalam kompetisi ini, menyampaikan bahwa puisi yang bagus itu adalah mengungkapkan kejadian di kehidupan nyata. Bukan hanya yang ada di imajinasi, tetapi juga disaksikan dan kita jalani sendiri.
“Itu akan lebih terasa, daripada kita mengarang indah. Jadi puisi itu bukan mengarang indah tapi itu adalah refleksi cermin dari kenyataan. Karena dia terjadi maka dia mengena. Tidak hambar,” jelas Kadek Sonia.
“Saya merasa berbagai voice yang kita miliki harus merekam apa yang terjadi di sekeliling kita. Meskipun kita menutupinya tapi itu ada dan itu real. Dan kita tak bisa mengabaikannya. Jadi puisi itu betul-betul bukan kiasan saja tapi adalah alat untuk mengingat memperjuangkan memberikan wawasan, sesuatu yang tidak sekadar gambar, tapi perasaan hidup. Dengan puisi paling tidak terketuk tersentuh tergerak kemudian bergerak menuju perubahan,” imbuhnya
Lalu bagaimana penilaian dalam kompetisi ini? Kadek Sonia mengungkapkan, orisinalitas ide itulah yang utama. Kemudian bahasa yang dipakai untuk menyampaikannya. Karena puisi adalah ide yang dibungkus dengan bahasa.
“Jadi yang membedakan adalah orisinalitasnya, kreativitasnya apakah idenya orisinal, biasa atau sudah sering dibicarakan dan kata-kata pilihannya apa. Hal-hal seperti itu yang membedakan mana yang puisinya biasa dan luar biasa. Bisa dengan bahasa apa saja. Tapi apakah dia mampu mencermati hal-hal menarik dengan bahasa yang menarik sesuai tema. Jadi kata-kata tidak hanya metafora tetapi juga pesan yang kuat dan menggungah. Terkait mimik bisa aja tapi tidak akan bagus kalau pesannya tidak kuat,” jelasnya.
Kadek Sonia juga tampil dengan puisinya yang berjudul Tonight is Not Fine. Pembawaannya sungguh memukau. Apalagi isi puisinya menggambarkan tentang perempuan yang sepenuhnya belum merdeka. Puisi tersebut diangkat dari kehidupan sehari-hari, terutama sebagai perempuan Bali.
Puisi tersebut juga menggambarkan tentang hal-hal yang terlihat baik-baik saja di luar tetapi tidak di dalam. Tentang hal-hal yang semestinya bisa diperjuangkan dengan sesuatu yang lebih besar, tapi belum cukup. Tentang sesuatu yang seharusnya membuat kita lebih sensitif tentang hidup perempuan, khususnya perempuan Bali yang banyak terkurung dan terpenjara, namun tetap di sana dan tidak bisa pergi. Mereka bertahan tapi tidak merdeka.