Pandangan Kriminolog Soal Kasus Bocah Bunuh Pegawai Bank di Denpasar

Kasus bocah 14 tahun ini jadi perhatian publik di Bali

Denpasar, IDN Times – Masyarakat Bali dikejutkan oleh tragedi penganiayaan berat dan sadis yang dilakukan oleh anak di bawah umur berinisial PAHP (14). Ia menganiaya seorang teller bank swasta berinisial NPW (24) di Kota Denpasar, menggunakan pisau dapur hingga korban meregang nyawa.

Pelaku berhasil ditangkap oleh satuan gabungan dari Kepolisian Daerah (Polda) Bali, Kepolisian Resor Kota (Polresta) Denpasar, Kepolisian Resor (Polres) Buleleng, dan Kepolisian Sektor (Polsek) Denpasar Barat di Pantai Penimbangan, Kabupaten Buleleng, pada Kamis (31/12/2020) pukul 00.40 Wita.

Tim ini berkoordinasi, mengingat kasusnya sangat menggemparkan dan pelakunya melarikan diri ke Buleleng. Kini ia ditetapkan sebagai tersangka dan perbuatannya masuk kualifikasi Pembunuhan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Pencurian dengan Pemberatan Pasal 365 ayat 3 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Kriminolog Universitas Udayana (Unud), Dr Gde Made Swardhana SH MH, menyampaikan tanggapannya atas kasus ini ketika dihubungi IDN Times. Berikut penjelasan selengkapnya:

Baca Juga: Belajar dari Kasus Bocah 14 Tahun Bunuh Pegawai Bank di Denpasar

1. Perbuatan tersangka tidak bermaksud untuk melukai atau menganiaya atau membunuhnya sekaligus

Pandangan Kriminolog Soal Kasus Bocah Bunuh Pegawai Bank di DenpasarPelaku pencurian dan pembunuhan pegawai bank pada saat dihadirkan di hadapan media. (Dok.IDN Times/Polresta Denpasar)

Swardhana mengungkapkan, kasus pembunuhan ini cepat tersiar di media sosial (Medsos). Karena korban tinggal sendirian di rumahnya dan meregang nyawa. Walaupun segala upaya sudah dilakukan oleh korban untuk membela diri, tetapi pupus di tangan bocah berusia 14 tahun.

“Tentu perbuatan tersangka ini tidak bermaksud untuk melukai atau menganiaya atau membunuhnya sekaligus. Jika maksud untuk mengambil kendaraan sepeda motor milik korban mudah didapatnya,” ungkapnya, pada Jumat (1/1/2021).

Akan tetapi karena ketahuan dan korban berteriak, maka pelaku terdesak untuk berbuat, yang menurut penilaian Swardhana, tidak ada pilihan lain kecuali 'membungkam' agar memuluskan usahanya untuk mendapatkan motor, dengan cara melukai hingga tewas.

“Jelas motifnya adalah menguasai barang yang diinginkan yakni sepeda motor, dan dengan leluasa motor dibawa ke Buleleng dan akhirnya tertangkap di sana,” tambahnya.

Baca Juga: Fakta-fakta Pelaku Pembunuhan Perempuan Pegawai Bank di Bali  

2. Ancaman hukuman 15 tahun dinilai cukup berat. Apakah setelah keluar dari LP, ia akan lebih baik dari sebelumnya, atau semakin berpengalaman?

Pandangan Kriminolog Soal Kasus Bocah Bunuh Pegawai Bank di DenpasarOlah TKP pembunuhan pegawai Bank di Denpasar (Dok.IDN Times/Polresta Denpasar)

Menurut Swardhana, anak adalah harapan bangsa. Orangtua berharap anaknya baik dan memiliki masa depan sebagai pengganti generasi berikutnya. Namun berbeda dengan sebagian anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental, pendidikan, keutuhan keluarga, ekonomi dan sosial.

“Jelas tampak dari berita tersebut dinyatakan bahwa kondisi anak pelaku memiliki masalah ekonomi. Sehingga untuk mempertahankan hidup dengan cara yang paling nekat, yakni mencuri,” ungkapnya.

Apabila perbuatan tersangka diklasifikasikan dalam ancaman pembunuhan dan penganiayaan berat dengan hukuman maksimal 15 tahun berdasarkan KUHP, maka dinilainya cukup berat.

“Niscaya hukuman ini cukup berat dan tidak terpikirkan, apakah setelah keluar dari LP apakah akan lebih baik dari sebelumnya, atau bertambah pengalaman karena memperoleh pembelajaran dari warga binaan yang lain atas dasar berbagi pengalaman.”

3. Jika ia diancam hukuman pidana di atas tujuh tahun menurut UU Perlindungan Anak, maka upaya diversi tidak bisa dilaksanakan

Pandangan Kriminolog Soal Kasus Bocah Bunuh Pegawai Bank di DenpasarPelaku pencurian dan pembunuhan pegawai bank pada saat dihadirkan di hadapan media. (Dok.IDN Times/Polresta Denpasar)

Apabila ditarik ke Undang-Undang Perlindungan Anak, seorang anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman di bawah tujuh tahun, maka dapat diselesaikan melalui upaya diversi dengan menganut sistem restorative justice.

Karena dalam kasus ini, perbuatan PAHP telah mengakibatkan meninggalnya korban, maka ancamannya telah melebihi tujuh tahun. Sehingga upaya diversi tidak bisa dilaksanakan.

“Anak yang berperilaku sadis ini perlu pendampingan psikologis agar mengetahui kegoncangan jiwanya. Baik sebelum maupun sesudah peristiwa itu terjadi. Faktor ekonomi telah memantik seseorang untuk berperilaku melanggar hukum. Dan tentunya tidak saja pada pada anak-anak yang lain. Karena faktor ekonomi yang berkecukupan, apalagi berkelebihan, juga memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang dan korupsi,” ungkap Swardhana.

Sekadar diketahui, menurut laman Hukum Online, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sesuai Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Baca Juga: Pelaku Pembunuhan Pegawai Bank di Denpasar Ditangkap, Masih 14 Tahun

4. PAHP putus sekolah dan menjadi buruh bangunan

Pandangan Kriminolog Soal Kasus Bocah Bunuh Pegawai Bank di DenpasarPelaku pencurian dan pembunuhan pegawai bank pada saat dihadirkan di hadapan media. (Dok.IDN Times/Polresta Denpasar)

Sebelumnya, PAHP (14) jadi tersangka kasus pencurian yang menghilangkan nyawa seorang pegawai Bank Swasta berinisial NPW (24). PAHP dibekuk di Pantai Penimbangan Singaraja, Kabupaten Buleleng, pada Kamis (31/12/2020) pukul 00.40 Wita. PAHP pernah berurusan dengan Polres Buleleng karena dilaporkan telah mencuri uang sesari di dua pura pada Agustus 2020 lalu.

Menurut keterangan Kapolresta Denpasar, Kombes Pol Jansen Avitus Panjaitan, tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka ada kaitannya dengan faktor ekonomi. Tersangka merupakan anak pertama dari istri pertama ayahnya. Ia tinggal bersama lima orang keluarganya di rumah bedeng berukuran 4x3 meter, di belakang rumah korban. Masing-masing terdiri dari tersangka, ayah kandung, ibu tiri, dan tiga adik. Orangtuanya bekerja sebagai buruh bangunan.

"Satu kamar kecil yang tinggal di sana berenam dia. Orangtua, adik-adiknya. Sehingga kami menyimpulkan ada faktor ekonomi. Putus sekolah, yang bersangkutan ini bersama orangtuanya kos di dekat rumah korban. Jadi diduga pelaku sudah lama mengintai korban tinggal sendirian," terang Jansen, Kamis (31/12/2020) lalu.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya