6 Organisasi Penting dalam Sejarah Pendidikan di Bali

Tahun 1926, Bali hanya punya tingkat SD. Jadi harus ke Jawa

Pertumbuhan dan kemajuan pendidikan di Bali, tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelahiran sejumlah organisasi. Para pelajar yang sempat menempuh pendidikan di Pulau Jawa, sekembalinya ke tanah kelahiran mereka, akhirnya tergerak untuk melakukan sesuatu. Pada tahun 1920-an, jumlah sekolah di Bali memang masih sangat terbatas, hanya ada setingkat Sekolah Dasar (SD). 

Perkumpulan atau organisasi yang dibentuk oleh pemuda-pemuda Bali ini, selain untuk memperbaiki kualitas pendidikan, juga menyuarakan paham kemajuan. Ada pula organisasi mempertanyakan aturan yang dinilai justru merendahkan golongan tertentu. Pemikiran-pemikiran yang disumbangkan oleh para anggota dalam organisasi ini bahkan dipandang sebagai awal mula Kebangkitan Nasional. 

Apa saja organisasi yang begitu berperan dalam pembangunan pendidikan di Bali? Berikut enam perkumpulan di Bali sebagaimana tertulis dalam buku Sejarah Daerah Bali terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, tahun 1977-1978.

1. Perkumpulan Suita Gama Tirta

6 Organisasi Penting dalam Sejarah Pendidikan di BaliSuasana dan potret warga Bali, tahun1910-1925. (KITLV, Thilly W., Gregor Krause via Instagram.com/SejarahBali)

Perkumpulan Suita Gama Tirta dulu dikenal sebagai organisasi yang menjadi embrio Kebangkitan Nasional. I Gusti Putu Djelantik merupakan satu di antara beberapa pendiri Perkumpulan Suita Gama Tirta. Pada saat itu ia bekerja di Raad van Kerta Singaraja dan termasuk orang terpandang dengan pendidikan yang cukup modern di kalangan bangsawan.

Anggota organisasi ini berasal dari seluruh lapisan masyarakat Bali atau semua yang masuk dalam empat kasta. Disebutkan, bahwa tujuan dari terbentuknya organisasi ini adalah untuk memuliakan agama serta ingin melakukan pembaharuan dalam bidang adat dan agama.

Pendidikan agama yang dimaksud tidak terbatas pada golongan tertentu saja, semisal Brahmana atau golongan Kesatria. Sebelumnya masyarakat memiliki keyakinan bahwa orang yang boleh mempelajari agama atau membuka lontar-lontar, khususnya yang berhubungan dengan kerajaan, hanyalah dari kasta Brahmana atau kasta Ksatria. Sementara masyarakat yang berasal dari golongan kasta lainnya dilarang melakukan itu semua.

Pada masa itu, dikenal istilah Ajrawera, artinya tidak boleh diberitahukan kepada orang lain. Hal yang tidak boleh meliputi membaca kitab-kitab Weda atau mengucapkan mantram-mantram Weda bagi mereka yang belum disucikan (Mewinten). Bagi para pemuda yang tergabung dalam Perkumpulan Suita Gama Tirta, tradisi seperti itu dinilai justru menghambat kemajuan. 

Menurut mereka, benih-benih nasionalisme dalam diri para pemuda akan muncul dengan adanya tuntunan agama. Termasuk di dalamnya nilai-nilai kebijaksanaan dan sifat-sifat Ksatria sebagaimana dituliskan dalam kitab-kitab wira-carita atau epos Mahabharata dan Ramayana. 

Baca Juga: Sejarah Kabupaten Karangasem Bali, Dulunya Pusat Perkantoran

2. Perkumpulan Shanti

6 Organisasi Penting dalam Sejarah Pendidikan di BaliPotret para wanita dan anak laki-laki membawa sesajen dalam ucapara adat di Bali tahun 1920. (TropenMuseum via Instagram.com/SejarahBali)

Pada tahun 1923, di Singaraja muncul sebuah perkumpulan Shanti yang sebagian besar anggotanya berasal dari Sekehe Jongkok. Awalnya Sekehe Jongkok ini hanyalah perkumpulan di sebuah Banjar (dlDulu disebut kampung) yang bergerak dalam usaha simpan pinjam. Dengan adanya perkumpulan ini, anggota Sekehe Jongkok mulai mengenal para pemuda lainnya, baik yang bekerja sebagai guru maupun pegawai. Di sanalah mereka mendirikan kursus agama. 

Perkumpulan Shanti akhirnya berhasil mendirikan Sekolah Perhimpun Shanti dan banyak perempuan yang tergabung di dalamnya. Mereka yang terlibat sebagai panitia pendiri sekolah tersebut di antaranya Wayan Ruma, Ketut Nasa, Made Kaler, Nyoman Kadjeng, I Gusti Putu Djelantik, dan I Gusti Tjakra Tanaya. Adapun penasihatnya adalah Ida Bagus Geigel dan Pedanda Putu Geria.

Dalam diri para pemuda mulai tumbuh kecintaan akan pendidikan agama. Begitu pula dengan para ibu rumah tangga. Mereka meluangkan waktu untuk bersama-sama belajar membaca maupun menulis pada sore hari. Apa yang dilakukan oleh para anggota Perkumpulan Shanti akhirnya mendapatkan dukungan dari pihak pemerintah. Mereka mendapatkan bantuan fasilitas ruangan, lengkap dengan bangku dan alat-alat tulisnya. 

Bahkan Perkumpulan Shanti ini menerbitkan kala-warta yang diberi nama Shanti Adnyana dengan bantuan dari para guru, anggota pengadilan, dan pegawai-pegawai di kota Singaraja. Dengan lahirnya Shanti Adnyana, mereka ingin menyebarkan semangat pendidikan dan ajaran-ajaran agama.    

Keberadaan Perkumpulan Shanti dinilai menjadi jalan dalam merintis emansipasi perempuan dalam dunia pendidikan. Selain itu juga menjadi potensi besar dalam menumbuhkan nasionalisme di kalangan pemuda. 

Baca Juga: Sejarah Kabupaten Badung, Pernah Menjadi Pusat Perdagangan Budak

3. Perhimpunan Satya Samudaya Bau Danda Bali Lombok

6 Organisasi Penting dalam Sejarah Pendidikan di BaliPerempuan Bali membawa persembahan ke pura, tahun 1930an. (worthpoint.com via instagram.com/SejarahBali)

Dua tahun setelah Perkumpulan Shanti didirikan, tepatnya pada 1 Januari 1925, di Kabupaten Karangasem muncul perkumpulan yang bergerak dalam usaha studie-fonds, yakni Perhimpunan Satya Samudaya Bau Danda Bali Lombok. Tujuannya adalah sebagai tempat menyimpan uang, menjalankan usaha, dan membuat fonds (Tabungan persediaan). Hal ini tercantum dalam Anggaran Dasar SSBBL pada Artikel 2. 

Dengan adanya perkumpulan ini, diharapkan bisa mengatasi kesulitan yang dihadapi anak-anak untuk melanjutkan pendidikan. Terutama dari tingkat Tweede Klasse School ke sekolah-sekolah yang tingkatannya lebih tinggi. Gagasan ini muncul dari kalangan orang-orang yang menjadi pegawai negeri di kerajaan dan beberapa orang terkemuka, termasuk Raja Karangasem, punggawa, dan Pendeta. 

Sebagaimana diketahui, hingga tahun 1926, Bali hanya memiliki Sekolah Dasar. Karenanya, bagi yang ingin melanjutkan sekolah, pelajar di Bali harus pergi ke Pulau Jawa. Kehadiran perkumpulan ini, dengan berbagai bantuan yang didapat, diharapkan bisa lebih membangun pendidikan di Bali serta mengembangkan sekolah. 

Diketahui, bahwa pada saat itu di seluruh wilayah kerajaan tercatat ada 2 Tweede Klasse Scholen dan 10 Volks Scholen (Sekolah Rakyat). Berdasarkan sensus bulan November 1920, jumlah penduduk Karangasem sebanyak 164.000 jiwa. Jadi di antara 164.000 jiwa penduduk itu, hanya ada 1 sekolah setingkat Volks School. 

4. Bali Adnyana

6 Organisasi Penting dalam Sejarah Pendidikan di BaliDua orang pria di Bali sedang menulis di lontar, sekitar tahun 1920-1930an. (Tropenmuseum via Instagram.com/SejarahBali)

Perkumpulan Shanti yang dibangun pada tahun 1923, ternyata belakangan mengalami kemunduran dan perpecahan. Penyebabnya terkait dengan kasta. Muncul dua kubu yang saling bertentangan, yakni golongan Triwangsa dan golongan Jaba. Disebutkan bahwa golongan Triwangsa ingin mempertahankan sistem status yang berdasarkan ascription (Anggapan). Namun di sisi lain, golongan Jaba mau sistem kasta dihapuskan sehingga sistem yang diterapkan sepenuhnya berdasarkan achievement (Prestasi).

Dalam sebuah pertemuan di rumah punggawa distrik Banjar, Buleleng, Ida Gde Suanda, perselisihan paham itu semakin memuncak. Kepala guru di Sekolah Dasar di Bubunnan, I Ketut Nasa, mencela cara pergaulan masyarakat Bali yang masih membeda-bedakan berdasarkan tingkatan kasta. Mendengar ucapan itu, pihak golongan Triwangsa. Terjadi perdebatan antara I Ketut Nasa dengan I Gusti Tjakratanaya.

Perselisihan itu pun berdampak pada kala-warta Shanti Adnyana. I Gusti Tjakratanaya kemudian mengambil alih Shanti Adnyana yang sudah macet, dan pada 1 Januari 1924 menggantinya dengan menerbitkan majalah Bali Adnyana. Perselisihan antara golongan Triwangsa dan golongan Jaba pun semakin tajam. 

Bali Adnyana hadir bukan sebagai organisasi atau suatu perkumpulan. Tetapi kelompok golongan atas dasar kesatuan paham dalam hubungan konflik sosial yang terjadi di Singaraja pada waktu itu. 

Pada sub judul majalah tersebut tertulis kalimat "moeat soeara Santi dan keperloean oento·ek oemoem." Sebagai pendiri Bali Adnyana, I Gusti Tjakratanaya yang merupakan seorang bangsawan asal Sukadana, tetap ingin menyebarkan pendidikan agama Hindu ke seluruh daerah di Bali. Meskipun penuh dengan konflik, kehadiran Bali Adnyana tetap dinilai mampu menumbuhkan kecintaan terhadap nilai-nilai budaya dan martabat bangsa. 

Belakangan, akhirnya muncul kesadaran persatuan semua orang Bali dianjurkan agar jangan sampai ada yang merendahkan derajat bangsanya. Kesadaran itu juga muncul di kalangan Bali Adnyana. Mereka menyadari bahwa golongan Jaba yang tergabung dalam Surya Kanta juga memiliki cita-cita yang juga jauh lebih maju. 

5. Perkumpulan Surya Kanta

6 Organisasi Penting dalam Sejarah Pendidikan di BaliPotret perempuan di Bali sedang beraktivitas, tahun 1939-1941. (Spaarnestad via Instagram.com/SejarahBali)

Sejumlah guru yang mendapat pendidikan di Pulau Jawa, memiliki pemikiran ingin memajukan pendidikan masyarakat Bali, terutama bagi golongan Jaba. Di antara para guru itu tercatat nama Wayan Ruma, Ketut Sukarata, Nengah Metra, dan Ketut Kaler. Mereka mengajar sebagai guru di sekolah Tweede Klasse School dan HIS di Singaraja.

Akhirnya pada tanggal 1 November 1925 di Singaraja, atas inisiatif Ketut Sandi, Nengah Metra, dan Ketut Nasa, didirikan perkumpulan Surya Kanta. Mereka ingin memperbaiki dan memajukan cara berpikir yang kolot agar bisa lebih terbuka dan berkembang. Perkumpulan ini memberikan pendidikan bagi mereka yang sudah bisa membaca dan menulis, melalui media surat kabar Surya Kanta. 

Melalui perkumpulan ini, mereka ingin memberikan pemahaman terkait kehidupan masyarakat. Misalnya soal penyederhanaan upacara adat seperti upacara Ngaben (Upacara pembakaran mayat) dan dengan tegas menentang berbagai bentuk pemborosan yang dapat menyebabkan kemelaratan. Surya Kanta terus menerus menggaungkan "paham kemajuan" dan menciptakan persamaan hak antara golongan Triwangsa dengan golongan Jaba, baik dalam bidang perlakuan maupun hukum.

Para anggota Surya Kanta ingin mengubah sistem status yang dinilai sangat merugikan dan merendahkan derajat golongan Jaba, semisal yang berlaku dalam sistem perkawinan. Pada saat itu dalam masyarakat Bali diterapkan aturan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu.

Asu Pundung merupakan larangan terjadinya perkawinan antara laki-laki dari kasta Ksatria, Wesia, dan Sudra (Jaba) dengan seorang gadis dari kasta Brahmana. Sementara Alangkahi Karang Hulu ialah larangan suatu perkawinan antara laki-laki dari kasta yang lebih rendah (Sudra atau Wesia) untuk mengambil seorang gadis dari kastanya yang lebih tinggi (Ksatria). Mereka yang melanggar aturan tersebut akan dijatuhi hukuman penjara atau dikenakan hukuman selong (buangan).

Dalam bidang pemerintahan, gerakan ini ingin agar pemerintah mengangkat pegawai negeri atau kepala pemerintahan berdasarkan kemampuan dan prestasinya, bukan karena tingkatan kasta. Dengan munculnya Surya Kanta ini benih-benih nasionalisme di Bali dinilai tumbuh kian dewasa. 

Baca Juga: 7 Fakta Perempuan Bali dalam Keluarga, Mereka Punya Hak Waris

6. Perhimpunan Catur Wangsa Derya Gama Hindu Bali

6 Organisasi Penting dalam Sejarah Pendidikan di BaliPotret laki-laki di Bali sedang beraktivitas, tahun 1939-1941. (Spaarnestad via Instagram.com/SejarahBali)

Tak berselang lama, selain di Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Karangasem, ternyata muncul juga pergerakan di Kabupaten Klungkung. Kelahiran perkumpulan di Klungkung ternyata untuk meredakan sengitnya perbedaan antara golongan Triwangsa dan golongan Jaba, sebagaimana terjadi antara Bali Adnyana dengan Surya Kanta. Para pemuka masyarakat khawatir apabila pertentangan kasta di Bali Utara meluas ke seluruh Bali.

Pada tanggal 2 Mei 1926, I Gusti Bagus Djelantik akhirnya membentuk Perkumpulan Catur Wangsa Derya Gama Hindu Bali (Tjwadega Hindu Bali). Mereka ingin menghentikan berbagai pertentangan kasta dan menyatukan golongan kasta di Bali sesuai dengan dharmanya masing-masing. Perkumpulan ini memberi perhatian serius akan "paham kemajuan" yang dicetuskan oleh perkumpulan Surya Kanta dan yang dicita-citakan oleh golongan Bali Adnyana.

Mereka yang diizinkan menjadi anggota perkumpulan ini adalah dari golongan catur wangsa yang memeluk Agama Hindu Bali dan berumur sekurang-kurangnya 18 tahun. Anggota perkumpulan ini meliputi orang-orang Bali yang ada di Pulau Dewata dan Lombok.

Kehadiran Perkumpulan Catur Wangsa Derya Gama Hindu Bali sangat berperan dalam pembangunan sekolah dan penyebaran ilmu pengetahuan yang tertulis dalam lontar-lontar maupun berbagai majalah.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani
  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya