Kuliner Lawar Empas di Bali, Bolehkah Dikonsumsi?

Udah pernah nyobain lum?

Tabanan, IDN Times - Wayan Sudarta mungkin tidak menyangka jika kuliner Lawarnya ini diminati oleh masyarakat. Sangat tidak umum, dan hanya orang-orang tertentu--yang barangkali percaya dengan khasiatnya--mau membelinya. Bukan pula karena campuran darah segar ataupun darah setengah matang yang digunakan dalam Lawar. Melainkan ia memakai daging Empas alias Bulus sebagai campuran Serapah dan Lawar.

Sudarta menjual sepaket berisi nasi putih, Serapah, Lawar Empas, dan segelas air Kelapa Muda seharga Rp30 ribu. Ia menjualnya di Desa Pejaten, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Lho, hewan amfibi ini tidak dilindungi ya?

IDN Times Bali mewawancarai pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali untuk memastikan, bahwa Empas ini termasuk satwa yang dilindungi atau tidak. Berikut ini hasil liputannya.

Inilah penampakan foto Empasnya. Cerita ini bermula dari Sudarta yang memancing Empas di air tawar

Kuliner Lawar Empas di Bali, Bolehkah Dikonsumsi?Empas (Dok.IDNTimes/Istimewa)

Wayan Sudarta adalah pemilik Warung Di Pangkung Pak Cika yang menjual kuliner Lawar Empas. Lokasinya di Banjar Dalem Baleran, Desa Pejaten, Kecamatan Kediri. Ceritanya, pada 2020, ia berhasil memancing Empas seberat 16 kilogram di air tawar. Hewan tersebut hendak dijual utuh, bukan dalam bentuk olahan. Namun, ayahnya menyarankan Sudarta agar mengolah Empas tersebut menjadi makanan. Dari situlah ia pertama kali membuka kuliner Serapah dan Lawar Empas pada tahun 2020. 

"Sejak saat itulah saya mulai buka kuliner Serapah dan Lawar daging Empas," kata Sudarta, Selasa (23/1/2024).

Kuliner Lawar Empas di Bali, Bolehkah Dikonsumsi?Wayan Sudarta (Dok.IDN Times/Istimewa)

Modal coba-coba ini mendatangkan peminat. Ada saja masyarakat yang datang untuk mencoba menu Serapah dan Lawar Empas bikinannya. Kata Sudarta, peminatnya hampir datang dari seluruh Bali. Lambat laun, ia semakin banyak membutuhkan pasokan daging Empas.

Warungnya bisa menghabiskan 20 kilogram daging Empas untuk diolah menjadi Serapah dan Lawar. Ia mulai mencari Empas ini dari Kabupaten Bangli, hingga ke Kabupaten Karangasem. Beberapa kali juga pernah mendatangkannya dari Pulau Jawa.

"Untuk yang datang dari Pulau Jawa ini, saya hanya mau menerima yang beratnya di atas 20 kilogram. Soalnya kalau di bawah itu, dagingnya sedikit dan tidak dapat lemaknya," katanya.

Sudarta punya pelanggan. Ia diberi tahu kalau Empas ini ada khasiatnya

Kuliner Lawar Empas di Bali, Bolehkah Dikonsumsi?Minyak empas (Dok.IDNTimes/Istimewa)

Sudarta pernah mengobrol dengan pelanggan warungnya. Menurutnya, mereka membeli olahan daging Empasnya untuk keperluan pengobatan. Katanya hewan yang satu generasi dengan Penyu ini dapat menormalkan kadar kolesterol, dan mengobati penyakit asam lambung. Mereka juga sering mengaitkannya sebagai makanan pembangkit stamina.

Meski klaim tersebut belum bisa dibuktikan secara empiris, faktanya Sudarta juga menjual turunan dari Empas. Yaitu minyak dari olahan lemak Empas yang sebelumnya dijemur terlebih dahulu. Untuk minyak Empas ini, Sudarta menerima testimoni dari pelanggan yang bisa membuktikan khasiatnya dari sisi kesehatan.

"Ada testimoni dari pelanggan yang minum minyak Empas ini sembuh dari penyakit batu ginjal. Ada juga yang sembuh dari penyakit asam lambung," ujarnya.

Atas dasar testimoni inilah Sudarta memproduksi minyak Empas, yang dijual mulai Rp10 ribu per mililiter (ml). Namun jika pelanggannya ingin membeli dalam kemasan botol, Sudarta menjualnya dengan harga berbeda. Rp100 ribu untuk botol ukuran 20 ml, dan Rp400 ribu untuk botol ukuran 100 ml.

Sejauh ini belum ada jurnal yang meneliti manfaat minyak Bulus dalam dunia kesehatan. Namun dari sisi tradisional, minyak Bulus dijadikan sebagai alternatif pengobatan herbal. Ini berdasarkan penelitian Mika Tri Kumala Swandari dan Anita Ratna Faoziyah yang diterbitkan di Jurnal Kesehatan Alirsyad (JKA) pada 2 September 2016. Mereka meneliti para nelayan di Kabupaten Cilacap yang memproduksi minyak Bulus. Bulus tersebut diekstraksi menjadi minyak. Masyarakatnya secara turun temurun menggunakan minyak Bulus sebagai bahan kosmetik, meski tidak tahu kandungan senyawa di dalamnya.

Lalu bagaimana soal rasa dan aromanya? Menurut seorang warga yang pernah merasakan kuliner Empas, Juli Indrawan, aroma dagingnya amis. Saat itu ia diajak oleh teman-temannya untuk mengolah sendiri daging Empas. Awalnya ragu-ragu untuk menyobanya, karena Empas merupakan hewan yang tidak lazim dikonsumsi bagi Juli.

Kali kedua ia mencoba Empas. Kali ini Juli bersama teman-temannya datang ke rumah makan di wilayah Kabupaten Badung. Warung ini menyediakan hidangan berbagai olahan daging Empas seperti lawar dan sate. Setelah menikmatinya, ia baru memahami bahwa daging Empas harus diolah secara tepat agar tidak mengeluarkan rasa amis.

"Rasanya enak dan tidak ada aroma amis sama sekali. Mungkin penjualnya memahami bumbu-bumbu untuk menghilangkan amisnya," katanya saat diwawancara Sabtu, 2 Maret 2024.

Meskipun demikian, Juli tidak menjadikan kuliner Empas sebagai makanan favoritnya. Menurutnya, daging empas tidak lebih lezat dari daging lainnya yang lazim dikonsumsi.

"Kalau dikatakan favorit sih gak, cuma ingin saja coba (Empas) karena unik," ungkapnya.

Apakah Empas statusnya dilindungi?

Status perlindungan hukum Empas ini sempat menjadi pertanyaan, terutama bagi calon konsumen yang takut untuk mengonsumsi makanan berbahan dasar satwa ini. Kalau dilihat secara fisik, bentuk mocongnya mirip Labi-Labi Moncong Babi. Namun Kepala BKSDA Bali, R Agus Budi Santoso, menyatakan bahwa satwa tersebut tidak dilindungi undang-undang (UU). Sehingga tidak ada masalah hukum apabila masyarakat mengonsumsinya. Untuk membedakannya, Empas memiliki warna lebih kecokelatan, sedangkan Labi-Labi Moncong Babi berwarna hitam atau abu-abu. Selain itu, Labi-labi Moncong Babi menggunakan kakinya untuk berenang di air, dan Empas menggunakan kakinya untuk merayap atau berjalan di dasar sungai atau rawa.

"Moncong hampir sama, tapi kakinya beda. Kalau Bulus kakinya seperti ada jari-jarinya pendek 3 sampai 4 buah, untuk berjalan. Kalau Labi-labi Moncong Babi kakinya seperti sirip, untuk berenang," jelasnya.

Sementara itu berdasarkan daftar merah lembaga konservasi alam internasional, IUCN, Labi-labi Moncong Babi berstatus endangered atau terancam punah. Satwa ini juga dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.

Pihaknya lalu mendatangi lokasi warung yang ada di Tabanan tersebut. Dari hasil pengamatannya, Empas ini tidak dilindungi dalam UU. Bahkan untuk membelinya, masyarakat bisa melakukan pembelian di beberapa platform e-commerce.

"Pelochelys cantorii atau Dogania subplana atau Amyda cartilaginea atau Labi-labi atau Bulus (Bahasa Jawa/Bali) tidak dilindungi," kata Agus.

Penulis: Wira Sanjiwani, Ayu Afria, Wayan Antara, Irma Yudistirani

Topik:

  • Irma Yudistirani
  • Mayang Ulfah Narimanda

Berita Terkini Lainnya