Pengamat: Kasus Positif COVID-19 di Bali Seharusnya Sudah Ribuan

Kalau dilihat dari pola penyebarannya bisa saja terjadi

Badung, IDN Times – Berdasarkan data terakhir per Selasa (21/4), total kumulatif kasus positif COVID-19 di Bali kini mencapai 150 orang. Jika melihat data hari Senin (20/4) lalu, ada penambahan 10 orang yang positif. Penambahan baru 10 orang ini terdiri dari tujuh orang PMI, dua orang transmisi lokal, dan satu orang dari daerah terjangkit.

Dari 150 orang yang positif tersebut, 142 orang di antaranya merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) dan delapan orang Warga Negara Asing (WNA). Dari 142 WNI yang positif terbagi lagi menjadi 99 orang karena imported case, 17 orang dari daerah terjangkit, dan 26 orang karena transmisi lokal.

“Yang sembuh saya tidak mendapatkan laporan. Jumlah yang sembuh tetap 42 orang. Yang meninggal Astungkara tidak ada tambahan. Tetap tiga orang. Sementara dalam perawatan 105 orang,” terang Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Dewa Made Indra, dalam live streaming YouTube Humas Provinsi Bali, Selasa (21/4).

Jumlah ini rata-rata didominasi oleh kasus imported case dari kelompok masyarakat berisiko seperti Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Bali. Jika kasusnya dipersentase berdasarkan transmisi lokal dan imported case baik dari luar negeri maupun dari daerah lain, maka hasilnya:

  • Transmisi lokal di Bali: 17,33 persen
  • Imported cases dari luar negeri dan luar daerah: 82,67 persen.

Hingga Minggu (19/4) kemarin, tercatat sebanyak 10.684 PMI yang bekerja sebagai ABK (Anak Buah Kapal) telah tiba di Bali.

Meskipun puluhan ribu PMI tersebut telah tiba di Bali, namun kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di Bali dari orang PMI masih terbilang di kisaran angka yang kecil atau sedikit. Padahal kalau dilihat Bali sebagai daerah tujuan internasional, sudah tentu memiliki potensi besar terjadi kasus terkonfirmasi positif COVID-19. Namun faktanya, hal tersebut belum terjadi. Kondisi inilah yang membuat Bali berkali-kali menjadi sorotan dunia internasional.

Lalu bagaimana menurut pandangan pengamat kesehatan terkait kondisi ini? Berikut penjelasan dr I Made Ady Wirawan MPH PhD, dari Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud) Pusat Penelitian Kesehatan UNUD:

1. Kalau dilihat dari pola penyebaran penyakit, seharusnya sudah sekitar ribuan ada di Bali

Pengamat: Kasus Positif COVID-19 di Bali Seharusnya Sudah RibuanIDN Times/Wira Sanjiwani

Kepada IDN Times melalui sambungan telepon, dokter Ady menyampaikan bahwa kasus yang terjadi di Bali sekarang ini kebanyakan masih imported case. Yakni pelaku perjalanan dari luar negeri, terutama PMI yang bekerja di kapal pesiar. Hingga kemudian muncul kasus terkonfirmasi transmisi lokal.

“Memang kalau dari permodelan yang kami buat, harusnya kalau melihat pola penyebaran penyakit harusnya sudah sekitar ribuan ada di Bali ya. Ya tapi yang terdeteksi yang kita lihat di lapangan mungkin masih sedikit ya,” terangnya, Selasa (21/4).

Mengapa demikian? Menurut dokter Ady, kemungkinan pertama adalah jumlah yang mengikuti tes COVID-19 masih sedikit. Artinya, kemampuan Bali dalam melakukan tes ini dalam 'tanda kutip' kapasitas dan kemampuan melakukan tes masih sangat terbatas. Sehingga yang menjalani tes hanya mereka yang masuk dalam kategori Pasien dalam Pengawasan (PDP) saja. Apabila Orang Tanpa Gejala (OTG) dan Orang dalam Pemantauan (ODP) juga diberlakukan tes, tentu hasilnya akan berbeda.

Baca Juga: Mengapa Orang Tanpa Gejala Bisa Positif COVID-19? Ini Penjelasan IDI

2. Selain mortalitasnya rendah, gejala-gejala berat orang yang positif COVID-19 di Bali terbilang tidak tinggi

Pengamat: Kasus Positif COVID-19 di Bali Seharusnya Sudah RibuanFoto simulasi penanganan virus corona di RSUP Sanglah, Denpasar, Bali (Dok. IDN Times/istimewa)

Ady melanjutkan, kemungkinan kedua penyebab rendahnya kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di Bali adalah penyakit ini memiliki mortalitas (Ukuran jumlah kematian) yang rendah, dan gejala-gejala beratnya juga tidak terlalu tinggi.

“Mortalitasnya rendah dan gejala beratnya memang tidak terlalu tinggi. Yang perlu perawatan di rumah sakit itu kan perkiraannya tidak terlalu tinggi. Kalaupun ada, beberapa kasus di Bali itu gejalanya ringan atau memang tanpa gejala,” ujarnya.

Dari informasi riset yang ia dapatkan, angka kejadian tanpa gejala atau asimptomatik kasus COVID-19 ini mencapai 40 persen. Artinya, kemungkinan mereka yang sebenarnya positif COVID-19 tanpa gejala sebesar 40 persen. Sehingga jika tidak dideteksi atau dites, tidak akan ketemu orang yang positif COVID-19.

Sementara itu penggunaan rapid test dinilai tidak terlalu efektif untuk mendeteksi infeksi virus ini. Pasalnya, mungkin saja hasil rapid test dari orang yang bersangkutan dinyatakan negatif, namun sebenarnya orang tersebut positif COVID-19.

“Belum tentu tidak ada virusnya. Itu yang berbahaya, yang mungkin bisa menjadi penular di masyarakat. Sehingga kalau upaya pembatasan sosial tidak dilakukan dengan ketat, ya mereka bisa menularkan,” paparnya.

Baca Juga: Bedanya Rapid Test, Swab dan PCR! Lebih Akurat Mana?

3. Kasus COVID-19 di Bali diprediksi akan terus meningkat. Tergantung dari program pemerintah untuk melakukan tes

Pengamat: Kasus Positif COVID-19 di Bali Seharusnya Sudah RibuanIlustrasi (ANTARA FOTO/Jojon)

Kondisi kasus COVID-19 di Bali ke depannya jika menggunakan Permodelan Epidemiologi (Ilmu yang mempelajari pola kesehatan, penyakit dan faktor yang terkait di tingkat populasi), diprediksi akan mengalami peningkatan terus-menerus. Namun hal ini tergantung dari berapa banyak kasus yang bisa di-capture oleh program-program pemerintah itu sendiri. Mengingat tes yang selama ini sudah dilakukan, masih ditargetkan untuk kalangan tertentu saja, misalnya PMI. Atau mereka yang dianggap memiliki kontak dekat dengan pasien positif dan yang dianggap berisiko tertular.

Misal, dengan berjalannya program 10 ribu tes per hari dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo, tentu kapasitas di wilayah Bali juga meningkat. Setelah itu bisa dilihat apakah terjadi peningkatan kasus atau tidak. Apabila tes tersebut banyak tetapi jumlah kasusnya tetap sedikit, artinya memang benar bahwa transmisi lokal ini bisa di-manage dengan baik oleh pemerintah.

Terkait rapid test yang sekarang dilakukan, menurutnya hanya mengukur antibodi. Maksudnya, ketika seseorang menjalani tes di awal baru terpapar virus, maka kadar antibodinya tidak ada kenaikan. Sehingga hasil rapid test-nya dikatakan negatif. Keefektifan ini baru bisa dilihat lima sampai tujuh hari kemudian, setelah adanya reaksi di dalam tubuh terhadap virus tersebut.

“Ada masa di mana sebaiknya melakukan tes. Dengan banyaknya dites, kita kan tahu kondisi di lapangan. Jangan-jangan sudah banyak yang kebal. Kan kita tidak tahu,” ungkapnya.

4. Riset atau penelitian yang berbasis Biologi Molekuler pada kasus pandemik di Bali masih terbatas

Pengamat: Kasus Positif COVID-19 di Bali Seharusnya Sudah RibuanDok. IDN Times

Pihaknya menyampaikan bahwa Tim Kesehatan Masyarakat yang juga tergabung dalam Satuan Tugas sebenarnya telah memberikan masukan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Termasuk memberikan analisis singkat terkait isu, katakanlah bagaimana seharusnya menangani PMI. Sementara riset atau penelitian yang berbasis Biologi Molekuler pada kasus pandemik ini masih terbatas.

“Terbatas karena... Eee saya kurang tahu juga permasalahannya di sana. Kalau di luar kan berkembang pesat itu ya, bagaimana karakteristik virusnya itu bisa dilaporkan. Bisa juga sih (Penelitian itu) sebetulnya dikerjakan (di Bali). Karena kan kita punya Lab Biologi molekuler. Ada beberapa hal-hal teknis yang mungkin tidak memungkinkan untuk dikerjakan,” tutupnya.

Baca Juga: Anggaran Penanganan COVID-19 di Bali Disiapkan Rp756 Miliar

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya