Koruptor Bansos Bencana Bisa Dijerat Hukuman Mati, Ini Dasar Hukumnya

Mahfud: Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati koruptor

Denpasar, IDN Times – Pemerintah Pusat telah menggelontorkan bantuan sosial (Bansos) untuk menekan dampak sosial pandemik COVID-19. Sumber bantuannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Jenisnya pun bermacam-macam, seperti:

  • Program keluarga Harapan (PKH) dari Kemensos
  • Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau sembako dari Kemensos
  • Bantuan Sosial Pangan (BSP) atau sembako dari Kemensos
  • Bantuan Sosial Tunai (BST) yang disalurkan melalui Pos oleh Kemensos
  • Bantuan Sosial Tunai (BST) yang disalurkan lewat Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) oleh Kemensos
  • Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia
  • Bantuan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia
  • Subsidi Gaji Karyawan dan Program Prakerja dari Kementerian Tenaga Kerja
  • BST atau sembako dari APBD tiap kabupaten/kota
  • Subsidi listrik, keringanan pinjaman bank, dan lainnya.

Laman covid19.go.id menyebutkan, Pemerintah sendiri mengucurkan anggaran Rp405,1 triliun sebagai tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan COVID-19. Anggaran itu dialokasikan untuk kesehatan hingga ekonomi yang terkena dampak pandemik. Kebijakan itu dikuatkan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perpu 1/2020) Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Namun anggaran ini semakin bertambah lagi.

Siapakah yang mendapatkan mandat untuk mengelola dana besar tersebut? Menurut laman hukumonline.com, pihak yang mendapatkan amanat untuk mengelola dana bantuan ini adalah pejabat pemerintahan pusat maupun daerah. Jika ada yang menyalahgunakan kewenangannya, mereka terancam sanksi pidana.

Kabar terbaru, Menteri Sosial (Mensos), Juliari Peter Batubara, terjaring Operasi Tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK bahkan telah menetapkan Juliari sebagai tersangka kasus korupsi program bansos COVID-19. Ia menyerahkan diri pada pukul 02.50 WIB dini hari, Minggu (6/12/2020), dengan didampingi oleh sejumlah orang.

“Tersangka JPB (Juliari Peter Batubara) menyerahkan diri ke KPK hari Minggu tanggal 6 Desember 2020, sekitar jam 02.50 WIB dini hari,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri saat dihubungi IDN Times, Minggu (6/12/2020).

Ia diduga menerima fee dari para vendor dengan nilai total Rp14,5 miliar. Uang itu disimpan di dalam tujuh koper, tiga tas ransel dan amplop kecil.

Pertanyaannya, apakah koruptor bansos dapat dihukum mati? Berikut penjelasan dari Pakar Hukum Pidana dari Hukum Online, Sigar Aji Poerana SH, selengkapnya:

Baca Juga: Orang Kepercayaan Juliari Pasang Fee Rp10 ribu per Paket Sembako

1. Rincian terbaru stimulus ekonomi pandemik COVID-19 dari Pemerintah Pusat:

Koruptor Bansos Bencana Bisa Dijerat Hukuman Mati, Ini Dasar HukumnyaInfografis Stimulus Ekonomi Indonesia selama Pandemik COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Dari data yang telah dibuat oleh IDN Times, Pemerintah Pusat mengalokasikan stimulus fiskal untuk pandemik COVID-19 sebesar 695,2 triliun. Masing-masing diperuntukkan:

  • Dukungan terhadap kesehatan: Rp87,6 triliun
  • Dukungan terhadap perlindungan sosial dan konsumsi: Rp203,9 triliun
  • Dukungan terhadap Usaha Mikro, Menengah, Kecil, Makro (UMKM) dan pelaku bisnis: Rp244,1 triliun
  • Dukungan untuk pemerintah daerah (Perda) dan sejumlah sektor ekonomi: Rp106,1 triliun
  • Dukungan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN): Rp53,57 triliun.

Baca Juga: Pengamat di Bali: Bansos Itu Sumber Korupsi Paling Mudah

2. Inilah dasar hukum penerapan hukuman mati bagi koruptor bansos di tengah bencana:

Koruptor Bansos Bencana Bisa Dijerat Hukuman Mati, Ini Dasar HukumnyaIlustrasi Koruptor (IDN Times/Mardya Shakti)

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 menyebutkan:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Sedangkan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor berbunyi:

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Lantas apa artinya "keadaan tertentu"? Dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah:

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Sigar menjelaskan, Indonesia telah menetapkan status wabah COVID-19 melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.
 
Jadi Sigar menyimpulkan, penyalahgunaan dana penanggulangan wabah COVID-19 bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Artinya, pelaku dapat dijerat hukuman pidana mati.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD, pernah menekankan soal wacana hukuman mati bagi koruptor bansos di tengah bencana pada tahun 2019 lalu.

"Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati koruptor. Karena itu merusak nadi, aliran darah sebuah bangsa, itu dirusak oleh koruptor," ujar Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, dikutip dari YouTube Kompas TV Selasa (10/12/2019).

Mahfud juga menegaskan, hukuman itu sudah diatur oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Mahfud berulang kali menyinggung soal penerapan hukuman mati, bahkan ketika ia masih menjabat sebagai Ketua Makhamah Konstitusi (MK).

"Kasus korupsi itu sudah berkali-kali dibongkar, tapi korupsi tetap saja ada karena itu sebaiknya ada perbaikan sistem.Sistemnya, jatuhkan hukuman mati kepada koruptor dan buka peluang UU Pembuktian Terbalik untuk kasus korupsi, tapi UU itu memang harus diberlakukan secara hati-hati," kata Mahfud di Gedung PWNU Jatim tanggal 8 April 2010 silam, dikutip dari kantor berita ANTARA.

3. Dua orang kepercayaan Juliari menyepakati fee sebesar Rp10 ribu per paket sembako senilai Rp300 ribu

Koruptor Bansos Bencana Bisa Dijerat Hukuman Mati, Ini Dasar HukumnyaJuliari Batubara tiba di Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Selasa (22/10/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Pada tanggal 9 September 2020, Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara, pernah meminta lembaga antirasuah agar ikut mengawasi tata kelola dan penyaluran bantuan sosial pandemik di Gedung Merah Putih KPK.

Ia meminta pengawasan itu dilakukan karena nominal dana yang dikelola oleh Kementerian Sosial cukup besar. Yaitu mencapai Rp127 triliun. Sementara total dana anggaran untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai Rp203 triliun. 

"Sesuai perintah Presiden dalam rangka penyerapan anggaran, tentunya kami sangat ingin diberikan pendampingan dari semua teman-teman yang mengawal program pemerintah, tentu di antaranya KPK. Kami tentu berharap KPK memberikan bimbingan dan juga teguran jika ada hal yang perlu kami perbaiki," ungkap Juliari, tiga bulan sebelum ia dijadikan sebagai tersangka kasus suap.

Kini waktu telah berlalu. Juliari menyerahkan diri setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi program bansos COVID-19, Minggu (6/12/2020).

Dalam keterangan persnya, Ketua KPK, Komjen (Pol) Firli Bahuri, menyebutkan dua Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program bansos COVID-19 menetapkan fee sebesar Rp10 ribu per paket sembako senilai Rp300 ribu. Dua PPK ini adalah orang kepercayaan yang ditunjuk oleh Juliari. Mereka yang berinisial MJS dan AW ini sudah ditetapkan sebagai tersangka.

"Fee tiap paket bansos disepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket bansos," jelas Firli dini hari tadi.

Dugaan tindak pidana korupsi ini bermula dari pengadaan bansos untuk penanganan COVID-19. Kemensos menyalurkan bansos berupa paket sembako senilai Rp5,9 triliun. Menurut Firli, total ada 272 kontrak bansos yang didistribusikan dalam dua periode.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya