Belajar dari Kasus Bocah 14 Tahun Bunuh Pegawai Bank di Denpasar

Semoga dapat pelajaran dari kasus ini

Denpasar, IDN Times – Masih ingat kasus pembunuhan seorang teller bank swasta berinisial NPW (24) di Kota Denpasar, Minggu ( 27/12/2020) lalu? Tersangkanya adalah seorang anak di bawah umur berinisial PAHP (14). Ia diamankan tanpa perlawanan di Pantai Penimbangan, Kabupaten Buleleng, pada Kamis (31/12/2020) pukul 00.40 Wita.

Kejadian itu menggemparkan publik, karena pelakunya terbilang masih muda dan tega menghabisi nyawa korban menggunakan pisau dapur. Apa yang sebenarnya dialami oleh tersangka?

Menurut penjelasan Dosen Program Studi Psikologi Universitas Bali Internasional, Aritya Widianti, dengan kondisi usia tersangka yang masih muda, ia lebih banyak dikuasai oleh emosi. Ditambah lagi desakan keadaan yang tidak terbendung, kurangnya rasa nyaman dari keluarga (Dalam hal ini tersangka adalah anak putus sekolah), tinggal di rumah bedeng yang tidak nyaman, hingga orangtua harus berbagi perhatian dan kasih sayang dengan saudara lainnya. Hal itulah yang menguatkan perilaku tersangka untuk melakukan tindak pidana.

Berikut ini penjelasan selengkapnya:

Baca Juga: Pelaku Pembunuhan Pegawai Bank di Denpasar Ditangkap, Masih 14 Tahun

1. Tersangka secara psikologis belum matang

Belajar dari Kasus Bocah 14 Tahun Bunuh Pegawai Bank di DenpasarPelaku pencurian dan pembunuhan pegawai bank pada saat dihadirkan di hadapan media. (Dok.IDN Times/Polresta Denpasar)

PAHP baru berusia 14 tahun, namun terjerat tindak pidana pencurian dan pembunuhan di rumah daerah Jalan Kertanegara, Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, pada Minggu (27/12/2020) pukul 16.00 Wita. Kini setelah ditetapkan tersangka, PAHP mendekam di rutan Kepolisian Resor Kota (Polresta) Denpasar.

Aritya menjelaskan, secara psikologis, semua orang yang usianya masuk periode remaja sering dikuasai oleh emosi dan psikologisnya belum matang. Hal inilah yang ia pandang terjadi pada kondisi PAHP. Hal itu diperkuat oleh keadaan ekonomi yang tidak mendukung di keluarganya. PAHP diketahui putus sekolah dan bekerja sebagai buruh bangunan.

“Pelaku yang masih di bawah umur tentu secara psikologis belum matang ketika memutuskan sesuatu. Usianya yang masuk periode remaja membawa individu (Bukan såja pelaku) sering dikuasai emosi ketika menyelesaikan suatu permasalahan,” jelasnya, pada Jumat (1/12/2020).

Baca Juga: Fakta-fakta Pelaku Pembunuhan Perempuan Pegawai Bank di Bali  

2. Tersangka bisa saja terpapar dari perilaku anggota keluarganya

Belajar dari Kasus Bocah 14 Tahun Bunuh Pegawai Bank di DenpasarPelaku pencurian dan pembunuhan pegawai bank pada saat dihadirkan di hadapan media. (Dok.IDN Times/Polresta Denpasar)

PAHP diketahui tinggal bersama ayah, ibu tiri, dan ketiga adik tirinya di kos-kosan seluas 4x3 meter dekat lokasi kejadian. Hal yang disoroti Aritya adalah persoalan pengasuhan orangtuanya. Karena dengan banyaknya anggota keluarga yang tinggal di tempat sempit, membuat privasi kian tidak terjaga.

Hal ini kaitannya dengan PAHP, yang oleh Kapolresta Denpasar Kombes Pol Jansen Avitus Panjaitan, diduga menyukai sesama jenis. Kabar itu terungkap ketika polisi menangkap PAHP di Pantai Penimbangan pada Kamis  (31/12/2020) pukul 00.40 Wita, sedang bersama teman laki-lakinya.

“Bisa jadi pengasuhan orangtua. Jika sehari-hari orangtua dan pelaku harus tinggal di rumah bedeng, berdesakan dengan anggota keluarga yang lain. Artinya kurang ada privasi satu dengan yang lain. Bukan tidak mungkin si pelaku cukup sering terpapar perilaku seksual orangtuanya sejak kecil,” ungkap Aritya.

Ia menegaskan, banyak literasi yang menjelaskan penyimpangan perilaku seksual bisa terjadi karena pernah mendapat perlakuan yang serupa.

Baca Juga: Korban Pembunuhan di Bali Sempat Melawan, Lima Kali Berteriak Maling 

3. Ada proses berpikir yang dilakukan oleh tersangka

Belajar dari Kasus Bocah 14 Tahun Bunuh Pegawai Bank di DenpasarOlah TKP pembunuhan pegawai Bank di Denpasar (Dok.IDN Times/Polresta Denpasar)

Aritya melanjutkan, runtutan kondisi tersebut tentu tidak mudah bagi si pelaku. Akibatnya, pelaku memiliki kebutuhan ekonomi yang cukup banyak. Namun kemampuan dirinya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tersebut tidak banyak. Sehingga pelaku memilih jalan pintas dengan mengambil barang milik orang lain.

Ia menyayangkan pelaku yang membawa pisau dapur milik orangtuanya. Kondisi itu dianggapnya sudah ada proses berpikir ketika akan melakukan tindak pidana. Ia membawa pisau dari rumah ketika menjalankan aksinya.

“Pelaku putus sekolah, upah buruh tidak banyak dan bisa jadi tidak ada pekerjaan, meminta uang kepada orangtua juga sulit karena kondisi orangtua juga tidak memungkinkan si pelaku mendapat kenyamanan finansial. Hal yang paling mudah adalah mengambil barang miliki orang lain.”

Situasi peristiwa yang tidak bisa dikendalikan karena korban berteriak, menurutnya membuat pelaku semakin panik, dan melakukan tindak kekerasan yang berakibat nyawa seseorang melayang.

Baca Juga: 8 Jenis Pelecehan Seksual yang Umum Terjadi di Sekitarmu, Laporkan!

4. Setelah melakukan pembunuhan, mental pelaku juga terdampak

Belajar dari Kasus Bocah 14 Tahun Bunuh Pegawai Bank di DenpasarPelaku pencurian dan pembunuhan pegawai bank pada saat dihadirkan di hadapan media. (Dok.IDN Times/Polresta Denpasar)

Setelah melakukan tindak pidana sampai menghilangkan nyawa itu, kata Aritya, juga berdampak kepada kondisi mental pelaku. Apakah skalanya ringan sampai berat, membutuhkan proses pendampingan psikologis secara tatap muka dengan tujuan preventif agar ia tidak menjadi pelaku kriminal kembali di kemudian hari. Inilah tugas yang harus dilakukan secara bersama-sama, terlebih ketika ia berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) anak nantinya.

“Tentunya mental pelaku terdampak. Setidaknya dari individu yang bebas ke mana-mana menjadi individu yang terbatasi di dalam penjara.”

Pantas atau tidaknya ia mendapatkan keringanan hukuman, harus mempertimbangkan hal meringankan dan memberatkan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, ketika sudah berada di proses persidangan.

5. Kasus pembunuhan yang melibatkan anak ini menjadi pertanyaan bersama

Belajar dari Kasus Bocah 14 Tahun Bunuh Pegawai Bank di DenpasarDosen Program Studi Psikologi Universitas Bali Internasional, Aritya Widianti. (Dok.IDN Times/istimewa)

Sekarang, satu hal yang paling penting dari sudut pandang psikologi adalah bagaimana mengedukasi masyarakat secara terus-menerus. Aritya mencontohkan dari kondisi pelaku dan keluarganya dalam kasus ini, muncul beberapa pertanyaan seperti:

  • Orangtua dan pelaku tinggal di rumah bedeng dengan jumlah anggota keluarga enam orang. Kalau sudah tahu mengalami kesulitan secara finansial, kenapa punya banyak anak?
  • Kenapa pelaku sampai putus sekolah? Apakah pemangku kebijakan tidak memiliki datanya, agar anak ini selesai wajib belajar 9 tahun, sesuai yang dicanangkan pemerintah?
  • Jika memang pelaku sejak dulu disebut anak yang nakal atau membangkang atau sulit diberitahu dan lainnya, lalu bagaimana pola asuhnya? Apakah ada sistem dari pemerintah mengenai edukasi pranikah terhadap pasangan?

“Ada banyak benang merah yang bisa dikaitkan menurut saya, dan itu mesti sinergi dari hulu ke hilir. Supaya Indonesia memiliki genarasi yang bukan saja sehat secara fisik, tetapi sehat jiwanya,” terang Aritya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya