Wabah di Peternakan Babi Meluas, Peternak di Bali Mengaku Sudah Apatis

Sampai saat ini vaksin belum ditemukan

Denpasar, IDN Times – Setelah sekian lama tidak terdengar nasib peternakan babi di Bali akibat kalah pamor dengan wabah COVID-19, rupanya kasus kematian babi di Bali dengan dugaan wabah African Swine Fever (ASF) kian meluas. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali, Ketut Hari Suyasa saat dihubungi IDN Times melalui sambungan telepon belum lama ini.

Diketahui bahwa pada pertengahan Desember 2019 lalu, peternak Babi di Bali sudah ketar-ketir akan wabah ASF. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Ketahan Pangan Privinsi Bali, tercatat ada 1.519 ekor kematian hingga Februari 2020.

Saat itu Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Ida Bagus Wisnuardana menyampaikan bahwa kasus kematian babi di Bali ini terjadi massal jumlahnya dan pertama kali terjadi di Pesanggaran, Denpasar, kemudian Badung pada pertengahan Desember 2019 lalu.

1. Populasi babi di Bali semakin langka

Wabah di Peternakan Babi Meluas, Peternak di Bali Mengaku Sudah ApatisKondisi peternakan babi di Klungkung, Bali belum lama ini. Dalam 3 bulan terakhir, sekitar 400 ekor babi mati dan beberapa di antaranya menunjukkan gejala klinis ASF. (IDN Times/Wayan Antara)

Menurut keterangan dari Ketut Hari Suyasa, peternak babi di Bali saat ini sudah enggan melaporkan angka kematian yang terjadi dan lebih memilih bersikap apatis. Saat dihubungi IDN Times, ia mengatakan bahwa babi memang sudah langka di Bali.

“Kalau wabah itu masih meluas. Jadi bukan condong diam, tapi condong bergerak. Jadi kemarin yang tidak terdampak mulai terdampak. Itu fakta, fakta lapangan. Dan kalaupun tidak ada laporan kematian, memang karena harga yang sekarang condong baik,” ungkapnya kemarin, Minggu (14/6) .

Kondisi ini diakuinya berbeda dengan 3 hingga 4 bulan lalu yang dianggapnya begitu tragis. Kondisi peternak saat ini cenderung kelihatan lebih tenang semua karena ada penyerapan produksi yang juga sudah semakin membaik, di mana harga jual hidup sudah di atas harga pokok produksi.

“Ya syukur kami ucapkan. Kami juga kemarin ada pengiriman babi ke Jawa, kemarin dibantu sama Dinas Pertanian. Termasuk karantina Balai Veteriner. Regulasinya. Cukup responsif membantu kami. Dan jujur kami berterima kasih untuk itu,” ungkapnya.

2. Peternak babi memerlukan panduan beternak di masa pandemik

Wabah di Peternakan Babi Meluas, Peternak di Bali Mengaku Sudah ApatisKondisi peternakan babi di Klungkung, Bali belum lama ini. Dalam 3 bulan terakhir, sekitar 400 ekor babi mati dan beberapa di antaranya menunjukkan gejala klinis ASF. (IDN Times/Wayan Antara)

GUPBI Bali sempat mencoba mengumpulkan dana untuk membantu rekan peternak di lapangan. Saat itu uang yang terkumpul hanya Rp80 juta atau setara 100 ekor kucit (bibit babi).

Jumlah tersebut dinilai tidak sebanding dengan peternak babi yang terdampak sehingga apabila bantuan diberikan dalam bentuk bibit babi, maka dianggap tidak lebih seperti menabur garam di lautan. “Gak ada artinya,” ungkapnya.

Pihaknya sempat menargetkan pengadaan 2.000 kucit pada tahun 2021 bagi seluruh peternak babi di Bali. Namun rencana ini dianggap semakin sulit karena metode beternak di tengah pandemik pun tak kunjung ditemukan.

“Ini yang jujur saja membuat saya bingung, jadi gak tahu mesti sama siapa berbicara. Karena kan ada kerinduan di peternak-peternak yang sudah terdampak empat bulan yang lalu atau lima bulan yang lalu untuk memulai lagi. Ada kerinduan mereka untuk memulai tetapi upaya itu sepertinya sangat sulit. Terus tidak ada teori yang bisa kami manfaatkan di saat beternak dalam wabah ini,” jelasnya.

Pihaknya mengaku sudah sejak sebulan yang lalu mencari metode atau model yang bisa dimanfaatkan, namun sampai hari ini belum ketemu. “Dari para peternak terdampak terdahulu, sebagian memang berusaha untuk beternak kembali, hanya saja gagal lagi, gagal lagi. Ini kan sedih ya kami. Selaku ketua saya juga bingung ini mau belajar ke mana,” ungkapnya.

3. Kasus babi ditenggarai justru menurun sekitar 70 persen

Wabah di Peternakan Babi Meluas, Peternak di Bali Mengaku Sudah ApatisKepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, drh. IKG Nata Kesuma. (IDN Times/Ayu Afria)

Ditemui di kantornya pada Senin (15/6), Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, drh. IKG Nata Kesuma meyampaikan bahwa kasus suspek ASF di Bali ini mulai pada Desember 2019 dan puncaknya pada Februari 2020 dengan angka kematian mencapai 1.519 ekor.

“Selama ini kan vaksin belum ada sehingga hanya mengandalkan edukasi kepada peternak dengan melakukan biosekuriti dan desinfektan. Dan membatasi lalu lintas perdagangan ternak babi. Nah, hanya itu yang bisa kami lakukan selama kasus itu sehingga langsung maupun tidak langsung dari bulan Maret, kasus babi menurun sekitar 70 persen,” ungkapnya.

Dalam situasi pandemik ini dengan adanya pembatasan aktivitas masyarakat, baik lalu lintas dan orang berkerumun ditenggarai menjadi salah satu kontribusi penurunan kasus suspek ASF di Bali. Berikut ini catatan angka kematian babi di Bali akibat suspek ASF menurut data Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner:

  • Desember 2019 sebanyak 65 ekor
  • Januari 2020 sebanyak 1.324 ekor
  • Februari 2020 sebanyak 1.519 ekor
  • Maret 2020 sebanyak 531 ekor
  • April 2020 sebanyak 64 ekor
  • Mei 2020 sebanyak 15 ekor
  • Hingga 14 Juni 2020 sebanyak 2 ekor

Total kematian sejak Desember 2019 sampai 14 Juni 2020 sebanyak 3.520 ekor. Dengan daerah tertinggi angka mortalitasnya yakni Kabupaten Badung 1140 ekor, Kabupaten Tabanan 857 ekor, dan Kabupaten Gianyar 404 ekor.

4. Sampai saat ini vaksin belum ditemukan

Wabah di Peternakan Babi Meluas, Peternak di Bali Mengaku Sudah Apatisunsplash.com/dimhou

Sementara itu Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar, I Wayan Masa Tenaya dikonfirmasi terkait kondisi tersebut mengungkapkan bahwa pihaknya belum menemukan vaksin wabah ini. Begitu pula dengan negara-negara lainnya.

“Sampai saat ini belum Tiyang (saya) tahu itu. Sepertinya masih itu saja (wabah ASF). Belum (obat dan vaksin). Luar negeri aja belum bisa. Kami baru berbuat, belum selesai,” ungkapnya.

Oleh karena itu kasus kematian babi di Provinsi Bali diakui belum ada dugaan penyebab penyakit lainnya selain wabah tersebut. Pihaknya mengaku hanya membantu peternak untuk menjual babinya ke Jawa sehingga harga babi bisa normal seperti saat ini.

“Kami membantu peternak di Bali menjual babi potongnya ke Jawa sehingga harga babi naik sekarang Rp28 ribu (bobot hidup per kilogram) dari awalnya sekitar Rp10 ribu. Artinya kan membantu masyarakat. Itulah kehadiran kami,” tandasnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya