Bahan Bakar Made in Bali Diluncurkan, Menuju Zero Waste to Landfill?

Semoga benar-benar bisa terlaksana ya programnya

Denpasar, IDN Times – Menteri Perencanaan Pembangunan (PPN) yang juga Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, meluncurkan bahan bakar Made in Bali, di Denpasar, pada Jumat (8/4/2022). Peluncuran bahan bakar ini sebagai penerapan ekonomi sirkuler dan Bali Hijau.

Program tersebut merupakan satu dari enam strategi besar Transformasi Ekonomi Bali (TEB) melalui Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali yang telah diluncurkan Presiden RI Joko "Jokowi" Widodo pada tanggal 3 Desember 2021 lalu,

Suharso didampingi oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster, meninjau lokasi penggunaan bahan bakar tersebut, yakni di PT Kemasan Ciptatama Sempurna, Jalan Pulau Moyo 100E Denpasar. Industri tersebut telah menerapkan strategi Zero Waste to Landfill, dengan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF).

Baca Juga: Perekonomian Terpuruk, Bali Luncurkan 6 Konsep Ekonomi Kerthi Bali

1. Bali terapkan teknologi RDF sebagai strategi mewujudkan Zero Waste to Landfill

Bahan Bakar Made in Bali Diluncurkan, Menuju Zero Waste to Landfill?Teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) di Bali. (IDN Times/Ayu Afria)

Suharso mengungkapkan bahwa sampah-sampah di Bali bisa menghasilkan energi melalui proses sedemikian rupa hingga menjadi produk briket. Briket tersebut merupakan RDF yang digunakan sebagai bagan bakar. PT Kemasan Ciptatama Sempurna menggunakan teknologi RDF sekitar 6 ton per hari selama 4 bulan.

RDF tersebut dihasilkan oleh Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Sampahku Tanggung Jawabku (TPST Samtaku) Jimbaran, dengan produksi mencapai 20 ton per hari dari kapasitas input sampah sekitar 120 ton per hari. Sebelum mencapai TPST, sampah diolah di Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R).

“Saya kira ini kalau ke depan benar-benar bisa menjadi besar. Bahkan kalau bisa Celukan Bawang yang pakai batu bara, yang energinya masih rendah dibandingkan ini,” jelasnya.

Sejumlah industri di Bali kini menerapkan teknologi RDF sebagai strategi mewujudkan Zero Waste to Landfill. RDF menghasilkan bahan bakar pemanas atau boiler untuk perhotelan, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Celukan Bawang di Buleleng, serta pabrik-pabrik yang memerlukan substitusi atau co-firing batu bara, dan cangkang sawit.

2. Bali memiliki kapasitas produksi briket RDF mencapai 200 ton

Bahan Bakar Made in Bali Diluncurkan, Menuju Zero Waste to Landfill?Teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) di Bali. (IDN Times / Ayu Afria)

Suharso berharap praktik-praktik, baik penerapan ekonomi sirkuler, khususnya pada pengolahan sampah ini dapat direplikasi di tempat-tempat lain. Sampah yang diolah bisa menghasilkan briket. Karenanya TPST didorong adalah tipe Material Recovery Facilities (MRF), yakni semua sampah di-recovery dan dimanfaatkan sehingga diharapkan tidak ada sampah yang tersisa.

Berdasarkan tes laboratorium Indocement dan Sucofindo, nilai kalori sampah hasil RDF dari TPST Samtaku sekitar 4.300 sampai 6.200 kilo kalori per kilogram. Selain untuk RDF, pengolahan TPST di Bali dengan tipe MRF juga didorong untuk menjadi produk material daur ulang, pelet, pupuk kompos, maggot, dan pakan ternak.

“Ke depan, pengolahan sampah di Denpasar direncanakan dapat menghasilkan RDF sebesar 200 ton per hari dan bisa menggantikan energi primer lain yang ada di Bali,” ungkapnya.

Melihat potensi tersebut, kapasitas produksi briket RDF 200 ton disebutnya akan tercapai dengan syarat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang telah direncanakan terbangun dan berfungsi. Potensi briket RDF ini bisa menggantikan sumber energi primer di Bali.

3. Briket RDF bisa menggantikan penggunaan batu bara

Bahan Bakar Made in Bali Diluncurkan, Menuju Zero Waste to Landfill?Aktivitas di PT Kemasan Ciptatama Sempurna, Denpasar. (IDN Times/Ayu Afria)

Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana menutup TPS Suwung dengan mengubah pola lama open dumping atau Free Landfill menjadi pengolahan MRF. Materi olahan sampah tersebut menjadi produk daur ulang plastic high value, kompos, dan RDF.

“Jadi sampah harus kembali menjadi produk,” ungkap Staf Khusus Menteri PPN, Ervan Maksum.

Briket RDF disebut bisa menggantikan penggunaan batu bara. Menurutnya, di pasaran batu bara dengan energi 4.200 kilo kalori dijual dengan harga Rp1.200 per kilogram. Sedangkan Briket RDF tersebut seharga Rp700 hingga Rp900 per kilogramnya.

“Lebih murah tepatnya,” jelasnya.

Residu briket RDF tergantung dari pemantauan emisi milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pihaknya tidak menyarankan briket ini digunakan di pabrik tahu atau industri lainnya yang menggunakan pembakaran sederhana.

“Takutnya tidak lebih dari 600 derajat celcius, maka dioksinnya masih ke luar kan begitu. Minimal seperti boiler yang terstandarisasi, seperti PLTU yang punya sistem pembakaran yang lebih sempurna,” jelasnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya