Berani Poligami di Desa Daerah Bali Ini? Bersiaplah Diasingkan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Poligami menjadi perbincangan hangat baru-baru ini. Sebut saja anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Fraksi Nasional Demokrasi (Nasdem), Achmad Fadil Muzakki Syah, yang percaya diri membawa tiga istri sahnya selama pelantikan anggota dewan, Senin (30/9) lalu.
“Saya beristri tiga itu secara sah, secara hukum agama dan hukum negara, jadi semua melalui KUA semua. Jadi sudah namanya kekompakan dan kerukunan sudah betul-betul terjadi di situ, jadi natural saja semuanya,” kata Fadil kala itu, Rabu (2/10).
Namun poligami tidak akan berlaku di desa ini. Sebuah Desa yang jauh dari hingar bingar kota, memiliki awig-awig (Aturan Desa Adat) tentang poligami. Desa tersebut bernama Penglipuran, yang berada di Kecamatan Kubu, Bangli. Siapapun warganya yang berpoligami di sini akan diasingkan.
1. Di Desa ini, penduduknya dilarang berpoligami dan akan dihukum secara adat menempati pekarangan khusus poligami
Awig-awig adalah aturan desa adat yang disepakati bersama oleh warga desa adat. Di Penglipuran, ada awig-awig yang secara tegas melarang seorang laki-laki melakukan poligami atau beristri lebih dari satu.
"Ini adalah aturan untuk menjaga keharmonisan sesama manusia atau jika dalam konsep Tri Hita Karana disebut pawongan. Maka, warga di sini tidak boleh beristri lebih dari satu," kata Bendesa Adat Penglipuran, I Wayan Supat, Rabu (26/12/2018) lalu.
Baca Juga: Anggota DPR Bawa 3 Istri, Fadil: Ngapain Sembunyi-sembunyi
2. Siapa yang poligami akan menempati pekarangan seluas sekitar 9 are
Dalam awig-awig tersebut dijelaskan, bagi siapapun yang melanggar akan dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Pihak desa sudah menyediakan lahan khusus yang disebut dengan Karang Memadu.
Karang Memadu terletak di bagian Selatan Desa Penglipuran. Luasnya sekitar 9 are yang hingga saat ini masih kosong, tak ada yang menempati.
"Karang Memadu adalah sebuah pekarangan untuk menghukum seorang laki-laki yang beristri lebih dari satu. Mereka akan dikucilkan," jelasnya.
3. Sanksi sosialnya berat
Selain itu, warga yang melakukan poligami dan menempati Karang Menadu tidak diperkenankan sembahyang di Pura. Ini adalah bentuk perwujudan dari kehidupan yang harmonis dalam bermasyarakat.
"Ini adalah konsep kita yang harmonis sesama manusia. Jadi tidak boleh poligami," katanya.
Ia menjelaskan, hingga kini belum ada warga yang pernah melanggarnya. Lahan tersebut tetap kosong sejak aturan ini diberlakukan.
"Sampai sekarang belum ada yang menempatinya. Awig-awig kan memang bukan untuk dilanggar tapi harus dijalankan oleh warganya. Untuk aturannya sendiri sudah ada sejak desa ini berdiri, yakni sekitar abad ke-13 lalu," terangnya.
4. Awig-awig dibuat untuk menghargai seorang perempuan
Ia menambahkan, aturan tersebut dibuat sebagai bentuk untuk melindungi dan menghargai seorang perempuan. Jika memadu atau berisitri lebih satu, biasanya hubungan keluarganya menjadi tidak harmonis. Jika demikian, akan berpengaruh pada kehidupan di masyarakat.
Sementara itu Kadek Eka Rini, warga setempat mengatakan hingga saat ini tak ada yang berani melakukan poligami. Pasalnya, warga takut terkena sanksi sosial yang dianggapnya sangat berat. Sanksinya berupa tak diajak bicara warga dan tidak boleh sembahyang.
Sebagai seorang perempuan, ia sangat mendukung aturan tersebut. Ia berpendapat jika seorang pria beristri lebih dari satu maka ditakutkan kehidupan keluarganya tak harmonis.
"Mereka akan diasingkan dan dikucilkan di Karang Memadu. Sampai sekarang tidak ada yang berani karena sanksinya berat," katanya.
Baca Juga: 4 Pesan Bijak Tetua Bali yang Tidak Boleh Kamu Lupakan