Tari Sakral Harus Dilihat Dari Pemanfaatan, Bukan Lokasi Pentasnya

Tari Rejang Renteng massal tetap Disuguhkan saat NPF

Klungkung, IDN Times - Panitia penyelenggara Festival Nusa Penida yang akan digelar 5-8 Oktober mendatang tetap akan menyuguhkan Tari Rejang Renteng massal saat pembukaan festival. Meskipun adanya keputusan bersama Persatuan Hindu Darma Indonesia (PHDI), Majelis Desa Adat, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali terkait larangan pementasan tari sakral di luar kepentingan upacara agama.

Pementasan Tari Rejang Renteng massal tersebut disebut untuk mengiringi ritual pekelem yang dilaksanakan saat pembukaan Festival Nusa Penida.

1. Tarian ini disuguhkan untuk mengiringi ritual pekelem

Tari Sakral Harus Dilihat Dari Pemanfaatan, Bukan Lokasi PentasnyaIDN Times/Wayan Antara

Ketua Seksi Acara Nusa Penida Festival (NPF), I Nyoman Widana, memastikan saat pembukaan festival di Banjar Nyuh tetap akan menyuguhkan Tari Rejang Renteng. Tarian ini disuguhkan untuk mengiringi ritual pekelem, yang akan dilaksanakan saat pembukaan NPF 2019. Persiapan ini pun terus digenjot sampai sekarang.

"Ketika pembukaan NPF 2019 nanti ada ritual pekelem, inilah yang akan diiringi oleh tari rejang. Hanya saja tari rejang ini secara kolosal," ungkap Widana, Kamis (19/9).

2. Substansi dari kesepakatan itu harus dilihat dari pemanfaatan tari sakral, bukan di mana tempat tari itu dipentaskan

Tari Sakral Harus Dilihat Dari Pemanfaatan, Bukan Lokasi PentasnyaIDN Times/Wayan Antara

Sementara itu seorang seniman tari, Dewa Gde Alit Saputra, menanggapi keluarnya keputusan tersebut. Ditemui di rumahnya di Kemoning, Semarapura Kelod, Dewa Alit Saputra mengatakan substansi dari kesepakatan itu harus dilihat dari pemanfaatan tari sakral dan tari wali tersebut.

“Bukan di mana tempat tari itu dipentaskan atau berapa banyak jumlah penarinya serta masalah rekor MURI-nya,” tandas Dewa Alit Saputra.

Pemilik Sanggar Kayonan ini mencontohkan, ketika tari wali dipentaskan di catus pata (Perempatan agung), serangkaian ritual tawur dan penarinya dalam jumlah banyak serta ada pihak lain yang ingin mendokumetasikan dalam bentuk pencatatan di MURI, bagi Dewa Alit Saputra itu tidak jadi masalah.

“Beda halnya kalau kalau tari wali dipentaskan dengan sengaja tanpa ada rangkaian upacara agama lalu mendatangkan tim rekor MURI, itulah keliru menurut saya,” ujarnya.

3. Tari sakral diikat dengan bakti, sesajen dan persembahan

Tari Sakral Harus Dilihat Dari Pemanfaatan, Bukan Lokasi PentasnyaIDN Times/Wayan Antara

Ia kembali mencontohkan saat dipentaskan Tari Rejang Dewa secara kolosal di Pantai Penumangan, Ceningan dan Tari Telek Jumpai Kolosal di catus pata Klungkung yang berkaitan dengan festival. Saat pentas Tari Rejang Dewa diadakan mengikuti serangkaian upacara pekelem segara dan dipuput oleh seorang pandita.

“Sedangkan Tari Telek Jumpai kolosal, kebetulan saya ada di lapangan (Sebagai penata tari), saya hanya memindahkan lokasi pementasannya saja, sama sekali tidak ada mengurangi nilai kesakralannya. Apalagi sebelum dipentaskan ada ritual agama, dipentaskan dari lawan (Arah) timur, selatan, barat, utara dan tengah,” tegasnya.

Ia menambahkan tari sakral diikat dengan bakti, sesajen dan persembahan. “Sekali lagi yang perlu digarisbawahi, kalau pementasan tari sakral atau tari wali orientasinya semata mencari prestise, prestasi apalagi mencari rekor MURI, tanpa ada rangkaian upacara agama atau tanpa diawali dengan upakara atau banten, itu yang keliru,” demikian Alit Saputra.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya