Media Berbahasa Daerah Sempoyongan Merebut Hati Pembaca

Pasti ada saja yang bilang kolot

Salinan majalah berbahasa Jawa terpampang di dinding bangunan tua, Jalan Gedung Nasional 2, Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lembaran-lembaran ini bersanding dengan foto pendirinya, Dr Soetomo. Majalah Panjebar Semangat berusia 90 tahun, dan lembaran yang dipajang itu merupakan edisi pertama terbitan 2 September 1933. Namun meja redaksi tengah berjuang ‘melawan’ zaman untuk mempertahankan eksistensinya.

Denpasar, IDN Times - Peradaban modern seperti saat ini semestinya memudahkan peran media massa dalam menyampaikan beragam informasi, dari hiburan hingga pendidikan. Apalagi masyarakat juga memiliki banyak pilihan cara untuk mengaksesnya. 

Tapi faktanya, media massa lokal yang mau ikut terlibat untuk melestarikan identitas kedaerahan, masih sempoyongan mendapatkan hati masyarakat. Meski sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, namun terasa kolot, terutama bagi generasi muda, untuk membaca media massa berbahasa daerah.

"Bahasa Jawa kayak sesuatu yang menakutkan, dijauhi. Lama-lama kecintaan terhadap Bahasa Jawa pudar, tidak seperti dulu,” kata Staf Redaksi Panjebar Semangat, Kukuh Wibowo, Sabtu 26 Agustus 2023.

Selain memudarnya minat baca generasi muda, penutur bahasa daerah juga menjadi permasalahan. Contohnya ada di Radio Republik Indonesia (RRI) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka memiliki program siaran pedesaan yang menggunakan tiga bahasa daerah sejak 1970-an yaitu Bahasa Sasak, Bahasa Sumbawa, dan Bahasa Bima. Namun yang bertahan hanya Bahasa Sasak dan Bahasa Sumbawa, karena kekurangan penutur bahasa daerah.

RRI Mataram telah bekerja sama dengan Kantor Bahasa NTB, tapi tak kunjung maksimal. Untuk mendatangkan penutur setiap hari membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi mereka hanya menghadirkan bahasa daerah dalam iklan layanan masyarakat, drama, dan obrolan, bukan sebagai bahasa pengantar untuk siaran sehari-hari.

Berdasarkan petabahasa.kemdikbud.go.id, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Masing-masing bahasa, logat atau dialeknya juga berbeda-beda. Pasti ada perbedaan persepsi jika sedikit saja keliru memakai dialeknya. Risiko itulah yang membuat RRI Mataram tidak berani menggunakan Bahasa Sasak sepenuhnya. Mereka kesulitan memilih menggunakan logat apa untuk Bahasa Sasak. Pada akhirnya, mereka memutuskan bahasa yang paling umum digunakan, yaitu Bahasa Sasak Reramputan. Bahasa itu pun disampaikan secara multibahasa.

“Kami campur komunikasinya dengan Bahasa Indonesia. Itu Bahasa Sasak saja. Belum Bahasa Sumbawa dan Bima,” ungkap Kepala Bidang Siaran RRI Mataram, I Nengah Sudarita, Jumat 25 Agustus 2023.

Cerita di atas masih perkara minimnya minat pembaca dan penutur, serta pemilihan logat. Sementara majalah, koran, radio, dan media lainnya di Indonesia juga dihadapkan pada   digitalisasi media serta pendanaan. Makanya banyak yang tidak mau muluk-muluk menargetkan pembaca tinggi. Berikut ini potret eksistensi dan inovasi media berbahasa daerah dari hasil liputan tim regional IDN Times yang tersebar di 13 provinsi.

1. Media berbahasa daerah menghadapi titik terendah

Media Berbahasa Daerah Sempoyongan Merebut Hati PembacaKukuh S W saat menunjukkan cetakan Majalah Panjebar Semangat. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Panjebar Semangat merupakan majalah berbahasa Jawa tertua di Indonesia, yang terbit seminggu sekali. Beritanya menyuguhkan sastra Jawa, fiksi, cerpen berbahasa Jawa, cerita wayang, dongeng, sejarah, nonfiksi, dan reportase kebudayaan. Saking tuanya dan muatan kedaerahannya cukup kental, Kedutaan Besar Suriname untuk Indonesia meminta 200 sampai 300 cetakan setiap enam bulan sekali. Majalah ini kemudian dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat di sana, agar keturunan Jawa di Suriname tetap melestarikan budaya Jawa. Tapi fakta ini jauh berbeda dengan Indonesia. Pelanggan tua mulai berpamitan (tidak berlangganan), keturunannya tidak bisa meneruskan.

Pelanggan yang tersisa hanya pensiunan guru, pegawai negeri, hingga TNI/Polri, dan kebanyakan berusia lanjut yang meneruskan tradisi dari orangtua mereka. Sedangkan basis pembacanya berasal dari Jawa bagian selatan seperti Madiun, Magetan, Solo, dan Yogyakarta. Ada pula di Jabodetabek, dan Lampung, sebab pelanggannya turun temurun dari transmigran.

Meja redaksi semakin pusing tujuh keliling. Derasnya digitalisasi media daring membuat minat pembaca pindah ke lain hati, yang lebih up to date. Tapi Kukuh menyadari itu, karena jangkauannya lebih mudah daripada media cetak, utamanya seperti Panjebar Semangat. Belum lagi persoalan daya beli. Panjebar Semangat pernah melewati dua kali masa berkurangnya pelanggan. Pertama, pada saat krisis moneter tahun 1997. Kedua, pandemik COVID-19.

"Jumlahnya menurun semenjak pandemik. Dulu di atas 10 ribu pelanggan, sekarang 8 ribu pelanggan," ujar Kukuh.

Jika Jawa Timur punya Panjebar Semangat, di Bali ada BaliTopNews. Media ini terbilang portal berita baru di Bali. Berdiri 1 Juli 2016 lalu, atau baru berusia tujuh tahun. Awalnya masih bernama RedRiceBaliNews, dan disajikan dalam Bahasa Inggris untuk menargetkan pembaca luar negeri. Setahun berikutnya berubah nama menjadi BaliTopNews, dan disajikan dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Bali. Penyajian dalam tiga bahasa ini bertujuan untuk menginformasikan berita-berita yang terjadi di Bali, ke wisatawan mancanegara (wisman).

Pada 2018, lahirlah Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 80 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali. Pergub ini dinilai sejalan dengan BaliTopNews. Portal ini lalu mendapatkan apresiasi dari Dewan Pers ketika menjalani verifikasi di awal tahun 2022, karena segmen penyajiannya menggunakan Bahasa Bali. Tapi CEO BaliTopNews, Donny Darmawan, mengakui juga bahwa Bahasa Bali hanya digunakan untuk memberitakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Ia kekurangan sumber daya manusia (SDM) untuk menerjemahkan berita ke dalam Bahasa Bali. Ia berencana menambah SDM satu atau dua tahun ke depan. Makanya Donny tidak menargetkan pembaca yang tinggi.

“Kami hanya ingin berkarya di dalam berita Bahasa Bali. Meski saat ini peminat pasarnya tidak banyak, tapi tidak menjadi tolok ukur. Karena kami ingin berkontribusi dalam melestarikan Bahasa Bali lewat penyajian berita di portal berita kami," ujarnya, Minggu 27 Agustus 2023.

Lain cerita dengan media alternatif di Banten, Bantenhejo. Media komunitas lokal nonkomersil yang berdiri pada November 2019 ini menyajikan tulisan-tulisan tentang Provinsi Banten dari sudut pandang warga desa dan pinggiran kota. Mereka juga menerima karya sastra puisi. Media ini wujud keresahan warga desa yang ingin menerbitkan karya tulisan, namun tidak punya wadah. Keunikannya adalah kehadiran rubrik Dialek. Halaman ini memuat kosakata Bahasa Sunda-Banten dan Jawa-Banten, sehingga lebih mirip kamus daring.

"Meskipun harus diakui, kami juga belum konsisten update, bahkan tidak setiap minggu," ungkap Pendiri Bantenhejo, Agung Herdiansyah, Sabtu 26 Agustus 2023.

2. Strategi produksi bergantung kerja sama dengan pemda hingga perusahaan

Media Berbahasa Daerah Sempoyongan Merebut Hati PembacaTerbitan Majalah Panjebar Semangat. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Harus diakui, digitalisasi media berhasil memindahkan wujud fisik (analog) ke dalam perangkat lunak (digital), lalu disajikan secara visual maupun lainnya. Kalau mengambil kalimatnya Leah A Lievrouw dalam bukunya berjudul Alternative and Activist New Media, proses digitalisasi ini telah mengonversikan media fisik seperti teks, foto, video, hingga suara menjadi bentuk angka-angka biner. Hal ini berdampak pula pada proses produksi, distribusi, dan konsumsi media itu sendiri.

Dari ketiga proses itu, perlu adanya SDM yang mumpuni. Untuk itu Majalah Mangle, yang kini merambah dunia digital, giat merekrut SDM dari kalangan muda. Harapannya, informasi yang disampaikan dapat mengikuti kebutuhan anak muda hingga ke generasi berikutnya.

"Mereka harus bisa menangkap pasar sekarang seperti apa. Ya pokoknya harus lebih gaul," terang Wakil Pimpinan Umum Majalah Mangle, Unay Sunardi, Minggu 27 Agustus 2023.

Namun Unay menuturkan, dari pantauan perusahaannya, pembaca Mangle lebih menyukai informasi secara fisik lewat majalah. Sehingga mereka merasa berada di jalur yang tepat untuk memberikan informasi, edukasi, dan hiburan. Triknya yaitu menyediakan rubrik Beja Ti Nagara yang memuat berita politik, ekonomi, dan lainnya. Kemudian ada rubrik khusus remaja, hingga tulisan-tulisan carpon (carita pondok atau cerita pendek). Majalah asal Bandung, Provinsi Jawa Barat ini juga memberikan edukasi bermuatan lokal untuk dipakai dalam pembelajaran di sekolah.

Untuk bertahan hidup, Unay tak menampik, majalah berbahasa Sunda yang berdiri sejak 1957 ini membutuhkan biaya pengelolaan. Sehingga harus menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda), lembaga, dan perusahaan agar tetap berproduksi.

Seiring lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jabar Nomor 14 tahun 2014 Tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah, ia semakin yakin majalahnya terus bertahan karena berupaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kesundaan. Majalah ini memadukan antara berita nonfiksi dan cerita-cerita fiksi agar menarik pembaca.

"Ini yang harus dipegang teguh sekarang. Alhamdulillah, itulah yang mungkin membuat orang-orang masih ada rasa kerinduan terhadap Bahasa Ibu," ujar Unay.

Kalau Mangle ber-partner dengan pemda setempat, Panjebar Semangat malah terancam. Mereka sejauh ini menggantungkan 70 persen pendapatannya dari pelanggan. Sisanya, berasal dari iklan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Namun, kali ini pemkot tidak melanjutkan kontraknya.

"Kalau Pemprov Jatim dulu pernah beriklan, sekarang sudah diputus. Saya gak tahu kenapa," ungkap Kukuh.

Kukuh merasa campur tangan pemerintah untuk melestarikan media berbahasa daerah tidak terlalu besar. Meski begitu, dia dan tim redaksi berpegang teguh pada pesan Sukarno yang terpajang di dinding Kantor Panjebar Semangat, agar majalah ini tetap lestari. Akhirnya mereka bersiasat membuat majalah versi elektronik yang lebih berwarna dan berbayar.

"Langganannya lebih murah, dan akan menerima password. Kalau cetak Rp72 ribu per bulan, online Rp40 ribu per bulan. Bahkan pelanggan bisa menerimanya lebih cepat daripada versi cetak," tutur dia.

Selain itu, Panjebar Semangat membuat rubrik khusus anak-anak. Mereka berusaha masuk ke sekolah-sekolah sebagai sarana pendidikan anak-anak. Strategi ini membuahkan hasil. Ada sekolah menengah pertama (SMP) di Kota Batu yang berlangganan majalah Panjebar Semangat.

3. Media perlu mendatangkan figur terkenal dari lokal ke studio, dan berdialog dalam bahasa daerah

Media Berbahasa Daerah Sempoyongan Merebut Hati Pembacafoto hanya ilustrasi (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Kondisi ini cukup berbeda dengan Radio Gema Merdeka. Radio yang berlokasi di Kota Denpasar, Provinsi Bali ini menyisipkan pengetahuan tentang budaya dan kesenian melalui program pemutaran lagu berbahasa Bali, jadi tak melulu berbahasa Indonesia. Program ini berjalan sejak 1997 atau hampir tiga dekade, dan masih eksis sampai sekarang. Operasional Gema Merdeka Grup, Dedi Sani, menceritakan program ini memang diluncurkan untuk melestarikan budaya dan kesenian Bali. Terlebih, kala itu sedikit radio di Bali yang memiliki program lagu Bali. Seingat dia hanya ada RRI dan Radio Gema Merdeka saja.

Pada awal mula program ini dibuat, tidak banyak seniman dari Bali yang berkarya. Seiring berjalannya waktu, mulai bermunculan generasi muda Bali yang menelurkan karya lagu. Program ini hadir sebagai wadah mereka untuk mengekspresikan hasil karya. Lagu-lagu yang diputar jadi semakin bervariasi, sehingga memudahkan pendengar untuk request.

Inilah kesempatan bagi mereka untuk menyelingkan edukasi atau membahas acara kesenian, budaya, dan penyanyi dari Bali. Terkadang penyanyinya perlu didatangkan langsung ke studio untuk berinteraksi dengan para pendengar. Semuanya dikemas menggunakan dialog Bahasa Bali. Makanya pendengar program lagu Bali di Radio Gema Merdeka Denpasar bertahan hingga puluhan tahun. Tidak hanya generasi tua, generasi muda pun saat ini menyukai program yang disiarkan dua kali sehari, yaitu pagi pada pukul 09.00-11.00 Wita dan sore setiap pukul 17.00-19.00 Wita.

"Saat ini justru mulai banyak generasi muda yang menjadi pendengar di program lagu Bali. Karena penyanyi Bali dan karya mereka juga semakin banyak dan bervariasi," ujar Dedi.

Radio Gema Merdeka ada keinginan untuk menambah program berbahasa Bali lainnya. Tetapi masih memerlukan perencanaan yang matang baik dari segi kontinuitas, ide, narasumber, sumber daya manusia, hingga pendanaan.

"Selain Radio Gema Merdeka Denpasar, Gema Merdeka Grup juga punya tiga radio lainnya yaitu Radio Beat Gianyar, Radio Dirgantara Jembrana, dan Radio Suara Sunari Denpasar. Ketiganya ini juga punya program lagu Bahasa Bali. Khusus Radio Suara Sunari, programnya memutar lagu Bali lama era 1970-an," kata Dedi.

Berkaca dari cerita-cerita media massa di atas, upaya pelestarian media berbahasa daerah perlu melibatkan kreator konten dan anak muda. Mereka bermodal berani, dan cepat beradaptasi dengan perkembangan digital. Percayalah, kalau sudah terkenal, pasti akan menemukan pelanggan yang setia, dan pendapatan datang dengan sendirinya. Gak percaya? Dua orang penggiat media lokal di Lampung bersama timnya di bawah ini sangat menarik.

4. Tunggu momentum dan buatlah dialog yang natural

Media Berbahasa Daerah Sempoyongan Merebut Hati PembacaInfografis media berbahasa daerah sempoyongan merebut hati pembaca. (IDN Times/Sukma Shakti)

Gawai, clip on, dan tripod beserta ide-ide menarik mungkin cukup sebagai modal awal untuk membuat konten video. Namun harus diingat pula, layak atau tidaknya konten itu direkomendasikan ke publik, tergantung pada algoritma. Jadi dari sekian banyaknya konten yang dibuat, kreator pasti akan menunggu momentum. Yaitu videonya viral di media sosial (medsos) maupun platform lainnya. Seperti Grup Komedi Menggala beranggotakan delapan orang asal Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

Awal tahun 2022 jadi momentum yang baik bagi mereka saat debut di YouTube. Potongan drama pendek komedi ke-8 berjudul Mulei Ngelakei viral di TikTok. Akun-akun di Facebook juga banyak yang menyukainya, karena mengangkat tentang pernikahan adat Lampung. Karya tersebut memakai Dialek O, yang digunakan masyarakat Lampung Pepadun di daerah Menggala.

“Ceritanya seorang bujang ngajak lari gadis yang dia suka. Kalau adat Lampung kan namanya larian atau ngelakei. Kami buat film pendeknya mulai dari larian, mosok, sampai resepsi itu benar-benar menggelar acara,” kata sang kreator konten, Jamal, di sela jeda syuting, Kamis 24 Agustus 2023 siang.

Mereka telah menghasilkan sekitar 70 drama pendek komedi, dan ditonton puluhan ribu dengan jumlah subscriber 197 ribu di YouTube. Penontonnya dari Lampung hingga Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Media Berbahasa Daerah Sempoyongan Merebut Hati PembacaCuplikan film pendek Komedi Menggala (YoTube.com/Parodi Menggala)

Awalnya Jamal membuat pertunjukan keliling drama komedi berbahasa daerah, yang digelar lima hari sebelum Idul Fitri. Masyarakat Lampung Menggala menyebutnya Pukeu Sahur (bangun sahur). Pertunjukan ini digelar setiap jam 9 malam, hingga menjelang waktu sahur. Tapi semakin ke belakang, penontonnya mulai berkurang. Mereka juga kekurangan dana untuk menyiapkan pertunjukan.

Tidak mau menghilangkan budaya turun temurun ini, Jamal mengembangkannya lewat drama pendek di YouTube. Sejak saat itu timnya terkenal dan sering menerima tawaran off air untuk manggung di acara-acara kelurahan. Drama komedi Pukeu Sahur kembali ramai dipadati penonton.

“Kadang kalau saya lagi belanja, ibu-ibu udah nagih film terbaru kita,” cerita Jamal.

Mereka sempat vakum di akhir tahun 2022 karena kesibukan anggota. Absennya mereka di dunia maya, justru dirindukan oleh penonton setia. Awal Maret 2023, mereka kembali dengan membuat kanal baru bernama Komedi Menggala. Apakah pendapatan di YouTube sudah cukup untuk membiayai produksi film? Tentu saja tidak. Pendapatannya harus ditambah dari endorse dan panggilan off air.

Sang kreator juga harus totalitas dalam menyajikan konten berbahasa daerah. Selain dialog, perlu properti yang khas sebagai pendukung agar kontennya otentik. Misalnya kalau di Lampung berupa rumah panggung, adegan perempuan yang sedang menyulam, sampai tradisi ngawil (kebiasaan masyarakat mencari ikan di sungai).

Lalu ada pertanyaan berikutnya, apakah kreator harus tahu cara mengelola YouTube? Sejauh ini, Robeah, talent Grup Komedi Menggala, hanya fokus kepada briefing untuk menentukan topik film. Dialognya dibiarkan mengalir tanpa naskah, dan para talent berakting senatural mungkin sesuai karakter yang disepakati. Setelah tayang, kreator perlu mendistribusikan penggalan video ke TikTok, dan mengajak pengikutnya untuk menonton di YouTube yang lebih lengkap.

“Kami ingin menunjukkan kalau Bahasa Lampung ini asyik untuk didengar dan dipelajari. Jadi selain anak muda, film ini juga untuk Pak Presiden dan Gubernur Lampung. Ini lho pak, kami anak kabupaten, anak desa mempunyai cerita tersendiri, pakai Bahasa Lampung,” ujar Robeah.

5. Memakai strategi distribusi secara ‘door to door’ via WhatsApp, dan mencari bibit-bibit penulis baru

Media Berbahasa Daerah Sempoyongan Merebut Hati Pembacae-majalah Suara Saking Bali. (facebook.com/Suarasakingbali)

Sementara Perintis Suara Saking Bali, I Putu Supartika, tidak memiliki dana untuk melanjutkan majalah cetak bulanan. Sehingga ia beralih ke e-majalah, yang terbit di situs suarasakingbali.com. Ia lalu mendistribusikan e-majalah itu ke berbagai medsos, termasuk ‘door to door’ dengan mengirimkan ke pesan WhatsApp (WA).

“Sampai saat ini majalahnya sudah edisi 82, dan terbit setiap bulan,” ujar laki-laki asal Desa Selumbung, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem ini.

Semuanya berawal pada 2016, ketika alumnus Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha ini sedang menyelesaikan skripsi. Ia memanfaatkan waktu luang untuk membuat blog berbahasa Bali. Blog tersebut menampung puisi, cerpen, maupun artikel dari teman-teman penulis Sastra Bali Modern (SBM) yang bertebaran di beberapa blog dan media cetak.

Oktober 2016, muncullah keinginan untuk membuat majalah Sastra Bali Modern dengan nama Suara Saking Bali. Majalah ini dibangun bersama teman-teman penulis SBM, dan didukung oleh seorang Sastrawan Indonesia dan Bali Modern, IDK Raka Kusuma, yang berpulang 5 Agustus 2023 lalu.

Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, Suara Saking Bali adalah suara dari Bali. Nama ini terinspirasi dari puisi Pelopor puisi Bali modern, I Made Sanggra, berjudul Suara Saking Setra atau Suara dari Kuburan. Target pembacanya adalah para pembaca SBM, termasuk siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum yang suka membaca SBM.

Majalah yang terbit satu bulan sekali ini selalu mengadakan acara seperti pembacaan cerpen dan puisi secara daring, lomba penulisan cerpen, kritik sastra, hingga workshop. Selain itu, juga menyajikan banyak karya SBM yang lama-lama seperti karya sang Novelis, Gde Srawana; dan penulis SBM pertama di Bali, I Made Pasek. Sampai akhirnya, laki–laki berusia 29 tahun ini pindah ke digital.

Tidak selalu mulus, Supartika mengakui sedang menghadapi kesulitan lesunya penulis lama. Setoran karya yang masuk semakin sedikit, terutama pada masa pandemik COVID-19. Ia juga merasakan dampaknya. Semangatnya sempat mengendur. Lambat laun, ia mulai menemukan penulis-penulis baru dari kalangan mahasiswa. Hal itu membuat semangatnya menyala lagi.

“Saat ini sedang lesu, karena banyak teman penulis yang jarang menulis. Namun kabar baiknya, kini muncul penulis baru dari kalangan mahasiswa dan siswa. Setiap bulannya pasti ada yang mengirim,” ujarnya.

Penulis: Ayu Afria, Debbie Sutrisno, Khusnul Hasana, Muhamad Iqbal, Silviana, Wira Sanjiwani

Topik:

  • Irma Yudistirani
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya