Memahami Pola Pikir Pengidap ADHD: Impulsif Tak Kenal Bahaya

Butuh bertahun-tahun mereka menerima dirinya 'berbeda'

Retno Widowati (27) sering menghadapi ilusi waktu, berperilaku impulsif, bahkan mengalami mimpi yang seolah benar-benar terjadi (vivid dream). Seorang ibu di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur, Isa Maisah (54), mencurigai ada perilaku yang berbeda dari anaknya, Athaya Putri Nirwasita (17). Karena pada usia 2 tahun 3 bulan, Athaya mengalami speech delay. Setelah bertahun-tahun melewati kondisi itu, Retno dan Athaya didiagnosis mengalami Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian.

Denpasar, IDN Times - Retno sudah lama mencurigai perubahan itu. Dalam proses mengerjakan skripsi S1 tahun 2018 di Yogyakarta, Retno lalu mencari pengetahuan tentang ADHD. Namun semakin lama gangguan itu membuat Retno di-DO (drop out), karena tidak dapat menyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswi.

Retno kemudian rutin menemui psikiater dari 2021 hingga 2022. Setelah melewati beberapa tes, baru diketahui dirinya mengalami ADHD setelah dewasa. Jadi terjawab sudah kebiasaan-kebiasaan yang ia alami sejak lama. Retno memutuskan terbuka kepada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Keluarga inti mendukung perubahan sosialnya ada di luar teori linier. Retno kini belajar berdamai dengan kondisinya. Namun tetap struggling melewati kekacauan dan adrenalin yang tak menentu sepanjang hari. Perempuan yang sekarang tinggal di Kelurahan Panjer, Kota Denpasar ini mungkin agak terlambat mendeteksi ADHD-nya.

Isa malah lebih cepat mencari terapi sebelum anaknya berusia 5 tahun. Pertumbuhan Athaya sangat berbeda dari kakaknya. Jika diukur berdasarkan program Keluarga Menuju Sehat (KMS), Athaya memenuhi batas di bawah standar pertumbuhan balita. Dari hasil konsultasi ke puskesmas dan rumah sakit, kondisi Athaya dikatakan masih aman-aman saja. Puncak kecurigaannya muncul pada saat kosa kata Athaya tidak berkembang di usia 2 tahun 3 bulan. Anaknya juga cenderung asyik dengan dunianya sendiri, dan suka menginterupsi kalau diajak bicara. Tahun 2008 dalam keterbatasan akses internet, Isa mencari berbagai informasi di perpustakaan dan beberapa dokter. Hingga akhirnya menemukan satu dokter yang mendiagonis Athaya mengidap ADHD. Perjalanannya masih panjang. Athaya harus masuk-keluar tempat terapi karena tidak cocok dengan mood-nya. Ia juga mengamuk ketika diberitahu tentang kondisinya.

ADHD bukanlah penyakit, melainkan gangguan pemusatan perhatian (hiperaktif) dan konsentrasi. Jadi si pengidap punya indikasi bermasalah dalam berinteraksi sosial, aktivitasnya cenderung berlebihan, mengalami gangguan tidur, tidak bisa fokus, hingga impulsif. Retno dan Athaya hanya sebagian kecil saja yang terungkap di Indonesia. Itu pun muncul setelah IDN Times mewawancarai mereka. Mungkin karena bukan penyakit fisik yang tampak mengerikan, masyarakat jadinya minim mencari pemahaman tentang ADHD. MIF Baihaqi dan M Sugiarmin menyebutkan dalam bukunya berjudul "Memahami dan Membantu Anak ADHD" yang diterbitkan oleh Refika Aditama tahun 2006, istilah ADHD hanya menjadi perbincangan dunia pendidikan dan psikologi. Internasional menggunakan istilah ini untuk menggambarkan disfungsi otak. Yaitu meliputi kesulitan dalam mengendalikan impuls, menghambat perilaku, dan tidak mendukung rentang perhatian mereka.

Hasil survei yang dilakukan National Survey of Children’s Health (NSCH) di Amerika Serikat pada tahun 2007, angka prevalensi ADHD pada anak usia 4–17 tahun mencapai 9,5 persen dari 5,4 juta anak. Survei ini telah diterbitkan di Centers for Disease Control and Prevention tahun 2010. Namun cukup berbeda di Indonesia. Angka prevalensi ADHD di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Penelitiannya masih terbatas, dan bersumber dari laporan kasus di pusat terapi tumbuh kembang anak.

Ambil saja satu contoh penelitian retrospektif (Studi berdasarkan catatan medis) Desak Putu Kunti Wedayanti untuk Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud); dan I Gusti Ayu Trisna Windiani, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah ini. Judul penelitiannya adalah "Prevalens Gangguan Tidur Pada Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) di Poliklinik Tumbuh Kembang RSUP Sanglah". Mereka meneliti para orangtua anak dengan GPPH (responden) di Poliklinik Tumbuh Kembang RSUP Sanglah Denpasar (Sekarang berubah nama menjadi RSUP Prof Ngoerah) sebanyak 33 orang, pada periode Juni-Oktober 2016. Metode untuk mendeteksi gangguan tidur ini menggunakan Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC).

Hasilnya, angka prevalensi gangguan tidur pada anak dengan GPPH sebanyak 22 orang (66,7 persen). Jenis-jenis gangguan tidur yang mereka alami berdasarkan SDSC adalah:

  • Gangguan memulai dan mempertahankan tidur: 16 orang (72,7 persen)
  • Gangguan pernapasan saat tidur: 5 orang (22,7 persen)
  • Gangguan kesadaran: 12 orang (54,5 persen)
  • Gangguan transisi tidur-bangun: 13 orang (59,1 persen)
  • Gangguan somnolen berlebihan: 2 orang (9,1 persen)
  • Hiperhidrosis saat tidur: 12 orang (54,5 persen).

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dr Nurhandini Eka Dewi SpA MPH, mengakui belum ada data pasti mengenai jumlah anak yang mengalami ADHD di NTB setelah dikonfirmasi IDN Times di Mataram, Jumat (10/3/2023) lalu. Jadi angka-angka ini fenomena gunung es. Faktanya, orangtua baru mengetahui anaknya mengalami ADHD setelah datang ke pusat terapi tumbuh kembang anak, yayasan atau sekolah anak berkebutuhan khusus, hingga psikolog ataupun psikiater. Atau seperti Retno yang baru mengetahui dirinya ADHD setelah dewasa.

Sebenarnya penyakit ADHD dapat dideteksi sejak dini dengan melihat tumbuh kembang anak lewat buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Buku KIA menyantumkan perkembangan pertumbuhan anak setiap bulan dan tahun.

"Kalau tidak mencapai poin-poin dalam buku KIA, dia harus dirujuk. Itu yang sekarang belum jalan. Sehingga terjadi keterlambatan deteksi anak yang mengalami ADHD sejak dini," kata Eka.

Perubahan perilaku orang ADHD bahkan sering dilabeli sebagai anak yang hiperaktif, dan nakal karena tidak bisa diatur. Artikel kolaborasi hyperlocal IDN Times yang tersebar di 13 provinsi ini akan menyajikan bagaimana fakta-faktanya di lapangan.

Baca Juga: 5 Mitos Seputar ADHD, Benarkah Hanya Pada Anak Laki-laki?

Baca Juga: Penderita ADHD di Bali Ungkap Sering Menghadapi Ilusi Waktu

1. Punya kebiasaan melamun, tidak mengenali bahaya, dan mengalami speech delay

Memahami Pola Pikir Pengidap ADHD: Impulsif Tak Kenal Bahayafoto hanya ilustrasi (unsplash.com/Anthony Tran)

Retno menghadapi beragam gangguan selama menjalani aktivitas kesehariannya. Ia mengalami regulasi perasaan, pola tidurnya tidak teratur, bertindak impulsif, memiliki kebiasaan suka menunda dan menyepelekan waktu. Waktunya banyak dia habiskan untuk melamun atau terlalu banyak berpikir (predominantly inattentive ADHD). Bahkan ia mengalami mimpi yang terasa benar-benar nyata (vivid dream). Ia juga suka menuntut kesempurnaan untuk dirinya sendiri demi mewujudkan sesuatu (idealis), malas mengerjakan hal yang tidak menarik dan tidak menantang, hingga kemudian semuanya mengakibatkan kerugian finansial.

Retno tidak mengikuti terapi khusus, apalagi pergi rutin ke dokter untuk melakukan konseling. Ia kurang percaya dengan tenaga medis mental dan otak di Indonesia. Ditambah lagi kurangnya perhatian Pemerintah Indonesia terhadap isu neurodivergent dan kesehatan mental. Jadi semenjak didiagnosis itu dan tanpa mengikuti terapi khusus, ia hanya belajar dari para ahli otak serta mental yang progresif melalui internet. Lantas bagaimana ia mengatasi perubahan perilaku tersebut?

“Cara mengatasinya, ya, dinikmati saja kekacauan dan adrenalinnya. Karena semua strategi manajemen waktu sudah dilakukan, tapi tidak ada yang berhasil,” ungkapnya.

Ia juga mengonsumsi tontonan yang datar sebelum tidur atau menyederhanakan hal. Upaya ini diakui efektif untuk mendapatkan durasi tidur yang cukup.

Kabid Rehsos Dinsos Jateng, Sugondo, mengatakan kesehatan mental belakangan banyak ditemukan di Jawa Tengah. Berkaitan dengan penanganan ADHD, Dinsos bersama Dinkes mengaku rutin memberi pelayanan kesehatan bagi pengidapnya namun tidak bisa 100 persen.

"Karena yang kita fokuskan pada layanan penyandang disabilitas mental khusus buat yang telantar. Persoalannya adalah seluruh panti rehabilitasi sosial sekarang over kapasitas. Semua full. Akhirnya kita limpahkan ke panti swasta yang dapat subsidi makanan dari Pemprov Jateng," kata Sugondo.

Mustika Nuraini, seorang ibu di Kecamatan Natar, Lampung Selatan, harus ekstra perhatian pada anak perempuannya ketika berusia 2 tahun. Ia sangat hiperaktif dan tidak bisa diam. Ada saja yang dikerjakannya. Bosan dengan mainan A, ganti mainan B. Bosan mainan B, ganti lagi dengan yang lain. Begitu seterusnya.

“Terus dia juga kurang bisa melihat situasi di sekitarnya. Misalnya dia bermain, itu tidak akan memedulikan anak lain menangis karena mainannya direbut,” kata Mustika, Sabtu (11/3/2023).

Anaknya tidak mengenali rasa takut, dan bahaya. Pernah suatu ketika Mustika kaget melihat dia duduk di pinggiran sumur pendek dekat rumahnya. Arah kakinya menghadap ke dalam sumur, dan tampak senang sambil mengayun-ayunkan kakinya. Dia juga hanya akan menangis jika merasa sakit saja. Jadi meskipun terluka karena jatuh, selama itu tidak terasa sakit, anaknya tidak bakalan menangis.

Ceritanya tak berhenti sampai di situ. Anaknya pernah hilang dalam pengawasan Mustika, padahal biasa bermain di depan rumah bersama anak-anak lain. Setelah dicari-cari, Mustika menerima telepon dari seseorang yang kenal dengan dirinya, dan memberitahu bahwa anaknya jalan sendiri, sudah jauh dari rumahnya sekitar setengah kilometer. Mustika lalu mengorek cerita dari orang itu: apa yang terjadi pada anaknya selama di sana. Ia berkata, anaknya terlihat kebingungan dan seperti berusaha ingin pulang tapi tidak bisa.

Sekarang anaknya berusia 5 tahun. Namun bicaranya masih belum jelas karena didiagnosis speech delay. Padahal anak umumnya mulai bisa berbicara di usia 12-18 bulan, dan berbicara lancar pada usia 2-3 tahun.

“Dia sudah mengerti apa yang diucapkan orang lain, dia juga tahu apa yang mau dia sampaikan tapi tidak jelas. Lalu dia juga agak sulit kalau diomongin. Misalnya pas dipanggil, dia gak akan peduli padahal sebenarnya dia itu mendengar, dia gak tuli. Tapi mungkin karena asyik dengan dunianya, jadi dia akan terus fokus pada yang disukainya itu,” jelas Mustika.

Dari perilaku di luar kebiasaan itulah Mustika memutuskan untuk memeriksakan anaknya ke dokter anak. Selama di sana, ia melihat dokter memberikan beberapa simulasi seperti menanyakan nama, memerhatikan fokus, dan perilaku anaknya.

“Jadi saya semakin yakin kalau anak saya spesial. Jadi memang saya yang harus beri treatment lebih kepadanya dibanding saudaranya yang lain. Karena tadi itu, dia gak ada rasa takut jadi bisa membahayakan dirinya sendiri,” ujarnya.

Memahami Pola Pikir Pengidap ADHD: Impulsif Tak Kenal BahayaKegiatan anak-anak Tunagrahita di Yayasan Anak Unik. (Dok. IDN Times/Istimewa )

Sedangkan Isa masih kebingungan mencari penyebab Athaya didiagonis ADHD.  Padahal proses kehamilan dan persalinannya berjalan normal, serta tidak ada riwayat ADHD di keluarga. Dokter yang memeriksanya menyarankan agar speech delay Athaya ditangani dulu. Isa lalu mencari tempat terapi di Malang. Namun tidak ada yang cocok dengan mood Athaya.

Akhirnya Isa menemukan lokasi terapi yang cocok untuk anaknya di Cinta Ananda Araya, Kota Malang. Speech delay Athaya membaik setelah terapi bertahun-tahun di sana. Ia sudah bisa mengucapkan huruf-huruf konsonan.

"Terapi tetap dilakukan bertahun-tahun, karena untuk pengenalan warna dan angka sangat sulit sekali. Karena memang posisi intelektualnya di bawah dari hasil tesnya. Tapi kita tidak boleh putus asa, harus tetap memberikan stimulus," ucapnya.

Selain terapi di atas, Athaya dilatih meniup peluit untuk memperkuat otot rahang dan otot bibir. Tujuannya untuk memperlancar berbicara dan tidak mudah meneteskan air liur. Isa harus bekerja sama dengan pihak sekolah agar memberikan kesempatan Athaya untuk memimpin barisan, dan mengomandoi para murid menggunakan peluit saat akan masuk kelas.

Lain cerita pengalamannya dengan Pendiri Yayasan Anak Unik sekaligus guru pembimbing anak-anak Tunagrahita di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Ni Gusti Putu Parmiti. Tiga anak didiknya mengalami ADHD. Pada awal-awal mendidik mereka, Parmiti biasa digigit dan dikencingi karena memang belum bisa bicara. Mereka bisa kencing di mana saja tanpa pemisi.

Ciri yang paling mudah untuk mengenali ADHD adalah anak sangat sulit memfokuskan perhatiannya pada sesuatu. Termasuk kesulitan diajak kontak mata, dan sangat mustahil untuk diajak berkomunikasi. Perilaku anak-anak ADHD juga biasanya impulsif dan sangat aktif. Termasuk di saat makan dan tidur, mereka tetap bergerak.

"Jam tidur pun rasanya hanya beberapa menit, lalu terjaga, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Itu ciri anak ADHD yang ada di yayasan kami," ungkap Parmiti saat dihubungi, Sabtu (11/3/2023).

2. Lahir prematur dapat memicu anak mengalami ADHD. Terapi juga harus berdasarkan kebutuhan pengidapnya

Memahami Pola Pikir Pengidap ADHD: Impulsif Tak Kenal BahayaIlustrasi anak-anak (IDN Times/Besse Fadhilah)

Mendiagnosis seseorang ADHD atau tidak itu membutuhkan pengamatan serta pemeriksaan yang lama, tergantung dari ringan dan beratnya gejala yang diidap. Tentu saja ini melibatkan lintas ilmu atau biasa disebut dengan istilah rawat gabung. Yaitu mulai dokter anak, dokter syaraf, dan psikolog atau psikiater. Seandainya sampai psikolog atau psikiater keliru mendiagnosis, maka kesalahannya akan seumur hidup. Makanya sebelum terapi, anak ADHD harus diasesmen terlebih dahulu untuk menghimpun informasi secara komprehensif terkait karakteristik uniknya. Misalnya melihat di mana kekuatan dan kelemahannya, hingga kebutuhannya apa saja. Ini bertujuan agar pelayanan yang akan diberikan tidak terjebak pada ketidakmampuannya, melainkan kemampuan mereka.

"Kita gali ability mereka. Setelah itu disability mereka apa. Dari situ, kami bisa merumuskan kebutuhan. Apakah memang anak tersebut butuh untuk dilatih memusatkan perhatian, maka kita menetapkan layanan untuk melatih pusat perhatian dalam rentang waktu tertentu," terang Guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Balikpapan yang pernah menjadi terapis di klinik anak berkebutuhan khusus (ABK), Ade Putri Sarwendah.

Sedangkan anak-anak hiperaktivitas atau impulsivitas cenderung mempunyai energi berlebih. Maka, harus diarahkan dengan aktivitas lain yang mengembangkan kemampuan agar gerakannya lebih terarah. Ade Putri menekankan, mereka tidak harus dipisahkan dengan anak-anak sebayanya. Anak ADHD bisa berada di kelas reguler, hanya perlu perlakuan khusus atau sesekali mendapatkan layanan terapi khusus.

Psikolog sekaligus Pendiri Pelita Hati Therapy Center Surabaya, Rr Ivonne Yanti Suryandari SPsi MPsi, menyebutkan faktor terjadinya ADHD adalah ada gangguan fungsi otak atau faktor kimia pada otak, faktor polutan dari makanan yang terpapar polusi atau tempat tinggal yang mengandung polusi, faktor orangtua merokok dan alkohol pada masa kehamilan. Termasuk lahir prematur juga dapat memicu anak mengalami ADHD.

Sejalan dengan pernyataan Ade Putri, penanganan anak ADHD tidak bisa sembarangan. Orangtua harus menerima hasil diagnosa dan psikoedukasi dari dokter anak, psikolog, atau psikiater. Sejauh ini, orangtua yang datang ke Pelita Hati Therapy Center Surabaya sudah tidak bisa menangani anaknya.

Dalam proses terapi, anak akan terlebih dahulu diobservasi oleh terapis untuk mengetahui bagaimana cara membuat anak tersebut nurut. Anak diajak untuk berkomitmen menyelesaikan pekerjaan sebelum melakukan kegiatan lain, berlatih kontak mata dengan menunjuk area panca indra pada terapis, dan mengajak lebih fokus pada tugasnya. Jika anak mampu bertahan dengan durasi lebih lama, itu menandakan perilakunya lebih tertata dan fokus.

Orangtua juga diedukasi untuk membuat kegiatan harian atau jadwal yang harus dipatuhi, dan memberi pola asuh yang tepat pada kondisi anak. Intinya, orangtua wajib turut menegakkan kedisiplinan yang sama seperti saat di ruang terapi. Seluruh proses terapi biasanya membutuhkan waktu satu tahun agar anak tersebut bisa mengontrol ADHD. Namun ini tergantung dari kondisi anak dan pola asuh orangtua di rumah. Sembari proses terapi berlangsung, terapis juga akan mencari potensi yang dimiliki anak ADHD. Karena potensi itu sangat membantu terapis untuk menyelesaikan masalah ADHD.

3. Potensi non-akademik anak ADHD harus dikembangkan. Contohnya Athaya yang kini terkenal di dunia seni dan fashion

Memahami Pola Pikir Pengidap ADHD: Impulsif Tak Kenal BahayaAthaya di antara karya-karyanya. (Instagram/@athayaart)

Isa mulai menggali potensi non-akademik putri keduanya. Sejak TK, Athaya sering diajak ke perlombaan kakaknya seperti menari, menggambar, dan modeling. Dari situ Athaya sering mengikuti lomba fashion show dan menyabet piala berkali-kali. Masa SD, kakaknya memiliki tugas melukis dari sekolah. Athaya jadi ingin mengikuti kakaknya meskipun hanya corat-coret. Isa lalu membelikan peralatan lukis dan media kertas sendiri agar tidak mengganggu sang kakak. 

"Kalau menggambar, ya cuma coret-coret saja sebelumnya, karena saraf motorik halusnya juga bermasalah. Tapi kita latih tangan-tangannya menggunakan crayon," jelasnya.

Memasuki SMP tahun 2020, bakat melukisnya belum terlihat. Sebab putrinya kesulitan menggunakan kuas mulai dari tarikan garis lurus, membuat benda bulat, dan lainnya. Isa lalu kepikiran menggunakan media bantuan melukis berupa piring mainan, sikat, pisau plastik, dan sendok. Bakat Athaya malah keluar setelah menggunakan media bantuan itu. Isa juga kerap mengajak anaknya ke pameran. Hal ini membawa pengaruh yang besar, karena Athaya bisa menceritakan karya lukisannya secara detail.

Ibu dua anak ini tak pantang menyerah. Isa datang ke perkumpulan pegiat seni di Malang, dan kualitas karya Athaya pada akhirnya diakui. Dari kanvas, beralih ke media busana. Busana lukisannya berkali-kali diperagakan oleh para model di fashion show, dan mendapat apresiasi dari Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Isa juga membuatkan media sosial, izin usaha, dan merek dagang sendiri.

"Awalnya ibu membuat scraft dan hijab, kemudian berkembang jadi topi, sampai totebag. Dari sini kami dilibatkan oleh banyak pihak untuk mengadakan fashion show bersama para desainer, model, dan artis," tandasnya.

Apa yang dialami oleh Athaya adalah sebuah fakta, bahwa anak ADHD dapat mengendalikan diri dan bisa tumbuh menjadi orang cerdas. Sedangkan Isa, sebagai orangtua sangat intens memenuhi kebutuhan anaknya. Tutor anak ADHD di Sahabat Difabel Lampung, Edovan, menyebutkan Anak ADHD memiliki IQ yang lebih tinggi dari anak biasanya. ADHD itu berbeda dengan Autism Spectrum Disorder (ASD).

“Kalau autis itu kan spektrum. Jadi memang banyak ragamnya, satu di antaranya ADHD ini. Kalau dalam penelitian penyebabnya ada faktor genetik, kelainan pada sistem pencernaan, dan karena kelainan zat kimia otak juga ada,” katanya.

Psikolog dari RS Santo Elisabeth Semarang, Probowatie Tjondronegoro, mengatakan perilaku anak ADHD juga bisa dikendalikan melalui family therapy atau terapi keluarga. Yaitu memberikan pendekatan lebih intim kepada anak ADHD agar sedikit demi sedikit belajar memahami kondisi sekitarnya.

"Saya sering memberitahu ke orangtua kalau pendekatan keluarga sangat efektif mengendalikan ADHD. Family therapy dapat mendeteksi dan meredakan," ujar Probo.

4. Anak ADHD harus diet gluten dan kasein

Memahami Pola Pikir Pengidap ADHD: Impulsif Tak Kenal BahayaMemahami Pola Pikir Pengidap ADHD: Impulsif Tak Kenal Bahaya. (IDN Times/Sukma Sakti)

Kebutuhan anak ADHD rata-rata sama. Pertama adalah diet. Menurut Tutor anak ADHD di Sahabat Difabel Lampung, Edovan, anak ADHD perlu diet karena tidak boleh kelebihan gluten dan kasein. Gluten dan kasein yang berlebih itu mudah diserap oleh usus halus, sehingga menimbulkan glukosa lebih banyak di dalam darah.

“Saat darah tersebut masuk otak, maka sistem limitnya kebanjiran sistem hormon yang membuat bahagia (dopamin). Ini bisa berakibat memunculkan bayangan imajinatif,” jelas Edo, sapaannya.

Edo mencontohkan anak ADHD berusia 15 tahun di Sahabat Difabel Lampung. Ia kesulitan mengikuti diet gluten dan kasein. Segala makanan masuk ke dalam tubuhnya, dan kemungkinan mengalami komplikasi antara beberapa faktor penyebab ADHD. Alhasil, anak tersebut mengaku punya tiga pacar di Korea, Jepang, dan China. Suatu hari dia punya konflik dengan satu dari tiga pacar imajinasinya tersebut sampai menjambak rambut sendiri (melakukan tindakan implusif). Padahal dia sadar betul, bahwa dirinya mengidap ADHD, dan sudah menerima kelebihannya.

Kedua, anak ADHD harus melakukan treatment motorik terlebih dahulu sebelum belajar. Apa pun yang berkaitan dengan aktivitas fisik yang berat. Misalnya lari atau angkat beban.

"Kekuatan mereka super. Misal kita bisa 3 kali putar lapangan, anak ADHD bisa lebih dari 15 putar lapangan. Ya karena hiperaktifnya itu bikin dia gak capek. Badannya kuat,” imbuhnya.

Ia juga berpesan kepada masyarakat, khususnya pasangan muda dan mau menikah harus paham serta aware tentang ADHD ini. Minimal tentang penyebab dan cara penanganannya. Meskipun bukan penyakit, pengidap gangguan ADHD juga memerlukan pengobatan yang segera untuk meminimalisir gejalanya. Jangan sampai orangtua terlambat mendeteksi atau menyangkal ada perubahan perilaku pada anak-anaknya. Jadinya seperti Retno yang baru menyadari mengidap ADHD setelah dewasa, dan dia masih struggling berjuang sendirian karena minim finansial.

“Bukan salah anak dan bukan salah kamu, tapi salah sistem ekonomi negeri dan global saja yang tidak memprioritaskan kesejahteraan, kebahagiaan individu, dan masyarakat yang adil atau setara. Kita perlu mengubah sistem yang lebih memanusiakan keberbedaan ragam otak serta cara hidup manusia,” kata Retno.

Seorang ibu di Kecamatan Natar, Lampung Selatan, Mustika Nuraini, juga bakalan memberi tahu dan menjelaskan kelebihan anaknya jika sudah besar nanti. Untuk saat ini, Mustika harus berbicara lembut dan pelan-pelan, karena anaknya akan memberontak jika mendengar nada tinggi.

5. Cara mendidik anak hiperaktif di sekolah

Memahami Pola Pikir Pengidap ADHD: Impulsif Tak Kenal Bahayailustrasi edukasi anak di sekolah (unsplash.com/NeONBRAND)

Ada delapan cara pihak sekolah mendidik anak hiperaktif, melansir laman Kementerian Kesehatan:

  • Perbanyak memahami anak. Anak hiperaktif cenderung sulit bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Guru harus sabar menangani anak hiperaktif. Anak hiperaktif merupakan tipe anak yang tidak suka dipaksa, karena bisa membuat mereka takut dan menjauh. Berikan anak hiperaktif waktu khusus untuk bersenang-senang, asalkan tidak mengganggu teman lainnya yang sedang belajar.
  • Posisikan tempat duduk anak hiperaktif di depan. Hal ini memudahkan guru untuk memperhatikan dan mengontrol anak hiperaktif.
  • Menarik perhatiannya lewat permainan. Dalam kegiatan pembelajaran, guru dapat membuat variasi metode pengajaran dengan permainan yang menyenangkan, seperti menggambar dan mewarnai.
  • Diskusi kelompok. Tujuan utama mereka sekolah adalah bersosialisasi dan berkomunikasi. Kegiatan diskusi ini cocok untuk meningkatkan kemampuan tersebut.
  • Latih kedisiplinan. Disiplinkan anak hiperaktif dengan masuk kelas tepat waktu, mengerjakan tugas, menaati perintah guru, dan lainnya. Pengajaran disiplin ini harus diajarkan secara perlahan.
  • Ajak bicara. Guru harus memberikan kesempatan mereka untuk bercerita pengalaman di depan kelas, mendengarkan, dan menghargai pernyataan yang disampaikan.
  • Memberikan hadiah sebagai bentuk penghargaan. Pemberian hadiah dapat membangkitkan semangat untuk berprestasi. Hadiah yang diberikan tidak harus mahal, bisa berupa ucapan verbal dari guru.
  • Hindari membandingkan anak. Anak hiperaktif tdak boleh dibanding-bandingkan dengan anak lainnya. Karena dapat membuat rendah diri, minder, dan malas belajar. Usahakan menghargai hasil karya mereka meskipun tidak sesuai ketentuan di sekolah.

Penulis: Ayu Afria, Wayan Antara, Khusnul Hasana, Fatmawati, Muhammad Nasir, Rohmah Mustaurida, Fariz Fardianto, Masdalena Napitupulu.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya