Upacara Agama Tanpa Genta, Tradisi Unik di Desa Kukuh Tabanan

Ada syarat yang harus dipenuhi jika tetap ingin pakai genta

Selain tradisi unik tidak boleh memotong babi di pewaregan (dapur) Pura Desa saat piodalan (upacara), Desa Adat Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan juga memiliki tradisi unik lainnya. Tradisi tersebut adalah tidak menyuarakan genta saat persembahyangan di desa tersebut.

Masyarakat setempat sudah menjalankan tradisi ini sejak desa tersebut terbentuk, yakni pada tahun 1685. Hingga saat ini persembahyangan tanpa menyuarakan genta masih dilaksanakan di Desa Adat Kukuh.

Baca Juga: 5 Desa Bali Aga di Buleleng, Ada Tradisi Jemur Mayat

1. Ida Betara Genta dipercaya bersemayam di Desa Adat Kukuh

Upacara Agama Tanpa Genta, Tradisi Unik  di Desa Kukuh TabananFoto hanya ilustrasi. IDN Times/Rehuel ​Willy Aditama

Bendesa Adat Kukuh, I Gusti Ngurah Arta Wijaya, mengatakan setiap proses persembahyangan di Desa Kutuh tidak menggunakan atau menyuarakan genta. Tradisi tidak menyuarakan genta dalam setiap persembahyanan ini sudah dilakukan sejak tahun 1685 silam.

"Ini berdasarkan satwa atau cerita para leluhur. Sudah sejak dulu setiap persembahyangan tidak menyuarakan genta," jelasnya.

Alasan tidak menyuarakan genta dalam prosesi persembahyangan atau piodalan karena di Desa Adat Kukuh dipercaya sudah bersemayam Siwa Genta, yang disebut pula dengan Ida Batara Genta. Secara umum setiap prosesi persembahyangan di Pura Kahyangan di Desa Adat Kukuh tidak menyuarakan genta dalam aktivitas upacara agama.

2. Upacara secara umum dipimpin oleh Pemangku Pura Kahyangan

Upacara Agama Tanpa Genta, Tradisi Unik  di Desa Kukuh TabananBendesa Adat Kukuh, I Gusti Ngurah Arta Wijaya (IDNTimes/Wira Sanjiwani)

Arta Wijaya menjelaskan bahwa apabila melihat daerah lain, memang ada beberapa tingkatan upacara yang prosesi persembahyangannya dipimpin oleh pemangku (pemimpin agama) Pura Kahyangan atau dipimpin oleh sulinggih (figur yang dimuliakan). Namun dengan adanya tradisi tidak menyuarakan genta di Desa Adat Kukuh, secara umum setiap dilaksakanan upacara, proses persembahyangan di desa tersebut cukup dipimpin oleh pemangku.

"Meski demikian, saat ini terjadi beberapa penyesuaian. Ada beberapa warga yang saat mengadakan upacara keagamaan, mereka menyuarakan genta dan dipimpin sulinggih. Meski melanggar tradisi, tetapi diperbolehkan karena itu tadi ada penyesuaian," jelas Arta Wijaya. 

Apabila dalam prosesi persembahyangan menyuarakan genta, maka satu syarat utama yang harus dipenuhi adalah pemimpin upacara, baik pemangku maupun sulinggih harus benar-benar fasih dan mengetahui mantra yang akan dilantukan.

"Sebab genta dan mantra itu adalah satu kesatuan. Jika menyuarakan genta, maka harus melafalkan mantra. Tradisi tanpa menyuarakan genta di Desa Kukuh ini karena sudah ada Ida Batara Genta sehingga pemimpin upacara, dalam hal ini pemangku hanya menyebutkan banten atau upakara apa saja yang dihaturkan," jelas Arta Wijaya.

3. Syarat sempat tidak dipenuhi, pemimpin upacara melupakan mantranya

Upacara Agama Tanpa Genta, Tradisi Unik  di Desa Kukuh TabananIlustrasi upacara keagamaan umat Hindu di Bali (IDN Times/Indah Permata Sari)

Lalu apakah tradisi ini pernah dilanggar? Arta Wijaya menekankan, dari pihak desa adat tidak melarang apabila ada masyarakat yang ingin menggunakan genta dalam prosesi piodalan.

"Namun tetap kami kembalikan kepada mereka apakah berani melanggar dresta (ketentuan) yang ada. Karena jika dilihat dari Awig-Awig atau Pararem (peraturan) yang ada, tidak ada larangan untuk menggunakan genta," paparnya.

Namun jika pemakaian genta tetap dilakukan, maka tentu harus ada syarat yang harus dipenuhi.

"Syarat utama seperti yang saya bilang, harus hafal mantra dan pemimpin upacara, baik itu pemangku dan sulinggih, ditempatkan lebih rendah dari Ida Betara Genta," jujar Arta Wijaya.

Pada tahun 1990-an, syarat ini pernah tidak dipenuhi, yaitu saat piodalan di Pura Desa, sulinggih yang memimpin upacara ditempatkan sejajar dengan posisi Ida Betara Genta. Saat itu seorang sulinggih tiba-tiba lupa akan mantra yang harus dilantunkannya dan siwa krana-nya (perlengkapan upacara) hilang dan tidak ditemukan.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya