Perempuan Indonesia Kian Sulit Memperoleh Pangan

Menurutmu, siapa yang menjadi korban dalam konflik agraria?

Denpasar, IDN Times – Sejumlah perempuan di beberapa wilayah Indonesia seperti Jayapura, Purwokerto, Ambon, Bengkulu, Tabanan, Makassar, Kupang, Jakarta, dan Palangkaraya mengaku mengalami kesulitan memenuhi pangan. Hal ini diungkapkan oleh Risma Umar, dari Aksi! For Gender, Social, and Ecological Justice.

Menurut Risma, masifnya konflik agraria telah berdampak pada hilangnya sumber pangan perempuan. Ia menemukan fakta-fakta ini dari konsultasi yang dilakukannya pada periode 2021-2022 dengan melibatkan 120 perempuan produsen pangan.

1. Kesulitan memperoleh pangan sehat dan terjangkau

Perempuan Indonesia Kian Sulit Memperoleh PanganIlustrasi areal persawahan. (IDN Times/Herka Yanis)

Risma mengatakan, para perempuan asal kota dan desa-desa sekitarnya mengalami kesulitan untuk memperoleh pangan sehat dan terjangkau. Selain itu juga kesulitan mempertahankan sumber daya alam, dan kebebasan berproduksi pangan. Hal ini seiring dengan semakin masifnya pembangunan infrastruktur, energi, dan perkebunan monokultur oleh pemerintah yang merebut, serta menggusur sumber pangan perempuan di wilayah perikanan, kehutanan, maupun pertanian.

“Masifnya konflik agraria telah berdampak hilangnya sumber pangan perempuan. Misalnya, masuknya PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) di Kawasan Danau Toba, pengembangan perkebunan sawit oleh PTPN II di Keerom-Jayapura dan Kalimantan Tengah, reklamasi Teluk Jakarta dan Kota Makassar untuk Pelabuhan Baru Makassar dan sulitnya akses air bersih karena privatisasi air oleh PT Palija,” jelasnya dalam siaran pers.

2. Industrialisasi pangan merugikan perempuan

Perempuan Indonesia Kian Sulit Memperoleh PanganProgram bantuan alat mesin pertanian (alsintan) yang direalisasikan Kementerian Pertanian (Kementan), Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP). (Dok. Kementan)

Ia menyebutkan, sikap pemerintah Indonesia dinilai mengarahkan pada industrialisasi pangan untuk mengakomodir permintaan pasar global yang hanya menguntungkan pengusaha, dan penguasa. Sehingga ini semakin menyulitkan akses pangan bagi banyak perempuan miskin di pedesaan dan perkotaan, ketimbang membangun kemandirian pertanian yang dikendalikan sendiri oleh kepentingan masyarakat, termasuk perempuan.

“Paradigma pembangunan neoliberal rezim pemerintah selama ini memang lebih mementingkan investasi perkebunan, pertanian, energi, dan infrastruktur, tidak menghiraukan hilangnya sumber pangan dan sumber kehidupan perempuan,” katanya.

3. Pentingnya mengakomodir kepentingan perempuan petani, nelayan tradisional, dan perempuan adat

Perempuan Indonesia Kian Sulit Memperoleh Panganfoto hanya ilustrasi. (IDN Times/Wira Sanjiwani)

Ia mencontohkan perempuan tani miskin dari wilayah Kebumen, yang hanya bisa mengumpulkan buliran padi pascapanen sebagai penghasilannya. Bendungan Kedung Ombo yang dibangun dengan menenggelamkan 37 desa di tiga kabupaten Grobogan, Sragen, Boyolali, menyebabkan sekitar 5.628 keluarga kehilangan tempat tinggal dan sumber kehidupannya.

Sampai hari ini, banyak perempuan korban penggusuran dan keluarganya tetap mengalami kesulitan mengakses pangan.

Perempuan Indonesia Kian Sulit Memperoleh PanganIlustrasi razia pengemis. (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Situasi sama juga dirasakan oleh perempuan sektor perikanan di Bengkulu. Mereka yang hidup sebelumnya bergantung pada mencari ikan di laut, sejak masuknya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi dan maraknya tambang galian C, berdampak pada semakin sulitnya memperoleh ikan. Selain itu, abrasi pantai akibat kedua kegiatan tersebut menenggelamkan tanah, kebun sayur, sawah dan pemukiman masyarakat.

“Negara seharusnya memperhatikan kepentingan perempuan petani, nelayan tradisional, perempuan adat, dan setempat yang hidup di sekitar wilayah hutan. Mereka adalah produsen pangan yang menjaga keberlanjutan kehidupan kita semua,” terangnya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya