[OPINI] Jadi Orang Bipolar di Masyarakat yang Memanggilku Gila

Mereka tidak menerima keadaanku, hingga aku dirukyah 3 kali

Sumber berdasarkan pengalaman penulis dan diskusi dengan Dokter Spesialis Jiwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Samarinda, Dr. Yenny Abdullah SPKJ.

Perkenalkan, nama aku Riduan, biasa dipanggil Duan. Saat ini usiaku 26 tahun. Pada usia 21 tahun ketika masih kuliah, aku merasakan ada yang tidak benar dari cara berpikir dan berperilaku sebagai individu. Dalam usia itu pula, aku pertama kali didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan.

Aku berasal dari Samarinda, Ibu Kota Kalimantan Timur. Saat ini, aku sedang tidak bekerja. Kesibukanku sehari-hari hanya menulis, membaca buku, dan menjalankan hobiku lainnya. Aku suka menulis. Dalam pikiran impulsifku yang cukup banyak dan berisik, menjadi penulis adalah prioritas besar mimpiku.

Aku kebanyakan menulis puisi, lirik lagu (karena aku berada dalam sebuah band musik), dan keresahanku lainnya. Aku harus konsultasi dengan dokter yang menanganiku sebulan sekali untuk melakukan proses pengobatan yang tidak sebentar ini. Aku belum bisa bekerja karena masih dalam proses pengobatan. Aku belum stabil secara mental dan pikiran.

Lamaran pekerjaan di era sekarang juga kebanyakan membutuhkan spesifikasi sarjana dan pengalaman. Sedangkan aku, tidak mencakupi keduanya karena didiagnosa dengan gangguan kejiwaan. Jadi menulis adalah pelepasan emosi dan pikiran yang sangat membantuku melewati hari-hari sejauh ini. Berikut sedikit tentang ceritaku.

Bipolar Disorder adalah gangguan kejiwaan yang cukup serius. Orang dengan bipolar dapat mengalami perubahan suasana hati atau mood yang cukup ekstrem. Individu dengan bipolar dapat merasakan perubahan suasana hati secara tiba-tiba. Dua kutub dalam bipolar disebut dengan Mania dan Depresi. Dua fase tersebut disebut dengan nama Episode, dan beberapa kasus yang berada di tengah-tengahnya disebut dengan Mixed State.

Dalam episode Mania, individu dengan bipolar akan merasakan rasa semangat yang menggebu–gebu, rasa percaya diri yang sangat tinggi, hingga tidak merasakan butuh istirahat atau tidur untuk beberapa waktu ke depan. Sedangkan Depresi adalah episode sebaliknya. Ketika Episode Depresi menyerang, individu dengan bipolar di kurun waktu itu akan merasakan kehilangan minat dalam hidup, termasuk hobi dan hal yang mereka sukai lainnya. Paling terburuk ketika Episode Depresi adalah orang dengan bipolar mempunyai ide atau perilaku melukai diri sendiri hingga bunuh diri.

Baca Juga: Kisah Guntur Berjuang dengan Bipolar, Self Harm Berkali-kali

1. Aku tidak sadar memiliki gangguan kejiwaan

[OPINI] Jadi Orang Bipolar di Masyarakat yang Memanggilku GilaFoto hanya ilustrasi. (IDN Times/Ni Ketut Sudiani)

Aku adalah orang dengan bipolar dengan gejala Psikotik. Semua gejala ini muncul ketika aku masih di bangku Kuliah. Awalnya, aku hanya mahasiswa biasa yang beraktivitas seperti biasa: kuliah, mengerjakan tugas, dan sebagainya. Hingga suatu hari, aku mengurung diri di dalam kamar kos berhari-hari tanpa makan, hanya minum dan mulai melukai diri sendiri karena aku berhalusinasi mendengar suara yang begitu jelas.

Halusinasi berupa visual pun nampak, yang kurasa adalah temanku, namun sebenarnya dia tidak ada. Kejadian ini berlangsung cukup lama, hingga aktivitas perkuliahanku terganggu. Semuanya kulalui tanpa kesadaran penuh, karena apa yang aku lihat dan dengar saat itu adalah nyata bagiku.

Aku menyadari ada yang tidak beres dalam semua ini. Aku depresi. Depresi berat selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya, suasana hatiku berubah begitu saja menjadi episode Mania, yang di mana, pada saat itu, aku tidak menyadari ini semua. Aku tidak sadar kalau aku mempunyai gangguan bipolar.

Selama episode Mania, aku kembali beraktivitas. Namun bedanya, bicaraku tidak teratur, sering kehilangan fokus, semangat berlebihan yang tidak mengenal lelah, dan yang terburuk adalah aku sudah tidak tidur selama 4 hari. Selama episode itu pula, aku menulis banyak hal tentang apa yang kurasa. Aku menulis tentang situasi politik yang sedang terjadi di Indonesia, aku menulis tentang keresahanku menjadi orang yang kesepian, aku menulis tentang keluargaku yang saat itu terpisah oleh jarak denganku. Aku bahkan menulis tentang mimpi-mimpiku, yang kalau dibaca sekarang, hanyalah harapan dari realitaku yang tidak akan pernah terjadi.

Baca Juga: Pekerjaan yang Cocok untuk Orang dengan Bipolar, Ini Penjelasan Ahli

2. Aku yang gila di mata mereka

[OPINI] Jadi Orang Bipolar di Masyarakat yang Memanggilku GilaFoto ilustrasi (pixabay.com/jwvein)

Singkat cerita, aku kembali ke kampung halaman dan menceritakan semuanya kepada kedua orangtuaku. Mereka tidak benar-benar menerima keadaanku, tidak mendengar penjelasanku, hingga aku dirukyah sebanyak 3 kali. Aku bersyukur, mereka tidak memanggilku gila. Namun, temanku di kota ini, dan semua keluarga besar memanggilku “Gila”. Aku adalah orang gila di mata mereka.

Suatu ketika, aku berada di episode yang cukup stabil untuk menjelaskan dengan baik tentang apa yang kurasa kepada keluarga dan teman terdekat. Mereka akhirnya bisa memahami, karena melihat sendiri apa yang terjadi pada pikiran dan perilakuku. Mereka menerima, tetapi masyarakat tidak. Mereka tetap memanggilku “Gila.”

Tidak jarang saudaraku menceritakan betapa gilanya aku yang berbicara sendiri, bertutur kata yang tidak sopan, dan perilaku destruktif lainnya.

3. Hingga akhirnya aku didiagnosa

[OPINI] Jadi Orang Bipolar di Masyarakat yang Memanggilku Gilailustrasi pemeriksaan dokter (freepik.com/jcomp)

Pada kurun waktu ini, aku memberanikan diri untuk meminta orangtuaku supaya dibawa ke rumah sakit jiwa. Mereka mengira aku dirasuki setan setelah semua pengobatan alternatif yang tidak kunjung berhasil. Akhirnya aku dibawa ke rumah sakit jiwa di daerah.

Di sini, aku mendapatkan pelayanan serta sikap yang jauh lebih menerima dan mengerti. Mereka mengerti kenapa aku berada di sini. Aku membutuhkan pertolongan mereka. Dari satpam, perawat, hingga dokter spesialis jiwa, semua menerima keadaanku. Butuh waktu beberapa bulan untuk dokter melakukan observasi terhadapku, sampai aku didiagnosa mengalami gangguan bipolar dengan gejala Psikosis berupa halusinasi.

4. Aku bertahan dan berjuang karena orang terdekat. Kamu pun bisa seperti itu, bersama-sama

[OPINI] Jadi Orang Bipolar di Masyarakat yang Memanggilku GilaIlustrasi bergandengan tangan (pexels.com/fauxels)

Sampai sekarang aku masih mengonsumsi obat di bawah penanganan dokter spesialis jiwa. Masyarakat, bahkan saudaraku, masih memanggilku “Gila.” Aku dan keluarga inti sudah bisa berdamai dengan apa yang terjadi kepadaku, namun mereka tidak.

Tugasku adalah mengedukasi mereka, agar stigma gangguan kejiwaan dan kesehatan mental di masyarakat pelan-pelan terhapuskan dengan edukasi yang seharusnya mereka dapatkan. Kesehatan mental itu sama pentingnya seperti kesehatan fisik. Kita semua butuh sehat secara fisik dan mental. Jika stigma buruk tentang ini masih ada di masyarakat, maka akan sangat sulit bagi seseorang yang membutuhkan pertolongan secara mental, atau bahkan orang yang memiliki gangguan kejiwaan untuk mendapatkan penanganan profesional.

Bagi kamu yang merasakan hal-hal di luar batas pikiranmu dan memengaruhi kehidupan sehari-hari, merasakan kesedihan tak berkesudahan, atau gejala kejiwaan lainnya, segera kunjungi profesional seperti psikolog atau psikiater. Edukasi dirimu, edukasi orang terdekatmu, bersama-sama kita hapus stigma buruk ini. Kamu tidak sendiri. Kamu tidak gila, namun kamu butuh pertolongan, maka carilah.

Terima kasih sudah berjuang, terima kasih sudah selalu melakukan yang terbaik, terima kasih sudah berusaha untuk kuat. Namun, mencari pertolongan adalah bentuk tindakan yang sangat hebat. Terima kasih, mari berjuang bersama.

Baca Juga: Jangan Menambah Beban, Beri Dukungan untuk Keluarga Korban Bunuh Diri 

Muhammad Riduan Photo Community Writer Muhammad Riduan

Aku adalah Abu Yang Memendam Dendam.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya