Memahami Konflik Ukraina-Rusia dari Perspektif Ekonomi Politik

Invasi yang sangat merugikan sipil ini harus dihentikan

Penulis: Ufiya Amirah

Apabila diamati secara cermat, hampir setiap konflik internasional selalu melibatkan negara big powers, seperti Rusia, Amerika Serikat, dan yang tergabung di Uni Eropa (UE). Dalam pendekatan ekonomi politik, dapat dilihat bagaimana negara-negara berkekuatan super melakukan asosiasi dengan beberapa negara untuk memperluas dominasi kekuasaannya.

Dominasi negara super power berbanding lurus dengan ketergantungan sebuah negara. Semakin besar ketergantungannya, maka semakin besar pula dominasi negara big power tersebut. Maka tidak heran apabila negara-negara big power saling bersaing, bahkan harus melakukan perang untuk memperluas dominasinya.

UE berupaya mempersatukan seluruh negara di daratan Eropa untuk mengimplementasikan demokrasi liberal ala Barat dengan sistem kapitalisme guna mengalahkan rival Timur. Dalam hal ini Rusia, melalui program European Union Enlargement.

Sang pemimpin Rusia, Vladimir Putin, melalui kebijakan Neo-Eurasianist berusaha mempertahankan dominasi energi gasnya, khususnya di wilayah Baltik dan sekarang ekspan ke Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Timur, untuk melawan Translantik Barat. Di sisi lain, Amerika Serikat yang merupakan Imprealis terbesar di dunia dengan Marshal Plan-nya menundukkan dunia di bawah kekuasaannya.

Pertanyaannya kemudian, apakah kita bisa langsung menjustifikasi satu negara big powers dalam konflik Ukraina-Rusia ini tanpa mengetahui dan memahami kepentingan ekonomi-politik antar negara super power?

Nah berikut 5 hal yang perlu diketahui tentang konflik Ukraina-Rusia dari perspektif ekonomi politik:

Baca Juga: Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau Dewata  

1. Kepentingan NATO dan Rusia di Ukraina

Memahami Konflik Ukraina-Rusia dari Perspektif Ekonomi PolitikAksi damai warga Ukraina di Bali dibubarkan karena tak berizin. (IDN Times/Ni Ketut Sudiani)

Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau yang biasa dikenal dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO), beranggotakan Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa. UE awalya terbentuk dari negara-negara Eropa Barat pasca pecahnya Uni Soviet pada 31 Desember 1991. Namun dalam perkembangannya, beberapa wilayah di Eropa Timur juga turut bergabung ke dalamnya.

Namun demikian, Rusia tetap berambisi mempertahankan supremasinya atas Eropa Timur. Bipolarisasi kekuatan antara UE yang didukung NATO dan Rusia dengan sokongan Tiongkok, telah menciptakan krisis dan konflik di beberapa wilayah negara Baltik, seperti Ukraina.

Chikitta Carnelian, dalam tulisannya, Strategi Energi Vladimir Putin dalam Mempertahankan Dominasi Rusia di Negara-Negara Baltik, menyebutkan bahwa Baltik merupakan pintu Rusia bagi UE. Maka, apabila negara Baltik, termasuk pula Ukraina, sepenuhnya dikuasai oleh UE, maka akan terjadi western encirclement yang dapat mengancam keamanan Rusia. Selain itu, inbalance of power sharing di Eropa, tentunya merugikan Rusia, baik secara ekonomi maupun geopolitik.

Menurut John J Mearsheimer, Profesor Ilmu Politik Universitas Chicago, dalam tulisannya Why the Ukraine Crisis Is The West’s Fault: The Liberal Delusions That Provoked Putin (2014), akar konflik Rusia-Ukraina adalah ekspansi NATO yang berupaya merebut Ukraina dari orbit Rusia ke UE dengan dukungan Imprealis Barat.

Profesor tersebut menilai ekspansi NATO ke Ukraina adalah kekeliruan fatal. Mengapa? Karena Ukraina semula awal memang wilayah strategis bagi Rusia. Sama halnya dengan kawasan strategis Western Hemisphere dalam doktrin Monroe, yang harus berdaulat di bawah pemerintahan federal Amerika.

Sejalan dengan Mearsheimer, Edward W Walker, dalam tulisannya Between East & West: NATO Enlargement & the Geopolitics of the Ukraine Crisis (2015), menyatakan bahwa perluasan kekuasaan NATO ke Ukraina dalam perjanjian Helsinky dan KTT Paris adalah kesalahan dalam sejarah. Ekspansi NATO akan memperlemah keamanan sekutu dan mengganggu stabilitas Eropa.

Direktur Eksekutif Institute for Peace and Democracy (IPD), sekaligus Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana, I Ketut Putra Erawan, menegasikan adanya kepentingan antara Rusia dan NATO di Ukraina.

"Secara geopolitik, pasca pecahnya Union of Soviet Socialist Republics (USSR), NATO melakukan perluasan pengaruh. Di sisi lain, Ukraina timur sejak awal memang ingin menyatu dengan Rusia. Sedangkan Ukraina Barat merasa adanya kedekatan identitas dengan Eropa. Kemudian, ada kepentingan penyaluran gas yang melewati Ukraina. Bagi Rusia, ini merupakan kawasan strategis mereka. Sedangkan bagi Eropa, sejak lama, Ukraina memang mau bergabung dengan UE," jelas Erawan, Selasa (2/3/2022).

2. Ukraina sebagai wilayah crush zone antara NATO dan Rusia

Memahami Konflik Ukraina-Rusia dari Perspektif Ekonomi PolitikAksi damai warga Ukraina di Bali. (IDN Times/Ayu Afria)

Dalam tulisan Gwendolyn Sasse, The Crimea Question: Identity, Transition and Conflict (2007), dijelaskan bahwa Ukraina merupakan battle ground bagi kekuatan dunia yang mempersinggungkan wilayah kekuasaan Rusia, Ottoman, dan Habsburg. Sebagai kawasan crush zone, Rusia sangat berkepentingan untuk menyatukan Ukraina di bawah federasi pemerintahannya atau seminimal mungkin berada pada status quo, guna menjaga kepentingan ekonomi dan militer Rusia di Ukraina.

Dilansir dari ec.europa.eu, Rusia adalah pemasok utama minyak mentah, gas alam, dan bahan bakar fosil padat UE. Pada 2019, hampir dua pertiga, tepatnya 27 persen, impor minyak mentah ekstra-UE berasal dari Rusia dan lebih dari tiga perempat, 47 persen, bahan bakar padat (kebanyakan batubara) impor berasal dari Rusia. Maka stabilitas pasokan energi UE dapat terancam apabila Rusia melakukan embargo energi terhadap UE.

Ukraina sebagai wilayah transit tranmisi gas di wilayah Eropa menjadi alasan penting mengapa Rusia sebagai importir utama energi gas Eropa mempertahankan Ukraina. Dalam laporan Energy Charter Secretariat, Gas Transit Tarrifs in Selected Ect Countries (2006), disebutkan bahwa Ukraina merupakan negara transit terpenting di dunia.

Ukraina mengangkut setidaknya 120 Billion Cubic Meters per Annum (bcma) dari gas Rusia ke Eropa barat dan selatan serta ke beberapa negara Kaukasia dan bahkan jika memungkinkan hingga ke Asia Tengah. Ukraina, Belarus, dan Moldova merupakan 3 negara transit gas Rusia. Dari ketiga wilayah tersebut, 80 persen pengiriman minyak Rusia ke berbagai negara ditransit melalui Ukraina.

Nadejda Makarova Victor, dalam risetnya berjudul Gazprom: Gas Giant Under Strain (2008), menunjukkan bahwa distribusi energi gas Rusia telah meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebangak 30 persen dan 60 persen pendapatan ekspor. Besarnya pengaruh gas alam terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Rusia menunjukkan pentingnya Ukraina sebagai wilayah penyalur energi gas Rusia. Maka jika Ukraina dicaplok UE dengan dukungan NATO, akan sangat merugikan Rusia.

Sebagai wilayah crush zone, sesungguhnya Ukraina dapat diuntungan dari segala aspek. Namun perebutan pengaruh atas ekspansi NATO dan kepentingan ekonomi dan geopolitik Rusia di kawasan tersebut telah merugikan warga sipil Ukraina.

"Yang paling dirugikan dari konflik ini adalah rakyat Ukraina kebanyakan. Berdasarkan analisis inteligen Barat dan Non Barat, ada kemungkinan serangan selanjutnya bersifat non militer, karena serangan pertama dapat resistensi dari publik," ungkap Erawan.

3. Separatisme Krimea memperkeruh konflik Rusia-Ukraina

Memahami Konflik Ukraina-Rusia dari Perspektif Ekonomi PolitikAksi damai warga Ukraina di Bali. (IDN Times/Ayu Afria)

Indriana Kartini, dalam Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi bagi Ukraina (2014), menjelaskan bahwa negara Ukraina sejak 1920 telah bergabung dengan federasi Rusia. Pada tahun 1954, kemudian menjadi negara di bawah kekuasaan USSR yang bernama Republik Sosialis Soviet Ukraina. Ukraina mendeklarasikan negaranya secara independen pada tahun 1991. Etnis Rusia mencapai 64 persen dari 2,4 juta populasi penduduk Krimea, sedangkan etnis Ukraina hanya 23 persen dari total populasi.

Selain karena ada unsur identitas dan kesejarahan, Krimea merupakan kawasan vital bagi Rusia. Mengapa Rusia berusaha menganeksasi Krimea dan apa alasan Ukraina tetap mempertahankan Krimea?

Krimea adalah wilayah kunci bagi negara big power untuk menguasai maritim, lantaran lokasinya yang cukup strategis karena memisahkan Laut Hitam dan Laut Azov. Krimea yang berada di sebelah selatan Ukraina, merupakan Armada Laut Hitam Rusia yang bertenaga nuklir. Di sisi lain, Krimea adalah satu-satunya akses Angkatan Laut Rusia bisa melakukan ekspan ke Laut Mediterania melalui selat Borphorus Laut Hitam.

Jeffrey Mankoff, melalui Russia’s Latest Land Grab: How Putin on Crimea and Lost Ukraine (2014), menyatakan Rusia mencaplok Krimea dari Ukraina yang menyebabkan krisis di Eropa. Moscow juga menciptakan frozen conflict dengan mendukung separatisme di empat wilayah Euroasia, termasuk Transnitria. Dukungan independensi negara bagian atas wilayahnya dari Rusia menjadi motif Putin membangun new power di Eurasia melawan ekspansi Barat. Taktik yang sama juga digunakan Rusia dalam menganeksasi Krimea untuk kepentingan strategisnya.

Erawan menilai bahwa residu kekuasaan kekaisaran Uni Soviet menghantarkan Putin agar tetap mempertahankan pengaruh Rusia khususnya di wilayah Baltik.

"Vladimir Putin memiliki imajinasi power untuk menunjukkan bahwa NATO tidak bisa seenaknya lagi masuk ke wilayah Timur," ujar Erawan.

Sementara itu, Frassminggi Kamasa, pada Krisis Ukraina dan Dampaknya terhadap Tatanan Politik Global dan Regional (2014), memaparkan bahwa Rusia bersama negara-negara yang terasosiasi dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) berusaha melawan rezim petro dollar NATO. Maka secara otomatis, Rusia adalah ancaman strategis bagi NATO.

Rezim Ukraina yang anti Rusia harus tetap dipertahankan oleh NATO agar kekuatan militer Rusia di Krimea dapat dibendung. Namun pasca Krimea dan Kota Sevastopol memutuskan menyatu dalam Federasi Rusia, masih dalam situasi konflik dan perebutan,  tentunya disambut baik oleh Putin. Pada 16 Maret 2014, warga Krimea melakukan referendum yang hasilnya 96 persen memutuskan bergabung dengan Rusia. Walaupun Ukraina menegasikan bahwa penyatuan tersebut berstatus ilegal.

4. Keterlibatan NATO dan Rusia dalam Revolusi Oren rakyat Ukraina

Memahami Konflik Ukraina-Rusia dari Perspektif Ekonomi PolitikAksi damai warga Ukraina di Bali. (IDN Times/Ayu Afria)

Revolusi Oren gelombang I rakyat Ukraina yang berlangsung pada tahun 2004 disebabkan oleh adanya indikasi kecurangan dalam Pemilu Presiden November 2004. Tekanan publik mengakibatkan diulangnya Pemilu yang kedua kalinya dan dimenangkan oleh Viktor Yuschenko. Rakyat Ukraina sangat mendukung Yuschenko yang anti Rusia dan pro Barat.

Pada tahun 2010, Viktor Yanukovych kemudian berhasil menduduki kursi presiden Ukraina. Dalam tulisan Muhammad Fadly, Kebijakan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych Menolak Menandatangani EU - Ukraine Association Agreement dengan Uni Eropa Tahun 2013 (2015), menjelaskan bahwa pada tahun 2013, Yanukovych membatalkan penandatanganan. Revolusi Oren gelombang II rakyat Ukraina pun terjadi pada 2014.

Gerakan revolusioner ini dianulir oleh gagalnya Rezim Yanukovych dalam kerjasama dengan UE. Presiden Yanukovych yang dekat dengan rezim Putin menolak menandatangani perjanjian Association Agreement antara Ukraina-Uni Eropa. Pertimbangannya adalah Rusia memberikan diskon harga gas dari 400 Dollar AS menjadi 286,5 Dollar AS per kubik, serta bantuan dana 495 miliar Dollar AS untuk membeli obligasi Ukraina. Keputusan pembatalan tersebut mengakibatkan kerusuhan massal di Ukraina.

Di sisi lain, untuk membendung pengaruh Rusia atas rezim Yanukovych, NATO menganulir adanya kudeta untuk dilakukan transisi pemimpin Ukraina yang pro Barat. Tulisan William Engdahl, Global Research, Ukraine Protests Carefully Orchestrated: The Role of CANVAS, US-Financed Color Revolution Training Group, mengungkap keterlibatan Center for Applied Non-violent Action and Strategies (CANVAS), organisasi yang diciptakan untuk membina oposisi di berbagai negara dalam memicu krisis politik di Ukraina.

CANVAS disebut mendapat pendanaan dari Freedom House, International Republican Institute, Institute for Open Society (George Soros), USAID, dan American Institute for Peace. CANVAS terlibat dalam mengobarkan revolusi berwarna untuk menggulingkan Slobodan Milosevic di Yugoslavia. CANVAS juga bekerjasama dengan oposisi Venezuela untuk menggulingkan Chavez.

5. Mediasi yang tepat dalam mendamaikan konflik Ukraina dan Rusia adalah menggunakan pendekatan kemanusiaan dan etnosentrisme

Memahami Konflik Ukraina-Rusia dari Perspektif Ekonomi PolitikAksi damai warga Ukraina di Bali. (IDN Times/Ayu Afria)

Melansir New York Times (1 Maret 2022), disebutkan bahwa Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyambut hangat pengajuan penggabungan Ukraina ke Uni Eropa, yang diajukan oleh Presiden Zelensky pada 28 Februari 2022. Namun pengajuan unifikasi Ukraina ke UE akan memerlukan waktu yang cukup lama mengingat perlunya persetujuan dari ke 27 negara anggota UE.

Erawan mengungkapkan bahwa akan ada agresi militer yang meluas oleh Putin di Ukraina pasca resistensi Zelensky ke Rusia. Tetapi, agresi tersebut tak akan menimbulkan Perang Dunia ke 3. Mengapa? Karena Amerika tak menampakkan adanya perang senjata dengan Rusia. Di sisi lain, politik neoliberal ala Barat sangat memprioritaskan investasi dan kerja sama sehingga kecil kemungkinan mengorbankan kesejahteraan masyarakat untuk perang.

"Pasti ada agresi militer. Tetapi kalau Perang Dunia ke 3 tidak. Karena Amerika dari awal bilang tidak ikut-ikut. Ketika NATO pun membantu, bukan pasukan NATO yang datang, karena risiko NATO terlibat perang dengan Rusia sangat tinggi. Sama dengan Amerika-Cina, seberapapun buruknya interaksi mereka, tidak akan mungkin mengorbankan kesejahteraan demi geopolitik," tutur Erawan.

Invasi militer Rusia ke Ukraina menyebabkan kerugian sipil. Menurut Erawan, mediasi yang tepat dalam mendamaikan konflik Ukraina dan Rusia adalah menggunakan pendekatan kemanusiaan dan etnosentrisme. Mengedepankan nyawa manusia di atas kepentingan geopolitik dan ekonomi.

"PBB perlu menghitung dampak dari konflik ini. Secara jangka pendek, dapat dilakukan gencatan senjata, pengembalian pengungsi, penyelesaian persoalan yang ada. Stop invasi!" tegas Erawan.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya