Usaha Kerajinan Kayu Laut di Bali Terkendala Biaya Kargo saat Pandemik

Ni Wayan Listriani bersyukur masih bisa ekspor ke Eropa

Gianyar, IDN Times – Pada masa pandemik ini tidak banyak pengusaha di Bali yang bisa bertahan dan melangsungkan usahanya. Cukup banyak dari mereka yang memilih berhenti sementara, sampai waktu yang belum ditentukan. Macetnya perekonomian ini tentu tidak hanya dirasakan oleh Bali yang mengandalkan potensi pariwisata, melainkan seluruh masyarakat dunia. 

Mereka yang memproduksi barang kerajinan juga terkena imbas pandemik, mulai dari pesanan yang macet, termasuk tidak adanya pembeli karena zero kunjungan wisatawan. Seandainya pun ada pesanan, biaya pengiriman dipastikan akan membengkak sehingga membuat pengusaha harus berhitung ulang. Begitu pula yang dialami seorang perajin kayu laut asal Banjar Tegal, Desa Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Ni Wayan Listriani (38).

Saat disambangi IDN Times ke rumahnya, tampak sejumlah pekerja tengah mengolah kayu-kayu limbah laut. Ada yang membuat bentuk kepala banteng, meja, pajangan dinding, hingga cermin. Listriani mengaku telah 13 tahun lamanya menggeluti usaha ini. Para pembelinya sebagian besar berasal dari Prancis, Inggris, dan Australia. 

1. Terinspirasi dari seorang wisatawan asal Prancis

Usaha Kerajinan Kayu Laut di Bali Terkendala Biaya Kargo saat PandemikUsaha Kerajinan Kayu Laut di Kabupaten Gianyar. (IDN Times/Ni Ketut Sudiani)

Listriani menuturkan, ide usaha ini bermula ketika ada seorang wisatawan asal Prancis yang tinggal di rumahnya membuat figura berbahan limbah kayu laut. Ternyata hasil dari kerajinan itu menarik wisatawan lainnya dan ia pun ikut terinspirasi. Menurut Wayan Listriani, dari sanalah kemudian ia terus menggeluti usahanya yang diberi nama Fortuna ini. 

“Dari situ kami mulai bikin bermacam-macam ukuran dan desain,” jelasnya pada Jumat (29/1/2021). Listriani mengatakan pada masa awal produksi, ia sudah mendapatkan pesanan dari luar negeri senilai Rp5 juta.  

Sebelum COVID-19 menginfeksi, ia menerima banyak pesanan berbagai bentuk kerajinan dari kayu laut, di antaranya lampu, berbagai jenis bentuk binatang, maupun cermin. Produk yang dibuatnya memang sengaja dibiarkan alami tanpa dicat. Harga yang dibanderol mulai Rp15 ribu hingga ratusan ribu sesuai dengan model dan ukurannya. Produknya yang menggunakan bahan kayu stainless biasanya dijual lebih mahal sebab bisa tahan lebih lama. Listriani merasa sangat bersyukur dalam kondisi yang berat seperti ini, ia masih menerima pesanan dari luar negeri. 

"Dalam sebulan tidak menentu berapa kali kirim barang ke luar negeri. Biasanya kargo yang langsung ambil ke sini," jelasnya.

Saat pandemik ini Listriani mempekerjakan 12 orang karyawan. Beberapa di antaranya adalah mereka yang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pekerja di sektor pariwisata. Sebagian pekerja lainnya adalah anggota keluarganya yang tinggal di dalam satu banjar. 

2. Biaya pengiriman melalui kargo membengkak saat pandemik

Usaha Kerajinan Kayu Laut di Bali Terkendala Biaya Kargo saat PandemikUsaha Kerajinan Kayu Laut di Kabupaten Gianyar. (IDN Times/Ni Ketut Sudiani)

Meskipun masih tetap ada pesanan dari para pelanggannya, namun Listriani malah dihadapkan dengan biaya kargo yang kini berkali lipat lebih mahal dari harga normalnya. Persoalan ini pula yang dikeluhkan oleh salah satu pembelinya, warga negara Prancis. Pengiriman barang kerajinan keluar Bali pun menjadi semakin susah sebab berdampak pada harga jual dan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.

“Jadi bayarnya bisa tiga kali lipat,” jelas Listriani.

3. Kendala gudang penyimpanan untuk stok bahan baku

Usaha Kerajinan Kayu Laut di Bali Terkendala Biaya Kargo saat PandemikUsaha Kerajinan Kayu Laut di Kabupaten Gianyar. (IDN Times/Ni Ketut Sudiani)

Musim hujan membawa berkah tersendiri bagi keluarga Wayan Listriani. Pasalnya, bahan baku utama usahanya hanya bisa diperoleh selama musim hujan berlangsung. Ia memanfaatkan jasa pengepul yang berdomisili di Kecamatan Negara dan Kecamatan Pekutanan, Kabupaten Jembrana. Satu karung kayu laut yang dikumpulkan pengepulnya dihargai Rp10 ribu sampai Rp20 ribu.

“Kami nyarinya di Negara, di Pekutatan. Ada di sana pengepulnya nenek-nenek,” jelasnya.

Saat ini ia juga menghadapi kendala gudang penyimpanan untuk stok bahan bakunya. Ia berupaya mencari gudang penyimpanan agar saat kemarau tiba, tidak lagi kebingungan mencari bahan baku produksi.

“Sekarang kan musim hujan. Bahan bakunya ada di pantai. Bahan bakunya harus distok. Nah tempat gudang penyimpanan kayunya yang terbatas,” jelasnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya