3 Alasan Masyarakat Bali Melaksanakan Selamatan Hewan

Setiap tujuh bulan sekali mereka selamatan lho

Pada perayaan Hari Suci Tumpek Kandang atau disebut pula sebagai Tumpek Uye, masyarakat Hindu Bali mengadakan upacara untuk Dewa Shiwa sebagai Rare Angon (Pengembala). Pemujaan ini dilatarbelakangi oleh sebuah mitologi perjalanan Dewi Uma mencari susu ke dunia untuk mengobati Dewa Shiwa. Pada upacara ini, umat juga memberikan persembahan untuk ternak mereka.

Adapun upakara Tumpek Kandang ini di antaranya peras, ajuman, daksina, dapetan, penyeneng, pesucian, dan lainnya menurut kemampuan umat masing-masing. Semuanya dihaturkan di merajan (Tempat persembahyangan) masing-masing.

Berikut beberapa lontar yang membahas tentang Hari Suci Tumpek Kandang ini sebagaimana dijelaskan pada buku Jenis dan Hakikat Ritual Bhuta Yadnya pada Masyarakat Hindu Bali karya I Gusti Ayu Putu Suryani.

Baca Juga: 4 Makna Ritual Bhuta Yadnya di Bali, Demi Penyeimbang Alam

1. Lontar Sundarigama

3 Alasan Masyarakat Bali Melaksanakan Selamatan HewanInstagram.com/infodenpasarbali_

Lontar Sundarigama menyebutkan, Hari Tumpek Kandang merupakan upacara selamatan untuk hewan yang disembelih maupun piaraan. Hakikatnya adalah untuk pemujaan pada Shiwa yang disebut sebagai Rare Angon, pengembala makhluk. Ditegaskan pula bahwa Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja, bukan hewan.

Lalu barangkali akan muncul pertanyaan, mengapa membuat upacara selamatan untuk hewan? Dalam ajaran agama Hindu, diamanatkan untuk menjaga keharmonisan hidup dengan semua makhluk dan alam semesta. Manusia hendaknya bisa selaras dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain, dalam hal ini tentu termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Selain itu, dalam doa umat Hindu sehari-hari, khususnya pada puja Tri Sandhya, menyebutkan "Sarvaprani Hitankarah", yang berarti hendaknya semua makhluk hidup sejahtera. Doa tersebut sesungguhnya bersifat universal untuk keseimbangan semesta. Jadi, upacara selamatan hewan dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kasih sayang kepada semua hewan ternak maupun piaraan. Terlebih bagi masyarakat agraris, hewan khususnya sapi, berperan penting dalam kehidupan manusia.

Baca Juga: 4 Doa Hindu Memohon Kesembuhan, Menjenguk Orang Sakit Hingga Melayat

2. Lontar Sarasamuscaya

3 Alasan Masyarakat Bali Melaksanakan Selamatan HewanInstagram.com/camowexybali

Lontar Sarasamuscaya, menyebutkan Ayuwa tan masih ring sarwa prani, apan prani ngaran prana, yang artinya jangan tidak sayang kepada hewan karena hewan atau makhluk adalah kekuatan alam. Karenanya, umat diharapkan juga bisa menumbuhkan rasa kasih sayangnya kepada semua makhluk.

Khusus untuk perayaan Tumpek Kandang, umat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa Pasupati. Umat memohon agar hewan yang dipeliharanya juga ikut diberkati. Selama ini hewan memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan manusia.

Terlebih di Bali, sapi dan kerbau bermanfaat dalam kehidupan masyarakat agraris. Selain itu, sapi juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dengan membantu kesejahteraan petani, secara tidak langsung sapi tersebut membantu petani melanjutkan kehidupan dan membiayai pendidikan anak-anaknya.

3. Lontar Manawa Dharmasastra

3 Alasan Masyarakat Bali Melaksanakan Selamatan HewanInstagram.com/madewedastra

Sloka Manawa Dharmasastra menyatakan, bahwa memakan daging sesungguhnya bukanlah sebuah keharusan. Mengonsumsi daging dipersilakan apabila memang umat menginginkanya. Hal itu juga berlaku untuk keperluan upakara yadnya. Ketika proses menyembelih pun diharapkan tidak menggunakan kekerasan dan didasari oleh rasa bengis. Berikut isi sloka tersebut:

Yajnya artham braahmanairwadyaah

Prasastaa mrigapaksiinah.

Bhrityaanaam caiwa writtyartham

Agastyo hyaacaratpurnaa.

(Manawa Dharmasastra. V.22).

Artinya:

Hewan-hewan dan burung-burung yang dianjurkan boleh dimakan, dapat disembelih oleh para brahmana sepanjang hal itu untuk upacara yadnya dan juga diberikan kepada yang patut diberikan. Karena Resi Agastia pun melakukan itu pada zaman dahulu.

Sementara pada sloka Manawa Dharmasastra V.31, menyebutkan juga pemakaian daging dalam upacara yadnya untuk memuja para dewa dan Dewa Pitara (Roh suci leluhur) tergolong bukan dosa. Sesungguhnya terkait penggunaan hewan dalam upacara yadnya sudah lama menjadi perdebatan di kalangan umat Hindu.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani
  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya