Soal LRT di Bali, Pengamat Minta Pemerintah Pikirkan Matang

Banyak gak sih masyarakat pakai transportasi publik di Bali?

Denpasar, IDN Times – Rencana pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Bali yang digembar-gemborkan akan dibangun pada awal tahun 2024 ini perlu dikaji ulang. Hal ini disampaikan oleh Pengamat Tata Ruang dan Perkotaan dari Universitas Warmadewa (Unwar), Prof Dr Ir Putu Rumawan Salain.

Pihaknya mendukung adanya ikon pariwisata di Bali, namun dampaknya juga harus dipikirkan. Apalagi melihat kondisi Bali saat ini, tentu rencana pemerintah untuk groundbreaking LRT pada tahun 2024 ini dianggapnya terburu-buru. Seberapa perlu LRT ini bagi Bali? Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Wacana LRT Dibangun di Bali, Pemprov: Masih Studi Kelayakan

1. Putu Rumawan: kondisi transportasi publik di Bali saat ini sepi peminat

Soal LRT di Bali, Pengamat Minta Pemerintah Pikirkan MatangMasyarakat di Bali berkendaara di jalan raya (IDN Times/Ayu Afria)

Rumawan mencermati kondisi Bali saat ini diwarnai oleh kemacetan, terutama di jalur-jalur yang berkaitan dengan pariwisata. Kemudian faktor kondisi panjang dan lebar jalannya tidak cukup memadai, namun memiliki banyak simpangan. Serta kaitannya juga dengan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan kepadatan kendaraan di beberapa lokasi.

The big problem-nya di transportasi. Belum lagi kalau kita kaitkan dengan puncak-puncak hari tertentu yang ada kaitannya dengan hari raya ya, khususnya di Bali yang berkaitan dengan adat dan Agama Hindu. Termasuk di dalamnya perhelatan yang lain dalam berbagai acara,” ungkapnya.

Dengan kondisi permasalahan ini, Bali seolah-olah membutuhkan transportasi publik. Misalnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar yang menggelontorkan banyak uang untuk membeli mobil pengumpan. Namun pada kenyataannya tidak banyak pengguna transportasi publik, dan dianggap tidak efektif. Ia menilai, penyebabnya karena tidak ada data terkait waktu pulang kerja masyarakat, dan sentra-sentra yang mendapatkan layanan transportasi publik.

“Sering kita lihat, bus itu kosong. Satu, dua orang. Bahkan kalau yang ke kampus bukit tidak banyak (Universitas Udayana), (padahal) jumlah mahasiswanya tinggi tapi tidak terlalu banyak ada peminat di era sekarang,” terangnya.

Dari fakta tersebut, kondisi transportasi publik (bus) di Bali saat ini, secara garis besar tidak banyak mendapatkan penumpang, tetapi ikut membuat kemacetan di jalan. Hal ini karena body kendaraan lebar dan panjang memenuhi jalan.

“Jalan (bus beroperasi), tapi kemacetan juga tidak berkurang,” katanya.

2. Soal rencana perkeretaapian sudah dibuatkan aturan

Soal LRT di Bali, Pengamat Minta Pemerintah Pikirkan MatangPengamat Tata Ruang dan Perkotaan dari Universitas Warmadewa (Unwar), Prof Dr Ir Putu Rumawan Salain. (Dok.IDN Times/istimewa)

Untuk mendukung pembangunan pariwisata,Bali tentu saja membutuhkan transportasi publik yang lebih canggih, dan cepat. Sehingga LRT dipilih sebagai solusinya. Namun masalah cocok atau tidaknya penerapan LRT ini di Bali, perlu dilakukan studi kelayakan atau feasibility study (FS).

“Ada kajian yang mendalam tentang kebutuhan transport,” kata Rumawan.

Perkeretaapian sebenarnya juga telah masuk ke dalam Peraturan Daerah Tata Ruang Bali. Aturan itu menyebutkan, bahwa kereta api dibangun di permukaan tanah dari satu titik kota ke titik kota lainnya di kabupaten/kota se-Provinsi Bali. Kemudian berkembang menjadi MRT (Mass Rapid Transit), dan LRT. Rumawan juga mengamati pemerintah daerah (pemda) telah melakukan seminar, dan ia sendiri juga termasuk narasumbernya.

“Sama dengan keinginan membangun lapangan udara di Bali utara. Itu sudah masuk di dalam Perda. Kereta api pun sudah masuk di dalam Perda Nomor 2 Tahun 2023,” terangnya.

3. Dampak suara dan getaran juga harus dipikirkan

Soal LRT di Bali, Pengamat Minta Pemerintah Pikirkan MatangIlustrasi LRT Jakarta (IDN Times/Gregorius Aryodamar P)

Sementara itu, wacana underground LRT di Bal ini memunculkan pertanyaan: apakah pemerintah telah mendapatkan jalur di bawah tanah yang bebas hambatan? Menurut Rumawan, kondisi ini masih belum diketahui.

Faktanya, banyak bangunan hotel di Bali yang memiliki bangunan di bawah tanah (underground) beserta pondasinya dengan kedalaman yang belum diketahui, serta daerah mana saja yang harus dilewati ini tentu membutuhkan tata ruang.

“Kalau di bawah tanah itu, pertanyaan saya apakah mereka dengan membawa ke bawah tanah itu lebih mudah mendapatkan jalurnya? Artinya sirkulasi jalannya, katakanlah begitu,” sebut Rumawan.

Ia menduga kemungkinan besar rencana LRT di bawah tanah ini berkaitan dengan harga tanah yang mahal di Bali, dan sulitnya mendapatkan tanah bebas di permukaan. Permasalahan lain yang akan muncul adalah hak izin pemilik tanah ketika di bawahnya akan dibangun terowongan. Sementara keberadaan jalur kereta api ini tidak terlepas dari gangguan suara dan getaran.

“Kalau LRT mungkin tidak terlalu bersuara ya kalau menggunakan tiga rel yang dipakai. Rel yang ketiga itu adalah listrik. Jadi mungkin sound-nya lebih inilah (diredam). Kalau getarannya saya tidak tahu,” tekannya.

4. Rencana LRT underground di Bali, pemerintah harus berpikir serius

Soal LRT di Bali, Pengamat Minta Pemerintah Pikirkan MatangAktivitas penumpang di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. (dok Angkasa Pura I)

Sistem perkeretaapian di bawah tanah ini juga harus memikirkan kedalaman. Terlebih di Bali, maksimum pemanfaatan ruang di dalam tanah adalah sedalam 30 meter (tidak terlalu dalam), atau yang ruang tanah sedalam 60 meter. Ia lalu mencontohkan menggunakan pemanfaatan ruang tanah yang dangkal 30 meter, dengan konsep pembangunan investasi. Maka, nantinya akan berlaku konsep di mana mereka juga menginginkan adanya nilai dari investasi tersebut atau pengembalian modal.

Begitu pula sistem tersebut sangat dimungkinkan digunakan untuk Transit Oriented Development (TOD), yang merupakan cara baru untuk mengembangkan perkotaan di simpul-simpul stasiun. Kalau perkotaan-perkotaan baru ini terbangun, maka kemungkinan juga akan dikembangkan di bawah tanah. Kondisi ini, menurutnya perlu dipikirkan matang oleh pemerintah. Karena rencana ground breaking LRT di Bali tahun 2024 dianggap terburu-buru.

“Saya studi literatur itu, kemungkinan orang membuat stasiun di bawah tanah bisa sampai ratusan meter kalau di kereta api. Misalkan di daerah Ukraina, dan difungsikan sebagai bungker, tempat perlindungan. Di Inggris. Di Jakarta menggunakan kedalaman 20 meter (untuk kereta api di bawah tanah,” jelasnya.

Untuk itu menjalankan rencana tersebut, pemerintah seharusnya turut melibatkan masyarakat. Karena masyarakat juga yang akan terkena kehilangan pekerjaan akibat keberadaan kebijakan baru tersebut.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya