Mari Kita Bicarakan Tentang Bunuh Diri

Kalau aware, kamu bisa berdiskusi hal ini di kolom komentar

Sejauh ini masyarakat Indonesia masih memandang orang sakit adalah orang yang mengalami kesakitan secara fisik atau badan. Sedangkan orang yang badannya baik-baik saja dianggap dalam keadaan sehat.

Dalam ajaran Hindu mengenal tri sarira atau tiga lapisan badan manusia. Antara lain stula sarira atau badan kasar (Badan atau fisik) yaitu alat dari pikiran, suksma sarira atau badan halus (Mental atau psikis) yaitu pelaksana atau yang menggerakkan, dan antakarana sarira atau badan penyebab (Roh) adalah yang menentukan arah gerak tersebut. Ketiganya saling berkaitan.

Maka, kesehatan mental di sini juga harus diperhatikan meskipun tidak tampak secara fisik. Namun faktanya, banyak orang yang tidak menyadari pentingnya kesehatan mental. Hal itu terlihat dari hasil survei kesehatan mental masyarakat yang dilakukan oleh Into The Light bersama Change.org dan dipublikasikan Agustus 2021 lalu.

Into The Light merupakan komunitas dengan misi utama mencegah bunuh diri di kalangan remaja Indonesia. Mereka menyebarkan sampling non-acak dengan pengumpulan data secara daring dari 25 Mei hingga 16 Juni 2021 kepada 5.211 responden dari enam provinsi di Pulau Jawa, rentang usia 18 sampai 55 tahun ke atas.

Hasilnya, tercatat dalam tiga tahun terakhir, hanya 27 persen dari total partisipan yang pernah mengakses layanan kesehatan mental. Partisipan laki-laki lebih rendah 18 persen pernah mengakses layanan kesehatan mental daripada perempuan sebesar 31 persen, kelompok minoritas seksual 42 persen, dan kelompok minoritas gender 37 persen.

Berdasarkan survei itu pula 39,3 persen partisipan merasa lebih baik mati dan ingin melukai diri sendiri dalam dua minggu terakhir.

Selain itu, 86 persen partisipan menganggap orang yang pernah memikirkan bunuh diri akan selalu berpikir dan berusaha bunuh diri. Sedangkan 66 persen partisipan menganggap bicara tentang bunuh diri akan meningkatkan risiko bunuh diri. Berdasarkan hasil angka survei ini, Into The Light menarik kesimpulan, bahwa tidak ada partisipan yang menjawab dengan benar seluruh pertanyaan tentang fakta bunuh diri. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta dan penyebab bunuh diri masih minim. Karena orang yang pernah memikirkan bunuh diri dan berbicara tentang bunuh diri akan meningkatkan risiko bunuh diri, tidaklah benar.

Itu juga berarti, kesehatan mental tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk diperiksakan, layaknya sakit fisik. Jadi, melalui tulisan ini, mari kita bicarakan tentang bunuh diri.

Baca Juga: Guru Besar Unud Meninggal Bunuh Diri, Sempat Mengeluh Sulit Tidur  

1. Pendidikan dasar tentang kesehatan mental tidak pernah diajarkan secara formal maupun informal

Mari Kita Bicarakan Tentang Bunuh DiriIlustrasi belajar daring (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)

Ada satu pertanyaan yang mesti kamu jawab:

Adakah di antara kamu yang pernah membicarakan kesehatan mental di lingkungan keluarga atau sekolah?

Jawabannya pasti kebanyakan mengatakan tidak. Ulasan Into The Light berjudul Mitos dan Fakta Seputar Bunuh Diri, memaparkan pendidikan dasar tentang kesehatan mental tidak pernah diajarkan secara formal maupun informal. Hal inilah yang melatarbelakangi seseorang dengan gangguan kesehatan mental takut untuk mencari pertolongan, tertutup, dan memilih diam karena tidak ingin dihakimi oleh orang lain.

Banyak stigma muncul yang terlanjur menjadi doktrin di tengah masyarakat, sebagai penghakiman kepada orang-orang seperti ini. Contoh, imannya lemah, dikatakan ingin mencari perhatian, hingga dianggap gila yang justru semakin memperburuk mereka.

Dalam catatan 20th Anniversary of World Mental Health Day tanggal 10 Oktober 2012, WHO sejak 2001 telah memprediksi depresi akan menjadi 'krisis global' sebagai penyebab beban terbesar kedua pada tahun 2020, dan menjadi beban terbesar pertama pada 2030.

By 2020, depression will be the second leading cause of world disability (WHO, 2001) and by 2030; it is expected to be the largest contributor to disease burden (WHO, 2008).

Depresi, bipolar, dan gangguan kesehatan mental lainnya dapat memicu seseorang untuk berkeinginan bunuh diri.

Baca Juga: Belajar dari Percobaan Bunuh Diri Napi di Bali, Perlukah Terapi Stres?

2. Opini bunuh diri: orang Bali mengalami anomi?

Mari Kita Bicarakan Tentang Bunuh DiriIlustrasi bunuh diri. (IDN Times/Arief Rahmat)

Profesor Sosiologi Universitas Hindu Indonesia (Unhi), Ida Bagus Gde Yudha Triguna, pernah mengeluarkan makalah opini yang berjudul Bunuh Diri: Orang Bali Mengalami Anomi? dalam diskusi Majalah Gumi Bali Sarad tanggal 2 Januari 2004 lalu dan kini diterbitkan di situsnya, Yudhatriguna.com.

Berdasarkan perspektif budaya, Triguna memandang orang Bali yang bunuh diri mengalami anomi (Anomie atau anormatif). Sebelum membicarakan teorinya Triguna, kita bahas dulu awal mula terminologi anomie ini muncul.

Anomie pertama kali muncul dari buku karya seorang keturunan pendeta Yahudi yang mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa (Universitas Bourdeaux tahun 1896) bernama Emile Durkheim, berjudul Suicide, terbitan tahun 1987.

Dalam buku itu, Durkheim mengklasifikasikan jenis bunuh diri menjadi 4 bagian, di mana teorinya berhubungan dengan faktor sosial. Dari catatan jurnal karya Guru Besar Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Prof Drs I Ketut Widnya MA MPhil PhD, berjudul Bunuh Diri di Bali: Perspektif Budaya dan Lingkungan Hidup, jenis bunuh diri tersebut di antaranya:

  1. Bunuh diri egoistis, disebabkan oleh kerapuhan ikatan hubungan dalam kekeluaaan dan kekerabatan. Biasanya dipicu oleh percekcokan, pertengkaran, hingga perasaan dipojokkan
  2. Bunuh diri alturistik atau altruistis, terjadi akibat eratnya ikatan kekeluargaan dan kekerabatan. Misalnya kasus hara kiri, kamikaze di Jepang, satya yang dilakukan para janda dalam masyarakat Hindu kuno, sejarah perang puputan di Bali
  3. Bunuh diri anormatif, terjadi karena depresi ekonomi, kemiskinan, kekacauan, penyakit kronik yang tidak sembuh, dan lainnya
  4. Bunuh diri fatalistik, terjadi karena ada peningkatan regulasi yang terkesan menindas dan ia tidak dapat melakukan apa pun. Contohnya perbudakan, tahanan yang tidak mungkin bisa kabur.

Triguna menggunakan teori Durkheim anormatif terhadap fenomena bunuh diri orang Bali. Ia menduga orang Bali bunuh diri karena semakin mengalami tekanan yang berlebihan dari individu orang lain, sementara di satu sisi, ikatan sosial dengan kelompok sosialnya (Keluarga, kerabat, krama) semakin melonggar.

Tekanan tersebut bisa bermacam-macam sumbernya. Misalnya krisis ekonomi yang berkepanjangan, pemutusan hubungan kerja, tidak mampu bersaing dengan pendatang baru yang kemampuannya lebih baik, dan tersumbatnya saluran-saluran komunikasi dengan berbagai institusi yang ada. Termasuk juga ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan rasa aman kepada situasi yang berubah cepat. 

Kalau ada orang Bali yang masih mengunjungi ke rumah krama lain, banjar, dan kelompok sosialnya lainnya, kata Triguna, itu pun dilakukan dalam keadaan formal karena takut akan sanksi jika mereka tidak datang, maupun karena semata-mata sebagai kewajiban. Hubungan karib yang dulunya mendalam, berangsur-angsur semakin meluntur. Manusia jadi kehilangan ikatan sesama manusia, tujuan dan arti kehidupan.

Prof Widnya juga menambahkannya dengan Teori Sosiologi Modern, Daniel Bell, dalam kasus bunuh diri anomie ini, bahwa nilai-nilai luhur kehidupan tradisional telah dilenyapkan oleh modernisasi yang penuh keserakahan sebagaimana watak modern-kapitalis.

Artinya, bunuh diri tidak akan terjadi apabila ikatan sosial dengan kelompoknya masih berjalan baik di tengah modernisasi. Orang Bali yang mengalami tekanan jadinya akan mencurahkan isi hati kepada kelompok sosialnya tersebut, seandainya ikatan sosial itu benar-benar berjalan baik.

3. Mitos dan fakta bunuh diri yang berkembang di masyarakat

Mari Kita Bicarakan Tentang Bunuh Diriilustrasi gangguan depresi (pexels.com/pixabay)

Into The Light mengungkapkan, informasi dan pemahaman tentang bunuh diri yang tidak tepat juga menyebabkan seseorang mengambil tindakan yang salah, serta dapat berakibat serius kepada calon dan korban bunuh diri, sekalipun mungkin memiliki itikad baik. Atas dasar ini, Into The Light kemudian membuat rangkuman tentang mitos dan fakta bunuh diri yang sering disinggung oleh masyarakat. Berikut isinya:

Orang yang hendak bunuh diri tidak akan membicarakan atau menunjukkan gejala-gejala ingin bunuh diri

Fakta: Hampir semua orang yang hendak bunuh diri menunjukkan gejala-gejalanya. Misalnya menarik diri dari pergaulan, melalui perkataan tertentu, kegiatan yang menunjukkan keinginan bunuh diri, atau perubahan perilaku atau penampilan yang kasat mata.

Memang tidak mudah untuk melihat gejala tersebut, apalagi tidak intens berada di dekatnya. Namun setidaknya kita bisa melatih kepekaan terhadap tanda-tanda yang tersirat.

Orang dengan kecenderungan bunuh diri sungguh-sungguh ingin mati

Fakta: Into The Light menggunakan teori dari seorang Psikolog Sosial asal Amerika, Roy F Baumeister, berjudul Suicide as Escape from Self tahun 1990. Bahwa bunuh diri adalah cara seseorang untuk lari dari rasa sakit yang berlebihan. Sehingga kematian dilihat sebagai satu-satunya solusi. Itu artinya, orang yang ingin bunuh diri sesungguhnya ingin tetap hidup apabila menemukan cara untuk mengurangi atau menghentikan rasa sakit itu.

Jadi dukungan emosional seperti berempati dengan mendengarkan keluh kesahnya, sangat dibutuhkan oleh mereka. Berdasarkan cerita para penyintas bunuh diri, mereka bersyukur menemukan orang atau hal yang membuatnya menemukan alasan untuk tetap hidup.

Orang yang hendak bunuh diri hanya ingin mencari perhatian

Fakta: Mencari perhatian adalah persepsi yang salah. Ketika seseorang mengalami rasa sakit yang terlampau besar, ia akan kehilangan kemampuan untuk mengatur emosi negatif. Ia akan menunjukkan perilaku “ingin bunuh diri” dalam berbagai bentuk. Sehingga cara yang terlihat di publik dianggap sebagai aksi cari perhatian oleh orang yang tidak paham.

Banyak penyintas yang mengalami kecemasan, putus asa, depresi, dan merasa tidak memiliki solusi apa pun. Sehingga mereka membutuhkan pertolongan sesegera mungkin.

Orang yang bunuh diri karena kerasukan makhluk gaib

Fakta: Perilaku bunuh diri bukan disebabkan oleh hal-hal mistis. Membawa mereka ke dukun juga tidak akan menyembuhkannya dari gangguan mental. Hanya faktor psikologis, biologis, dan sosial saja yang dapat memengaruhi seseorang untuk mencoba bunuh diri.

Seseorang bunuh diri disebabkan oleh putus cinta, faktor ekonomi, dan lainnya

Fakta: penyebab seseorang mencoba bunuh diri tidaklah sesederhana itu. Bunuh diri disebabkan karena seseorang terpapar oleh faktor psikologis, biologis, dan sosial yang saling berkaitan.

Contohnya orang yang lagi patah hati, punya masalah ekonomi, atau lainnya. Reaksi setiap orang untuk menanggapi hal itu tentu saja berbeda-beda. Ada yang trauma, ada juga yang berubah (Move on, istilahnya). Hal itu disebabkan oleh begitu banyaknya pengalaman dan faktor lain yang saling memengaruhi satu sama lain. Namun ketika seseorang merasa mengalami terlalu banyak peristiwa negatif, maka dapat memicu (Trigger) dia untuk mencoba bunuh diri.

Makanya, Into The Light menyarankan agar kita perlu berhati-hati untuk tidak berasumsi dan terlalu cepat menyimpulkan mengenai penyebab seseorang bunuh diri. Sebab banyak faktor lain yang tidak kita ketahui. Terlebih dia tidak menceritakan beban yang sedang dihadapinya kepada kita.

Menanyakan keinginan bunuh diri kepada seseorang akan membuatnya semakin ingin bunuh diri

Fakta: Menanyakan hal itu tidak akan memicu seseorang untuk semakin ingin bunuh diri. Justru, bertanya akan memberikan ruang bagi mereka untuk menceritakan masalahnya. Berikan dia ruang agar bisa bercerita tanpa takut merasa dihakimi. Sehingga kita bisa menindaklanjutinya dengan mengajak ke psikolog atau psikiater jika diperlukan, dan menjauhkan akses dari bahaya.

Orang beragama tidak mungkin akan bunuh diri

Fakta: Agama termasuk faktor pencegah bunuh diri. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat memotivasi seseorang untuk bertahan hidup dan memiliki harapan. Berdoa dan aktif dalam kegiatan rohani juga dapat menjaga kesehatan mental. Termasuk juga komunitas keagamaan dapat memberikan dukungan kepada orang tersebut.

Namun faktor pencegah tersebut mungkin tidak dapat lagi membantu seseorang ketika tingkat tekanannya sudah terlalu tinggi. Sehingga orang tersebut akan menolak makna-makna kehidupan yang diajarkan oleh agama atau sumber lainnya (Cognitive deconstruction).

Mitos ini juga dipatahkan dengan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh tokoh agama di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 16 Desember 2021 lalu. Ia melakukan sembahyang sebelum memutuskan bunuh diri.

Into The Light kembali menyarankan, agar kita mendukung mereka tanpa mengatakan “Kurang iman atau ibadah” atau masalah spiritual lainnya.

Laki-laki biasanya tidak emosional, jadi jarang melakukan bunuh diri

Fakta: World Health Organization pernah menerbitkan buku berjudul Preventing Suicide: A Global Imperative yang terbit tahun 2014. Buku itu mencatat, jumlah laki-laki yang meninggal karena bunuh diri di seluruh dunia dua kali lebih banyak dibandingkan perempuan.

Sedangkan hasil riset dari Mohsen Naghavi, seorang profesor yang bergabung dalam Global Burden of Disease Self-Harm Collaborators, berjudul Global, regional, and national burden of suicide mortality 1990 to 2016: systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016, mengungkapkan jumlah laki-laki di Indonesia yang meninggal karena bunuh diri diperkirakan tiga kali lebih banyak dibandingkan perempuan.

Pandangan bahwa laki-laki tahan banting, kuat, tidak boleh menangis, dan lainnya seringkali membuatnya lebih sulit untuk memperoleh bantuan, atau takut untuk mencari bantuan ketika mengalami masalah serius.

Orang yang bahagia tidak berisiko untuk bunuh diri

Fakta: Bunuh diri bisa dialami oleh siapa saja. Bahkan mereka yang selama ini terlihat bahagia, pintar, atau sukses.

Baca Juga: Pastikan 5 Hal Ini Sebelum Spill Kasus Kekerasan Seksual di Medsos  

4. Nomor kontak yang dapat dihubungi

Mari Kita Bicarakan Tentang Bunuh DiriIlustrasi telepon. (unsplash.com/Reno Laithienne)

Hasil Sample Registration System (SRS) tahun 2016 dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan menunjukkan, kematian bunuh diri banyak terjadi di usia muda dan produktif. Yaitu 46 persen pada usia 25 sampai 49 tahun. dan 75 persen di usia produktif antara 15 sampai 64 tahun.

Meskipun banyak teori dan angka, namun penyebab seseorang bunuh diri masih belum bisa dipastikan. Sebab ada faktor-faktor lain yang ikut memengaruhinya dan saling berkaitan. Dalam catatan Pusat Data, dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tentang Situasi dan Pencegahan Bunuh Diri tahun 2019, faktor-faktor tersebut di antaranya  genetik, organobiologik, psikologik, dan sosiokultural.

Sebenarnya bunuh diri bisa dicegah apabila kita sebagai orang terdekat atau keluarga ikut melakukan tindakan untuk menyelamatkan hidupnya. Kita sebagai manusia harus menambah pengetahuan tentang bunuh diri agar peka terhadap mereka. Jangan pernah ragu untuk menanyakan kondisinya. Selain itu, perlu ada kerja sama yang kuat antara individu, keluarga, masyarakat, profesi, dan pemerintah.

*****************************************

Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.

Saat ini, tidak ada layanan hotline atau sambungan telepon khusus untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia. Kementerian Kesehatan Indonesia pernah meluncurkan hotline pencegahan bunuh diri pada 2010. Namun, hotline itu ditutup pada 2014 karena rendahnya jumlah penelepon dari tahun ke tahun, serta minimnya penelepon yang benar-benar melakukan konsultasi kesehatan jiwa.

Walau begitu, Kemenkes menyarankan warga yang membutuhkan bantuan terkait masalah kejiwaan untuk langsung menghubungi profesional kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat.

Kementerian Kesehatan RI juga telah menyiagakan lima RS Jiwa rujukan yang telah dilengkapi dengan layanan telepon konseling kesehatan jiwa:

  • RSJ Amino Gondohutomo Semarang(024) 6722565
  • RSJ Marzoeki Mahdi Bogor(0251) 8324024, 8324025
  • RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta(021) 5682841
  • RSJ Prof Dr Soerojo Magelang(0293) 363601
  • RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang(0341) 423444
  • Layanan pencegahan bunuh diri dan kesehatan mental di Bali: 0811 3855 472 yang dapat dihubungi selama 24 jam
  • Selain itu, terdapat pula beberapa komunitas di Indonesia yang secara swadaya menyediakan layanan konseling sebaya dan support group online yang dapat menjadi alternatif bantuan pencegahan bunuh diri dan memperoleh jejaring komunitas yang dapat membantu untuk gangguan kejiwaan tertentu.

Topik:

  • Irma Yudistirani
  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya