Jangan Menambah Beban, Beri Dukungan untuk Keluarga Korban Bunuh Diri 

Pihak keluarga pasti merasakan kehilangan yang luar biasa

Penulis: Ufiya Amirah

Kasus bunuh diri menjadi isu yang tak berkesudahan, khususnya di Bali. Tak terbatas umur, usia anak-anak, remaja, maupun orang tua, semua rentan melakukan bunuh diri. 

Ketika peristiwa itu terjadi, tak jarang lingkungan sekitar malah memberikan beban berlapis kepada keluarga korban bunuh diri. Tak terkecuali dengan adanya berbagai pemberitaan di media. Padahal keluarga masih sangat berduka karena ditinggalkan oleh orang yang dicintai.

Agar tak terjadi keterulangan peristiwa bunuh diri dalam suatu keluarga, memberi dukungan kepada keluarga korban bunuh diri sangatlah penting. Berikut penjelasan dari Psikiater di Klinik Utama Sudirman Medical Center (SMC) Denpasar, dokter kesehatan jiwa, dr I Gusti Rai Wiguna SpKJ, cara memberi dukungan kepada keluarga korban bunuh diri. 

Baca Juga: Bali Bersama Bisa Luncurkan LISA Layanan 24 Jam Pencegahan Bunuh Diri 

1. Pasca ditinggalkan, keluarga mengalami duka mendalam, jangan dihakimi

Jangan Menambah Beban, Beri Dukungan untuk Keluarga Korban Bunuh Diri pexels.com/@rodnae-prod

Tak jarang lingkungan sekitar menghakimi korban yang meninggal karena bunuh diri dan keluarganya dicela oleh masyarakat karena tak mampu mencegah korban untuk tidak melakukan bunuh diri. Padahal pihak keluarga juga dalam keadaan shock, tertekan, merasa bersalah atas peristiwa bunuh diri itu.

Korban yang meninggal dalam keadaan tak wajar itu mengakibatkan adanya rasa frustasi dari keluarga. Apabila penghakiman terus-menerus dilakukan oleh lingkungan sekitar, akan ada kemungkinan kesedihan keluarga berlarut-larut dan berindikasi pada keterulangan bunuh diri yang sama.

"Tentunya keluarga terdampak atas kehilangan tersebut. Duka cita, shock, rasa bersalah, sehingga ada tekanan ke mereka," kata dr Rai, Rabu (23/02/2022).

2. Fokus pada duka keluarga, bukan terobsesi ingin tahu tentang kronologi kejadian dan identitas korban

Jangan Menambah Beban, Beri Dukungan untuk Keluarga Korban Bunuh Diri Foto hanya ilustrasi. (pixabay.com/StockSnap)

Pemberitaan di media akan selamanya meninggalkan jejak, terutama jejak digital. Apabila pemberitaan korban bunuh diri menjelaskan secara rinci terkait kronologi, identitas, gejala sebelum kematian, dokumentasi korban ketika bunuh diri, maka kemungkinan besar suatu saat, generasi penerus keluarga akan membaca dan mengetahui perilaku bunuh diri tersebut. Tentunya akan ada beban mental yang tak berkesudahan bagi keluarga korban.

Menurut dr Rai, seharusnya pemberitaan media menampilkan kedukaan keluarga korban, bukan sebaliknya fokus pada kronologi kasus dan identitas korban.

3. Hindari pembicaraan kasus bunuh diri yang mengakibatkan suicidal obsession

Jangan Menambah Beban, Beri Dukungan untuk Keluarga Korban Bunuh Diri Foto hanya ilustrasi. (unsplash.com/Eric Ward)

Ketika publik berupaya menggali informasi dan membicarakan terkait latar belakang serta penyebab korban bunuh diri, maka akan ada kemungkinan keterulangan bunuh diri oleh orang lain yang mengalami gejala yang sama.

Keputusan bunuh diri dipandang cukup solutif oleh orang yang mengalami gejala depresi yang sama, sehingga akan terjadi suicidal obsession (kecenderungan bunuh diri)  di kalangan masyarakat, tak terkecuali keluarga korban bunuh diri.

"Di Jepang, pemberitaan media hanya mencakup pemberitahuan peristiwa bunuh diri dengan menampilkan kesedihan keluarga. Media di sana tidak menginformasikan modus dan motif korban untuk bunuh diri. Bagaimana gejala sakit mental korban sebelum bunuh diri. Karena jika dibaca oleh pengidap yang sama, rentan ada keterulangan modus bunuh diri yang sama pula", tutur dr Rai.

4. Bangun komunikasi produktif dengan keluarga korban bunuh diri

Jangan Menambah Beban, Beri Dukungan untuk Keluarga Korban Bunuh Diri pixabay.com/StockSnap

Membicarakan dosa bunuh diri dalam pandangan agama, karma bunuh diri bagi keluarga yang ditinggalkan, dan mengatakan kepada keluarga korban bahwa bunuh diri adalah perilaku yang tak terampuni, merupakan komunikasi non produktif.

Bangunlah komunikasi yang produktif dengan keluarga korban. Bangkitkan semangat keluarga dari duka setelah kehilangan, hindari perilaku dan pembicaraan yang menyinggung serta melukai perasaan keluarga korban.

"Saya menyakini bahwa agama dan budaya dapat memberikan dukungan moril bagi keluarga yang ditinggalkan. Di dalam Hindu, ada ritual penebusan kesalahan, Tuhan Maha Pemaaf, dan tindakan rehabilitasi lainnya untuk support keluarga korban bunuh diri," kata dr Rai.  

5. Lakukan intervensi awal apabila menemui gejala perilaku untuk bunuh diri

Jangan Menambah Beban, Beri Dukungan untuk Keluarga Korban Bunuh Diri Foto hanya ilustrasi. (pexels.com/@rodnae-prod)

Apabila ada anggota keluarga yang menunjukkan perilaku yang tak wajar pasca ditinggalkan oleh korban, maka segera konsultasikan kepada psikolog/psikiater untuk dilakukan penanganan pertama.

Jika memungkinkan, lakukanlah konseling keluarga untuk saling mendengarkan, berbagi, dan menasihati tentang rasa bersalah pada korban. Coba lakukan resolusi ingatan pasca kematian korban, membicarakan kematian, dan hal-hal lainnya yang bersifat healing

"Pencegahan bunuh diri adalah tugas kita semua, bukan cuma psikolog atau psikiater. Jika ditemukan perubahan sikap, komunikasi, dan gejala awal perilaku bunuh diri, segera lakukan intervensi awal dengan konseling ke psikolog atau psikiater," jelas dr Rai.

6. Hubungi layanan pencegahan bunuh diri dan kesehatan mental untuk mendapatkan bantuan

Jangan Menambah Beban, Beri Dukungan untuk Keluarga Korban Bunuh Diri LISA Helpline. (Dok.IDN Times/istimewa)

Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.

Saat ini, tidak ada layanan hotline atau sambungan telepon khusus untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia. Kementerian Kesehatan Indonesia pernah meluncurkan hotline pencegahan bunuh diri pada 2010. Namun, hotline itu ditutup pada 2014 karena rendahnya jumlah penelepon dari tahun ke tahun, serta minimnya penelepon yang benar-benar melakukan konsultasi kesehatan jiwa.

Walau begitu, Kemenkes menyarankan warga yang membutuhkan bantuan terkait masalah kejiwaan untuk langsung menghubungi profesional kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat.

Kementerian Kesehatan RI juga telah menyiagakan lima RS Jiwa rujukan yang telah dilengkapi dengan layanan telepon konseling kesehatan jiwa:

* RSJ Amino Gondohutomo Semarang(024) 6722565
* RSJ Marzoeki Mahdi Bogor(0251) 8324024, 8324025
* RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta(021) 5682841
* RSJ Prof Dr Soerojo Magelang(0293) 363601
* RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang(0341) 423444

* Layanan pencegahan bunuh diri dan kesehatan mental di Bali: 0811 3855 472 yang dapat dihubungi selama 24 jam

* Selain itu, terdapat pula beberapa komunitas di Indonesia yang secara swadaya menyediakan layanan konseling sebaya dan support group online yang dapat menjadi alternatif bantuan pencegahan bunuh diri dan memperoleh jejaring komunitas yang dapat membantu untuk gangguan kejiwaan tertentu.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya