Indonesia Terjebak Posisi Middle Income Selama 29 Tahun, Mengapa?

Industri disebut seharusnya menjadi kunci

Badung, IDN Times – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, mengungkapkan Indonesia sudah menjadi negara middle income jika dibandingkan China. Pada tahun 1982 sampai 1983, Indonesia sudah beralih dari lower income ke middle income. Namun masuk kembali ke lower income setelah peristiwa 1997-1998. Indonesia berhasil beranjak ke middle income pada tahun 2002 hingga 2019.

“Lalu, kita masuk di upper middle income. Yang menarik adalah yang middle income itu sering kali terjebak untuk naik kelas, untuk bisa graduasi ke tingkat yang lebih tinggi. Banyak ranjaunya, banyak hal yang mesti dipenuhi,” ungkapnya.

Menurutnya Indonesia cukup lama berada di posisi middle income. Pada tahun 1980-an dan 1990-an, menjadi miracle dari Asia Timur, termasuk ASEAN. Saat itu Indonesia menjadi champion

“Berdasarkan studi, itu mestinya maksimal 14 sampai 28 tahun, tapi kita 29 tahun. Kita masih di middle income. Maka disebut middle income trap. Belajar dari negara tetangga kita, mereka umumnya lebih cepat yakni 18 sampai 20 tahun. Kita lihat Chili, bahkan 14 tahun. Pertanyaannya, bagaimana mereka bisa cepat? Salah satu strategi, instrumen, atau kebijakan yang pas adalah industri. Industri memang kunci, terutama industri manufaktur,” ungkapnya.

Baca Juga: Indonesia Harus Transformasi Ekonomi untuk Jadi Negara Maju di 2045

1. Pemangku kepentingan diminta berpikir kembali dan menyusun strategi untuk reindustrialisasi

Indonesia Terjebak Posisi Middle Income Selama 29 Tahun, Mengapa?Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa. (Dok.IDN Times/istimewa)

Persoalan di atas dibahas dalam puncak Indonesia Development Forum (IDF) 2022 bertajuk The 2024 Development Agenda: New Industrialization Paradigm for Indonesia’s Economic Transformation di Jimbaran, Kabupaten Badung.

Acara yang diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas tersebut guna meningkatkan efektivitas kebijakan pembangunan industri ke depan, dalam jangka menengah maupun panjang. 

Melalui rangkaian acara ini, Bappenas ingin mengajak pemangku kepentingan untuk berpikir kembali dan menyusun strategi untuk reindustrialisasi. Bagaimana caranya? Dengan menempatkan industri dalam peta Indonesia untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan Indonesia.

2. Indonesia terjebak di industri permesinan

Indonesia Terjebak Posisi Middle Income Selama 29 Tahun, Mengapa?Ilustrasi Pameran Brand Fashion, Uniqlo (IDN Times/Anata)

Suharso Monoarfa mengatakan bahwa fakta menunjukkan bagaimana Indonesia terjebak di industri permesinan karena berhenti di industri tekstil. Indonesia telah mengklaim diri sebagai negara industri. Namun di era industri 4.0, sumbangan dari industri manufaktur belum tumbuh di atas 20.

“Tidak ada memang tahapan yang ujug-ujug dalam sebuah industri. Rule of thumb-nya itu, mestinya di atas 20 persen. Kita pernah 24-26 persen, kemudian kembali. Kita terlalu cepat kembali menjadi negara trader. Perdebatan antara maker atau trader. Indonesia akan jadi maker atau trader, kalau mau membuat suatu barang, kebutuhan suatu barang, kalau lebih murah beli, kenapa harus bikin? Kita masuk di industri sekarang, kita jadi generasi enigma karena kita ngekor saja, jadi buyer, jadi pemakai, jadi end user. Ini mengakibatkan tenaga kerja migrasinya dari pertanian jadi pedagang, trader, tidak ada ke industri." ujarnya. 

3. Indonesia harus menjawab kebutuhan lifestyle baru

Indonesia Terjebak Posisi Middle Income Selama 29 Tahun, Mengapa?Ilustrasi transaksi digital (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Menurut Suharso, Indonesia harus menjawab reindustrialisasi ke depannya. Industrialisasi harus menjawab kebutuhan lifestyle baru, yang sustainable, smart, and functional. Termasuk juga transisi digital dan transisi hijau yang tak terelakkan lagi.

“Konsumen-konsumen kita semakin pandai, semakin smart. Maunya affordable dan canggih. Dengan demikian, juga model-model bisnis akan berubah. Permintaan tenaga kerja berubah dan demikian juga cara pembiayaan juga berubah. Beberapa perusahaan sudah menunjukkan bagaimana mereka bisa melakukan terobosan-terobosan,” ungkapnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya