Sejarah Gending Gambelan Gambang Bali, dari Lontar Milik Wong Gamang 

Kesenian khas Bali yang langka dan terancam punah

Gambelan gambang termasuk kesenian Bali yang saat ini sangat langka dan keberadaannya terancam punah. Gambelan gambang biasanya digunakan sebagai musik pengiring upacara Dewa Yadnya. Masyarakat Bali mewarisi kesenian ini secara turun temurun. Gambelan gambang memiliki ratusan gending (pupuh). Hanya saja sebagian besar tidak disertai dengan teks.

Selain itu, gambelan gambang yang tersimpan di pura biasanya digunakan untuk mengiringi piodalan atau upacara keagamaan di wilayah Kahyangan Desa Pakraman.  Bagaimana sejarah keberadadaan gambelan gambang di Bali? Siapa yang pertama kali memainkannya? Bagaimana pula proses penyusunan gendingnya?

1. Kemunculan gambelan gambang ini di Bali tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Tabanan

Sejarah Gending Gambelan Gambang Bali, dari Lontar Milik Wong Gamang Masyarakat di sekitar pohon beringin yang rindang di Tabanan, tahun 1906. (instagram.com/sejarah_tabanan)

Dilansir dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, kebudayaan.kemdikbud.go.id, disebutkan bahwa gending-gending dalam gambelan gambang ini diambil dari lontar milik wong gamang (orang halus). Karenanya, barungan gambelan tersebut diberi nama gambelan gambang, dimainkan untuk mengiringi jalannya upacara.

Para pemain menghaturkan sesajen kepada wong gamang sebelum memainkan gambelan itu. Tujuannya agar wong gamang tidak mengganggu jalannya upacara.

Disebutkan pula bahwa kemunculan gambelan gambang ini di Bali tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Tabanan. Pada masa itu, seseorang dari keluarga Arya Simpangan, yang sekarang adalah Sekaa Gambang, tinggal di Kerajaan Tabanan. Karena ada perebutan kekuasaan, Raja Gelgel, Gusti Ngurah Klating, yang merupakan adik Gusti Ngurah Tabanan, diberi tugas oleh Dalem Watu Renggong untuk membuat gambelan gambang yang gendingnya diambil dari lontar milik wong gamang.  

Meskipun awalnya ragu untuk menemukan lontar tersebut, namun pada akhirnya Gusti Ngurah Klating berhasil. Atas petunjuk I Gusti Ngurah Klating, lalu masyarakat mulai menggunakan gambelan gambang dalam pelaksanaan upacara ngaben (Pembakaran jenazah).

Keluarga Arya Simpangan pun ikut tertarik untuk ikut membuat gambelan gambang tersebut. Ia kemudian pulang ke Sembuwuk memberitahukan keluarganya tentang adanya gembelan tersebut dan sepakat untuk membuatnya. Sejak saat itu mulailah di Banjar Sembuwuk ada gambelan gambang. Informasi ini juga ditulis oleh I Nyoman Saptanaya pada tahun 1986. 

2. Putra raja Tabanan diminta mencari lontar milik wong gamang yaitu lontar tanpa sastra

https://www.youtube.com/embed/w2TksNlD_9I

Mengapa gendingan gambelan gambang ini disebut berasal dari lontar milik wong gamang? dilansir dari sumber yang sama, disebutkan bahwa Cokorda Agung Suyasa dari Puri Saren Ubud, menyimpan lontar tentang sejarah gambelan gambang.

Cokorda Agung Suyasa menjelaskan sekitar tahun 1460-1550 muncul sebuah kerajaan di Tabanan. Putra raja yaitu I Gusti Ngurah Tabanan dan adiknya I Gusti Ngurah Klating bersiteru memperebutkan kekuasaan hingga berujung pada perang.

Dalem Watu Renggong mendengar kejadian itu dan akhirnya meminta Gusti Ngurah Klating untuk mencari lontar milik wong gamang, yaitu lontar tanpa sastra (tanpa tulisan) dan hanya diberi waktu selama tujuh hari. Apabila gagal, maka Gusti Ngurah Klating akan dihukum mati, tapi apabila berhasil, akan diberi kedudukan sebagai raja. Dalem Watu Renggong percaya tugas itu tidak akan bisa dipenuhi oleh Gusti Ngurah Klating.  

Berbagai tempat sudah dikunjungi, namun tak kunjung juga menemukan lontar yang dimaksud. Namun kejadian yang aneh terjadi pada hari ketujuh. Saat berteduh di bawah pohon kepuh di sebuah kuburan, tiba-tiba muncul banyak burung gagak mengitari pohon kepuh tersebut.

Dari kerumunan burung gagak itulah kemudian jatuh sebuah lontar, tepat di hadapan Gusti Ngurah Klating. Ketika diambil dan digenggam, burung-burung gagak itu pun seketika hilang. Gusti Ngurah Klating pun kembali dan menyerahkan lontar tersebut. 

Dalem Watu Renggong tidak menyangka Gusti Ngurah Klating mampu menemukannya. Sebagaimana janjinya, Gusti Ngurah Klating akhirnya dinobatkan sebagai raja. Namun sebelum itu, Gusti Ngurah Klating diminta membuat seperangkat gambelan yang gending-gendingnya diambil dari lontar tersebut.

3. Gambelan gambang dibentuk oleh 6 buah instrumen berbilah

https://www.youtube.com/embed/hghq8zSTDYk

Gambelan gambang ini berlaras Pelog (tujuh nada) dan dibentuk oleh 6 buah instrumen berbilah. Dari keseluruhan instrumen, yang paling dominan adalah 4 buah instrumen berbilah bambu yang dinamakan gambang. Instrumen tersebut, dari paling kecil ke yang paling besar, disebut pametit, panganter, panyelad, pamero, dan pangumbang.

Dalam memainkan pukulan kotekan atau ubit-ubitan, seorang penabuh menggunakan sepasang panggul bercabang dua. Mereka sekali-kali juga melakukan pukulan tunggal atau kaklenyongan.

Selain itu, ada juga instrumen lainnya, yakni 2 tungguh saron krawang, yang terdiri dari saron besar (demung) dan kecil (penerus atau kantil). Seorang penabuh biasanya memainkan kedua saron dengan pola pukulan tunggal kaklenyongan

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya