[Foto] Bukan Tradisi Cium-ciuman, Yuk Mengenal Omed-omedan di Denpasar

Mending cari tahu dulu ceritanya, biar gak salah kaprah

Setiap tahun sekali usai perayaan Nyepi, pemuda pemudi Banjar Sesetan Kaja, Kota Denpasar selalu mengadakan tradisi unik. Yaitu omed-omedan. Ya, ini merupakan tradisi yang diadakan satu hari setelah Nyepi atau pada saat ngembak geni, Jumat (8/3).

Banyak orang yang mengatakan, ini merupakan tradisi cium-ciuman. Padahal omed-omedan itu sendiri berasal dari Bahasa Bali med-medan, yang artinya tarik menarik. Masih belum diketahui pasti sejarah asal muasal tradisi ini. Tapi ada yang menyebutkan omed-omedan ini berasal dari abad ke-17, dan telah dilestarikan secara turun menurun.

Tradisi ini pernah dihentikan. Tapi gara-gara ada perkelahian dua ekor babi di dekat pura setempat, omed-omedan ini akhirnya digelar kembali. Lalu apa hubungan omed-omedan itu dengan dua ekor babi, dan bagaimana sejarah munculnya tradisi ini? Simak ulasannya berikut ini:

1. Tradisi itu kini berubah menjadi festival tahunan

[Foto] Bukan Tradisi Cium-ciuman, Yuk Mengenal Omed-omedan di DenpasarIDN Times/Irma Yudistirani

Omed-omedan kini sudah beralih menjadi festival tahunan, karena berhasil menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Namanya pun diubah menjadi "Sesetan Heritage Omed-Omedan Festival (SHOF) 2019".

Festival ini juga memiliki tema yang diusung secara berbeda-beda. Khusus tahun ini, temanya adalah "Cakra Bawa" yang berarti lingkaran kehidupan.

[Foto] Bukan Tradisi Cium-ciuman, Yuk Mengenal Omed-omedan di DenpasarIDN Times/Irma Yudistirani

Sepanjang jalan raya Sesetan ditutup sejak pertigaan utara lampu merah Pasar Sanglah hingga beberapa ratus meter ke lokasi omed-omedan dari selatan. Jalan raya tersebut disulap menjadi bazar yang menjual berbagai macam makanan-minuman tradisional hingga fast food, dan pakaian adat Bali hingga modern. Tak lupa pula ada beberapa booth sponsor ikut menghiasi jalan raya tersebut.

Baca Juga: Ketika Puluhan Ribu Orang Tinggalkan Bali Sebelum Nyepi

2. Libatkan warga biar tumbuh jiwa kewirausahaannya

[Foto] Bukan Tradisi Cium-ciuman, Yuk Mengenal Omed-omedan di DenpasarIDN Times/Irma Yudistirani

Ketua Panitia SHOF 2019, I Made Putra Wirya Brata, menyebutkan festival tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian. Di antaranya pasar rakyat yang diberi nama "peken paiketan", parade seni dari beberapa komunitas seni dan band musik, dan terakhir adalah tradisi omed-omedan.

Putra Wirya sengaja memilih konsep seperti itu karena ingin menumbuhkan jiwa kewirausahaan warga sekitar menuju ekonomi kreatif, dan tentunya demi meningkatkan kunjungan wisatawan.

3. Foto ini adalah momen ketika Joni Agung & Double T tampil di atas panggung

[Foto] Bukan Tradisi Cium-ciuman, Yuk Mengenal Omed-omedan di DenpasarIDN Times/Irma Yudistirani

Foto itu memang diambil dari kejauhan. Tepatnya dari atas scaffolding atau andang besi yang sengaja disediakan untuk para fotografer. Andang besi setinggi sekitar 1,8 meteran ini diletakkan tepat di seberang jalan depan arena omed-omedan. Sementara panggung tersebut berada di sebelah kanan arena, berjarak sekitar puluhan meter saja.

Meski begitu, IDN Times kesulitan mencari posisi yang tepat untuk mengambil momen di tengah desakan para penonton yang menyaksikan penyanyi reggae lokal Bali, Joni Agung & Double T serta penonton yang menunggu omed-omedan.

Ya, omed-omedan ini juga dihibur oleh artis-artis lokal Bali seperti Nanoe Biroe, Logaritma Bali Metal Band, Reggaeman-Nyink, dan Bondres 3G. Acara ini sebelumnya juga dibuka oleh Wali Kota Denpasar, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra.

4. Sebelum dimulai, para peserta yang terdiri dari pemuda pemudi Banjar Sesetan Kaja melakukan persembahyangan terlebih dahulu. Setelah itu, dua kelompok yang terdiri dari laki-laki dan perempuan memisahkan diri saat memasuki arena

[Foto] Bukan Tradisi Cium-ciuman, Yuk Mengenal Omed-omedan di DenpasarInstagram.com/thegancar

Omed-omedan ini hanya boleh diikuti oleh sekaa teruna teruni atau pemuda-pemudi yang sudah berusia 17 hingga 30 tahun dan belum menikah. Seperti biasa, sebelum melakukan kegiatan, mereka terlebih dahulu melakukan persembahyangan di dalam banjar untuk memohon keselamatan.

Sementara itu para panitia mempersiapkan tempat yang digunakan sebagai arena (Jalan raya utama di depan banjar) omed-omedan. Panitia membasahi jalan raya dan memercikkan air dari selang dan timba ke arah penonton. Ya, penonton tak luput dari cipratan air. Jika jadi penonton di sini, sebaiknya kamu harus siap basah dan simpan barang-barang elektronik ke dalam kantong kresek.

Setelah itu dua kelompok keluar secara bergantian ke arena, memisahkan diri membentuk kelompok laki-laki dan perempuan di sebelah utara-selatan. Selama keluar dari banjar, mereka dipercikkan air oleh panitia. Sehingga tak satupun kaus dan balutan pakaian adat mereka tidak basah.

[Foto] Bukan Tradisi Cium-ciuman, Yuk Mengenal Omed-omedan di DenpasarIDN Times/Irma Yudistirani

Sambil diiringi suara baleganjur, kedua kelompok berlainan jenis itu berputar satu kali dan saling berhadapan. Satu orang di antara kelompok tersebut dipilih secara acak untuk dihadapkan pada lawan jenisnya. Mereka menunggu aba-aba dari para panitia, dan pasangan muda-mudi yang terpilih tersebut didorong hingga saling berpegangan, berangkulan dan saling tarik menarik, bahkan sampai ada yang berciuman.

Ketika hal itu terjadi, mereka diguyur air sampai basah kuyup. Mereka dan para penonton histeris serta bergembira menyambut momen tarik menarik itu.

Putra Wirya mengungkapkan, omed-omedan merupakan tradisi unik yang telah diwariskan secara turun-temurun, dan keberadaannya kini sudah dikenal secara luas baik dalam maupun luar negeri.

"Kami telah meyakini ajang omed-omedan ini juga memiliki nilai sakral dan ada kaitannya dengan sesuhunan (Manifestasi Tuhan) kami di banjar. Sehingga kami bertekad untuk terus melestarikan dan menjadikannya sebagai alat pemersatu," katanya, dilansir dari Antara.

5. Sejarah singkat omed-omedan, dimulai sejak abad ke-17

[Foto] Bukan Tradisi Cium-ciuman, Yuk Mengenal Omed-omedan di DenpasarInstagram.com/iwan_alrizqy

Menurut I Gusti Ngurah Oka Putra, sesepuh atau tetua Banjar Kaja, yang dikutip dari Sejarah Bali, menceritakan asal usul tradisi ini muncul dari abad ke-17. Saat itu wilayah Sesetan dikuasai oleh seorang raja yang mengalami sakit keras. Tak seorang pun tabib yang bisa menyembuhkannya. Raja lalu menitahkan para abdi dan warga sekitar supaya tidak membuat kegaduhan di sekitar puri karena sedang sakit.

Suatu ketika, bertepatan dengan Hari Nyepi, para abdi dan warga tidak mengindahkan titah raja. Mereka membuat kegaduhan di jalanan: saling tertawa, bergembira, saling berangkulan dan tarik menarik. Raja yang saat itu sedang beristirahat menjadi terganggu. Ia marah dan berjalan keluar dalam keadaan sakit. Saat berada di halaman puri, ia melihat para abdi dan masyarakat saling bergembira dan berangkulan. Ajaibnya, sang raja seketika sirna penyakitnya setelah melihat itu.

Saat itulah raja memerintahkan agar abdi dan masyarakatnya menggelar kegiatan bergembira dan saling berangkulan setiap hari raya Nyepi. Dari sanalah awal mula muncul omed-omedan.

”Pada zaman penjajahan, kegiatan ini pernah dilarang oleh pemerintahan kolonial. Sehingga warga melakukannya secara sembunyi-sembunyi di ladang,” kata Ngurah Oka, dikutip dari Sejarah Bali.

Tahun 1979, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) meminta acara omed-omedan yang awalnya digelar tepat saat Nyepi, dipindahkan ke hari Ngembak Geni atau sehari setelah Nyepi. Sebab saat Nyepi tidak diperbolehkan ada keramaian.

6. Sebelum pemuda pemudi masuk arena, ada tarian dua barong bangkung yang saling berkelahi

[Foto] Bukan Tradisi Cium-ciuman, Yuk Mengenal Omed-omedan di DenpasarIDN Times/Irma Yudistirani

Kata Ngurah Oka, tradisi ini pernah dihentikan karena sesuatu hal, sampai dibuatkan pengumuman di Bale Banjar Kaja. Warga yang sudah terbiasa melihat tradisi itu jadi kebingungan. Tapi ada hal yang tak terduga terjadi. Para sesepuh dan pemuka Banjar yang saat itu kembali ke rumah masing-masing mendengar kegaduhan persis seperti ada omed-omedan yang sedang digelar.

Mereka yang penasaran lantas keluar untuk melihatnya, dan ternyata warga tengah bersorak-sorak menyaksikan dua ekor babi sedang berkelahi di pelataran pura setempat. Perkelahian itu membuat kedua babi mengucurkan darah dan mengotori pelataran pura. Mereka lalu berhenti berkelahi. Kedua babi itu berlari menjauh dan menghilang begitu saja.

Menyaksikan hal itu, para sesepuh dan pemuka Banjar Kaja seperti mendapat firasat buruk. Terutama setelah melihat ceceran darah babi di pelataran pura. Setelah melakukan persembahyangan, mereka memutuskan untuk meneruskan tradisi omed-omedan setiap tahunnya.

Sejak saat itulah sebelum para pemuda pemudi memasuki arena, tradisi ini dilengkapi dengan tarian dua barong bangkung yang menggambarkan perkelahian tersebut.

Baca Juga: Mengenal Ritual Perang Api di Klungkung, Damai Meski Saling Serang

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya