4 Fase Perkembangan Feminis di Indonesia

Indonesia merdeka tak luput dari perjuangan perempuan

Penulis: Ufiya Amirah

Satu abad berlalu, gerakan feminis turut berkontribusi dalam perjuangan perempuan di Indonesia melawan berbagai ketidakadilan, baik di ranah domestik maupun yang sistemik ranah publik. Walaupun gerakan feminis menyulut pro dan kontra di dalam masyarakat, namun hingga kini, feminisme tetap abadi di Bumi Perrtiwi.

Inilah 4 fase perkembangan feminisme di Indonesia berdasarkan studi akademis Gadis Arivia dan Nur Iman Subono berjudul Seratus Tahun Feminisme di Indonesia Analisis terhadap Para Aktor, Debat, dan Strategi (2017).

Baca Juga: Menjadi Feminis adalah Keharusan, Benarkah? Baca Dulu Ini

1. Liberal Feminis (Masa Kolonial)

4 Fase Perkembangan Feminis di Indonesiailustrasi perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Politik etis Belanda melalui kebijakan Pintu Terbuka, tidak hanya membuka ruang liberasi ekonomi di Indonesia, tetapi juga pembebasan pengetahuan bagi warga pribumi. Walaupun hanya kelas menengah atas yang mampu mengakses pendidikan, namun hal tersebut menjadi momentum penting lahirnya kesadaran untuk merdeka, khususnya dari kalangan perempuan.

Pada tahun 1912, lahirlah organisasi perempuan pertama di Indonesia, Putri Mardika, yang bertalian erat dengan Boedi Oetomo berhaluan nasionalis. Delapan tahun kemudian, 1920, lahirlah 'Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah dengan ideologi populisme Islam.

Semakin populernya gerakan kesetaraan, perempuan mulai menyadari pentingnya terlibat aktif dalam penentuan kebijakan politik. Maka tahun 1938, Pemerintahan Hindia-Belanda dalam Resolusi Indonesia Berparlemen, memberikan jabatan politik sebagai wakil perempuan Indonesia di Gemeenteraad (DPRD Tingkat II). Mereka adalah Emma Poeradiredja di Bandung, Sri Umiyati di Cirebon, Soenaryo M Ngunpuspito di Sarang, dan Siti Sundari Sudirman di Surabaya.

Baca Juga: Muda dan Berdaya! Inilah 5 Tokoh Feminisme Muda Inspiratif Zaman Now  

2. Feminis Marxis-Sosialis (Orde Lama)

4 Fase Perkembangan Feminis di IndonesiaGERAK Perempuan lakukan aksi di Monas untuk memeringati Hari International Women’s Day di halaman Monas, Minggu (8/3). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Feminis Marxis-Sosialis percaya bahwa selama eksploitasi ekonomi dan patriarki masih eksis, maka ketidakadilan terhadap perempuan juga akan selalu ada. Soekarno yang dekat dengan gerakan kiri, turut andil memperbesar pengaruhnya dalam memperluas gerakan perempuan kiri di Indonesia.

Perjuangan perempuan berhaluan Marxis-Sosialis untuk pertama kalinya dipelopori oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang sebelumnya bernama Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Perubahan nama tersebut disahkan pada tahun 1954.

Gerwani adalah organisasi perempuan berbasis massa. Mayoritas anggotanya adalah petani dan buruh. Hingga tahun 1960an, Gerwani beranggotakan 1,5 juta perempuan.

Wieringa (1999) menyebutkan ada Tiga Medan Perjuangan Gerwani yakni Medan Politik untuk melawan kaum reaksioner, Medan Perempuan guna memperjuangan UU Perkawinan yang berkeadilan, dan Medan Daerah berfungsi memasifkan gerakan reforma agraria tanah untuk rakyat.

Baca Juga: Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau Dewata  

4. Feminisme Kontemporer

4 Fase Perkembangan Feminis di Indonesiailustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Era reformasi telah mendobrak kebekuan perkembangan feminis di Indonesia selama Orba berkuasa. Para feminis mulai berani membuka kembali ruang-ruang diskursus berpikir yang berkontradiksi dengan idealisme pensubordinasian perempuan ala Soeharto.

Gadis dan Subono (2017) mencirikan feminis kontemporer sebagai berikut:

  1. Dekonstruksi wacana seksis, menegakkan pengetahuan feminis dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan jurnal, publikasi buku, penelitian serta sastra (Literatur)
  2. Penekanan pada wacana pluralisme, kesetaraan, dan transnasional.

Isu seksualitas menjadi ikon penting dalam perjalanan feminisme kontempores. Perdebatan mengenai objektifikasi tubuh, kekerasan seksual, mempertanyakan kembali kontruksi sosial atas vagina perempuan sebagai indikator kehormatan dan kesucian.

Maka tidak dapat dipungkiri, jika RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga menjadi perdebatan cukup seksis antara feminis dengan kelompok konservatif.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya