Siswi Magang Jadi Korban Kejahatan Seksual Chef di Denpasar

Pelaku memanfaatkan kuasanya untuk memperdaya korban

Denpasar, IDN Times – Seorang siswi menjadi korban kejahatan seksual yang dilakukan oleh seorang chef hotel bintang 3 di Kota Denpasar berinisial S (54). Kuasa Hukum korban, Alit Wardika, mengatakan korban tengah menjalani tugas magang dari sekolahnya selama enam bulan sejak 12 Juni hingga 12 Desember 2024. Selama magang itu, korban tiga kali mengalami pelecehan seksual secara fisik, dan dua kali diperkosa oleh pelaku di kamar mandi.

“Adik ini (korban) memang mengambil jurusan kuliner. Jadi training-nya di bagian kitchen. Baru beberapa hari sudah mengalami pelecehan seksual dari pelaku seorang chef yang semestinya mendidik dia,” terangnya.

Trigger warning! Artikel ini memuat kronologi yang dapat mengganggu kenyamanan, reaksi mental dan fisik. Mohon kebijaksanaan pembaca.

Baca Juga: Chef Pelaku Kejahatan Seksual Anak Magang Diperiksa

1. Pelaku memanfaatkan kuasa yang dimilikinya (abuse of power), karena ia bertugas untuk memberikan nilai kepada anak magang

Siswi Magang Jadi Korban Kejahatan Seksual Chef di Denpasarfoto hanya ilustrasi (Pexels.com/Viktoria Slowikowska)

Alit Wardika mengatakan, pelaku memiliki kewenangan untuk memberikan nilai kepada anak-anak yang magang di hotel tersebut. Pelaku melakukan kejahatan seksual setiap kali ada event atau kegiatan di hotel. Berawal dari alasan membersihkan apron, pelaku kemudian memeluk korban dari belakang di lorong hotel yang mengarah ke kitchen sambil melakukan kejahatan seksual fisik pada dada korban. Korban sempat melawan saat kejadian.

“Ada event, si chef ini seolah ingin membersihkan apron, celemek korban menggunakan tangannya di bagian dada adik ini. Agak keras ada tekanan,” ungkapnya.

2. Korban dua kali diperkosa

Siswi Magang Jadi Korban Kejahatan Seksual Chef di DenpasarIlustrasi. (IDN Times/Aditya Pratama)

Pada 8 Juli 2024, korban sedang berada di kitchen sendirian. Pelaku tiba-tiba datang memeluknya dari belakang, dan melakukan kejahatan seksual. Korban dibawa ke kamar mandi dan diperkosa menyetubuhinya. Kejahatan ini kembali terjadi pada 12 Juli 2024.

“Adik korban ketakutan juga. Ya ngikutin aja (ke kamar mandi),” katanya.

3. Korban sedang pemulihan trauma, dan tidak mau bicara

Siswi Magang Jadi Korban Kejahatan Seksual Chef di Denpasarfoto hanya ilustrasi (Pexel.com/KATRIN BOLOVTSOVA)

Saat ini korban sedang dalam pemulihan trauma, karena sempat tidak mau bicara. Kasus ini terungkap saat kakak korban mengambil handphone adiknya dengan maksud hendak membelikan kuota internet. Dari sanalah kakak menemukan percakapan korban dengan temannya terkait peristiwa ini. Kemudian kakak korban menanyakan pesan tersebut dan melapor ke polisi.

“Kami sudah meminta bantuan UPTD PPA Denpasar untuk konseling. Untuk menghilangkan traumanya. Karena anak ini mengalami trauma. Setelah kejadian itu dia berdiam diri, kebingungan, kayak demam,” jelasnya.

4. Stop menormalisasi korban yang menikmati kejahatan seksual karena terjadi secara berulang

Siswi Magang Jadi Korban Kejahatan Seksual Chef di Denpasarfoto hanya ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Narasi di atas selalu dilontarkan oleh masyarakat, ketika ada kasus kejahatan seksual. Menurut Psikiater di Klinik Utama Sudirman Medical Center (SMC) Denpasar, dr I Gusti Rai Putra Wiguna, dalam sisi kesehatan jiwa, seseorang yang mengalami bahaya sedang memproses tiga macam bentuk di pusat otaknya. Yaitu fight (melawan), flight (menghindar), dan freeze (terpaku). Korban yang tidak melawan itu karena mengalami freeze. 

"Jadi kita terhenti, terpaku, membeku itu adalah respon ketika kita mengalami ancaman atau bahaya. Nah, ketika hal yang buruk terjadi, satu respon yang bisa terjadi adalah freeze. Bukan berarti dia menikmati hal itu," kata dr Rai.

Korban menghadapi kejadian yang tidak ia rencanakan atau sadari sebelumnya. Pusat otaknya sedang memproses kejadian itu. Pada saat itulah korban mengalami kerentanan dan menyalahkan diri sendiri.

"Ketika kita kaget, bisa freeze. Setelah itu baru kemudian kita memproses kejadian, 'Oh itu tidak menyenangkan, tidak logik,' dan apakah itu menimbulkan dampak yang lebih ringan? Tidak juga. Justru itu tekanan baru bagi seseorang yang mempertanyakan responnya 'Kenapa waktu itu justru saya tidak bisa melawan!', 'Kenapa saya tidak bisa melakukan hal ini!' Karena ketika muncul bahaya, hanyalah bagian otak kita yang sifatnya seperti refleks yang muncul. Ya tadi fight, flight, dan freeze," lanjutnya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya