Hotel di Kuta Utara Berlomba Turunkan Harga: Kami Butuh Survive

Harga murah tapi gak ada permintaan

Badung, IDN Times – Pandemik COVID-19 dan larangan wisatawan asing (Wisman) masuk ke Indonesia, membuat sejumlah pengusaha properti di Provinsi Bali kelimpungan. Ada kabar mereka mulai menjual asetnya, memilih tutup, hingga buka tipis-tipis dengan mengandalkan okupansi dari wisatawan domestik (Wisdom).

Berikut ini hasil wawancara IDN Times bersama beberapa pihak hotel bintang 4 di kawasan wisata Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.

Baca Juga: Bisnis Kos-kosan di Bali Macet, Hingga Penghuni Memilih Pulang Kampung

1. Memilih tetap buka secara bertahap selama pandemik

Hotel di Kuta Utara Berlomba Turunkan Harga: Kami Butuh SurviveIlustrasi hotel bintang 4 di Citadines Berawa Beach Bali (dok.IDN Times/Citadines Berawa Beach)

General Manager (GM) Citadines Berawa Beach Bali, Francisca Thorogood, memilih membuka karena mendapat dukungan penuh dari pemilik hotel serta komitmen yang kuat dari pengelola properti. Untuk mengimbangi komitmen tersebut dan tetap bertahan di situasi seperti ini, maka pemilik Hotel Citadines Berawa Beach dan pengelola properti The Ascott Limited memilih untuk membukanya secara bertahap.

“Dua puluh lima persen setiap kuartalnya yang akan secara utuh sebanyak 224 unit dibuka pada akhir tahun,” ungkapnya, Rabu (17/2/2021) lalu.

Ia mengakui pasar yang bisa diandalkan sekarang adalah wisdom semenjak penerbangan internasionalnya ditutup. Namun dengan peraturan pembatasan mobilitas masyarakat, pangsa pasar ini semakin sedikit. Persaingan yang saat ini dihadapi oleh para hotelier adalah kompleksitas persaingan harga imbas dari minimnya demand (Permintaan) yang ada.

“Membuat banyak hotel yang berlomba-lomba menurunkan harga hingga tidak beroperasi,” ucapnya.

Hotel bintang 4 ini sendiri gencar melakukan promosi opening rate mulai dari harga Rp650 ribu untuk tamu yang menjadi anggota Ascott Star Rewards, dan diskon 35 persen dari Best Flexible Rate untuk anggota program loyalitas Ascott. Sedangkan untuk para tamu tarifnya Rp650 ribu sampai Rp750 ribu per malam, serta beberapa penawaran lainnya untuk menggaet wisatawan yang menginap.

Sementara itu terkait tahapan operasional hotel, karyawan tetap masuk sesuai jumlah kamar yang dibuka. Pihaknya melibatkan warga setempat untuk bekerja di hotel dengan porsi yang telah ditentukan.

“Adapun sesuai komitmen kami dalam mengembangkan daerah Berawa. Kami memberikan peluang kerja sebesar 30 persen bagi warga asli Berawa untuk memenuhi total kebutuhan pekerja di tiap departemen,” jelasnya.

2. Tidak ada demand tetapi memainkan harga rendah

Hotel di Kuta Utara Berlomba Turunkan Harga: Kami Butuh SurviveFRii Bali Echo Beach (IDN Times/Ayu Afria)

Sementara itu GM FRii Bali Echo Beach, Hasan Bisri, ketika diwawancarai IDN Times pada Kamis (18/2/2021), mengungkapkan kondisi sebelum pandemik tamunya hampir 98 persen merupakan wisman. Tamu yang paling mendominasi adalah turis asal Australia sebanyak 45 persen. Namun semenjak pandemik ini merosot. Okupansinya hanya 5 sampai 10 persen saja. Hotel ini sempat tutup sementara selama lima bulan, sejak April hingga Agustus 2020 lalu.

“Penutupan tidak menerima tamu ya karena kami menyesuaikan dan mempersiapkan daripada segi operasional itu untuk siap menerima tamu sesuai protokol kesehatan, kami training juga karyawan kami. Tata letak ruangan, malah maintenance juga. Apa sih yang perlu kami siapkan kalau buka. Kebetulan juga pas buka ada sertifikasi dari Pemprov Bali CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability). Kami lolos di sana,” ungkapnya.

Ia menilai, rata-rata sekarang banyak hotel yang memainkan harga rendah, padahal tidak ada demand. Namun pihaknya lebih memanfaatkan tamu-tamu ekspatriat yang sudah tinggal lama di Bali dengan sistem escaping. Yakni bagi mereka yang sudah jenuh kerja dari rumah dan ingin kerja dari hotel. Atau memanfaatkan market Work from Home (WFH), namun penawarannya bekerja di dalam kamar hotel.

Selain itu melakukan kolaborasi dengan stakeholder yang terhubung dengan pariwisata untuk membangkitkan perekonomian lagi. Saat ini ia buka harga minimal Rp250 ribu per malam dari harga normalnya Rp600 ribuan.

“Apa yang bisa kami godok dulu nih, on island. Jadi yang sudah ada di Bali ini yang kami manfaatkan. Ya memang persaingan itu pasti ya. Karena kami juga butuh untuk survive. Minimum paling nggak nutupin cost operasional. Penggajian karyawan. Pembayaran energi gitu ya. Terus juga cost operasional yang lainnya juga,” jelasnya.

Untuk tenaga kerjanya sendiri, ia telah melakukan pengurangan hingga 40 persen dan lebih mengoptimalkan cost efficient atau multitasking. Yaitu setiap orang memiliki pekerjaan ganda namun disesuaikan dengan kemampuannya.

Baca Juga: Dekan FEB Unud: Bali Tidak Bisa Melawan Musuh yang Tidak Pasti

3. Hotel bisa memanfaatkan day pass dan perlu mengubah sasaran

Hotel di Kuta Utara Berlomba Turunkan Harga: Kami Butuh SurviveIlustrasi Koridor Hotel (IDN Times/Sunariyah)

IDN Times lantas mencoba menghubungi Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata Badung Cokorda Raka Darmawan dan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung, I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya, namun yang bersangkutan belum merespon.

Dosen Ekonomi di Universitas Warmadewa (Unwar), Anak Agung Gede Krisna Murti, menilai hotel bisa memanfaatkan day pass sebagai alternatif untuk sekarang ini. Sebab para wisatawan kebanyakan hanya bermain ke area Canggu saja, kemudian kembali lagi ke tempat tinggalnya.

“Kalau untuk sekarang strategi yang mungkin dilakukan itu memang menyasar lokal ya. Jadi kayak paket keluarga, model-model macam itu. Kemudian ada beberapa event itu juga sebenarnya bisa dimanfaatkan. Karena memang saat ini kita over suplay banget untuk kamar hotel kan,” ungkapnya, Jumat (19/2/2021).

Dari pengamatannya sejauh ini, wilayah Canggu lebih bergeliat dibandingkan Kuta misalnya bisnis restoran dan usaha lainnya. Selain itu perputaran uang di wilayah Canggu juga masih ada.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya