6 Fakta Tentang Pelecehan Seksual Perempuan dan Anak di Bali

Masyarakat dan media massa ikut berpengaruh lho

Badung, IDN Times – Pengacara sekaligus Penasihat Lembaga Bantuan Hukum Bali Woman Crisis Center (LBH Bali WCC), Ni Nengah Budawati (45), merupakan satu dari perempuan-perempuan penggiat dan pendamping para korban pelecehan seksual di wilayah Bali.

Perempuan kelahiran 11 Desember 1974 ini sebelumnya juga telah mendirikan LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Bali) dan kemudian baru membentuk LBH Bali WCC tahun 2011 lalu, yang alamatnya berada di Jalan Muding Indah VIII Nomor 1 Kerobokan, Kuta Utara.

WCC sendiri didedikasikan untuk perempuan dan anak korban kekerasan. Telah menangani berbagai bentuk dan macam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Catatannya sejak membentuk WCC, pihaknya berhasil mengungkap 50 kasus pelecehan seksual yang dialami perempuan di Bali setiap tahunnya. Angka tersebut disebutnya masih kecil. Karena dugaan kasus yang belum terungkap juga lebih banyak.

Puluhan tahun berkiprah dalam dunia perempuan, Buda sapaan akrabnya, fokus terhadap pendampingan kasus, pembelaan perkara, advokasi kebijakan dan shelter berbasis komunitas terhadap kasus kekerasan perempuan serta anak. Selain itu juga mengembangkan kader-kader pendamping hukum dengan sistem filantropi.

Berbicara kasus pelecehan seksual ini, Buda menyebutkan kerap menangani kasus pelecehan terhadap anak di bawah umur. Dengan berbagai macam konteks tidak hanya murni perkosaan, namun lebih  kepercayaan pada orang pintar (Balian) seperti yang terjadi di Bangli beberapa waktu lalu.

“Jadi kemasannya macam-macam ada konteksnya kakek dengan cucu. Yang kami tangani ya. Kemudian tetangga kakek-kakek dengan anak di bawah umur di Tabanan. Sampai hamil itu. Kemudian yang di Bangli itu kakeknya dengan cucunya. Kemudian yang di Kintamani itu Balian. Balian dengan anak di bawah umur. Banyak versinya. Tapi pasti orang terdekat,” jelasnya.

Mengapa pelecehan dan kekerasan seksual cenderung dilakukan oleh orang-orang dekat?Buda menjelaskan hal tersebut terjadi karena didasari adanya rasa ketergantungan, rasa sungkan, rasa nyaman hingga intimidasi.

“Kalau di bawah umur sekitaran kelas satu, dua, tiga SMP (Sekolah Menengah Pertama) itu. Kalau SD (Sekolah Dasar) agak jarang. Setelah menstruasi pertama itu masa-masa dia. Gitu,” jelasnya.

1. Kasus perkosaan di wilayah pedesaan di Bali justru dari orang terdekatnya sendiri

6 Fakta Tentang Pelecehan Seksual Perempuan dan Anak di BaliPixabay.com/Pexels

Buda mengungkapkan, kebanyakan pelaku pemerkosaan di pedesaan wilayah Provinsi Bali adalah orang terdekat dan sangat disegani oleh korban. Sementara orang lain menilai pelaku bukan orang yang melakukan pemerkosaan.

Kejadian ini biasanya terungkap bermula dari kehamilan korban atau dari orang yang mengetahui. Sangat jarang bagi anak-anak yang memiliki kemauan untuk mengungkapkan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Apakah karena sengaja memilih menutupi, atau juga karena tidak ada pemahaman kalau kejadian itu termasuk dalam kategori kekerasan.

“Karena merasa tingkat kenyamanan, ketakutan, rasa malu dan rasa kasihan lebih banyak juga dari korban. Kalau kakek saya di penjara gitu. Sedih dia, ada rasa itu. Kalau gak sampai hamil. Intinya ada bukti, kalau tidak jarang mau mengungkapkan. Pasti dipendam itu,” jelasnya.

Sejauh kasus yang Buda tangani, para korban pemerkosaan ini harus di-support agar tidak memiliki rasa malu dan minder kepada teman-temannya. Pun dalam konteks pemulihan mentalnya, jarang ditemui korban yang sampai depresi berat. Buda menekankan bahwa pendampingan korban kekerasan seksual ini juga tidak mudah.

2. Kasus perkosaan di perkotaan wilayah Bali justru dilakukan oleh orang yang tidak dikenal

6 Fakta Tentang Pelecehan Seksual Perempuan dan Anak di BaliPengacara sekaligus Penasihat Lembaga Bantuan Hukum Bali Woman Crisis Center (LBH Bali WCC), Ni Nengah Budawati. (Dok.IDN Times/Istimewa)

Sementara itu kasus perkosaan di perkotan wilayah Bali, menurut Buda, justru dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal, yang kini sering disebutnya sebagai predator anak. Bahkan kasus semacam ini sempat membuat gempar Bali, dengan tersangka bernamaMochammad Davis Suharto alias Codet yang memperkosa 12 anak-anak SD di Bali dan Batam. Kasus ini terungkap di tahun 2010 lalu. Tujuh orang anak SD di Batam menjadi korban rentang April–September 2009. Lalu lima orang anak di Bali menjadi korban rentang Februari–April 2010.

3. Kaum millennial cenderung mengabaikan dan perlindungan masyarakat di Bali tidak ada

6 Fakta Tentang Pelecehan Seksual Perempuan dan Anak di Balipexels/marina shatskih

Bertahun-tahun menangani kasus kekerasan kepada perempuan dan anak, Buda menyampaikan bahwa di zaman sekarang yang notabene kaum millennial, justru mengabaikan pengetahuan tentang adanya hukum perlindungan hukum untuk perempuan dan anak. Para millennial justru tahu tentang hukum-hukum yang secara universal saja.

Dengan kondisi yang sekarang serba digital ini, para millennial mengabaikan hukum-hukum yang bisa melindungi dirinya dari kekerasan. Buruknya lagi, perlindungan oleh masyarakat di Bali pun tidak ada. Masyarakat di Bali sendiri merasa bahwa mereka tidak memiliki ranah-ranah di wilayah publik orang lain, untuk turut ikut campur.

“Tidak bakalan di Bali orang nyelonong langsung laporan. Gak bakalan. Semua kasus yang kami tangani itu telepon dulu, konseling dulu, rahasia, rahasia, rahasia. Lama–lama baru terbuka dan baru ketemu. Karena malu. Sangat rendah pengetahuan hukumnya dan sangat tidak percaya ada perlindungan hukum untuk perempuan dan anak,” tekannya.

Oleh karena itu Buda yang kini juga menjabat sebagai Ketua P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Tabanan ini menggandeng para bidan. Bidan-bidan inilah yang dinilainya menjadi garda utama bagi perempuan dan anak-anak korban kekerasan yang memeriksakan diri.

4. “Siulan” adalah bentuk sederhana pelecehan seksual yang tidak disadari banyak perempuan

6 Fakta Tentang Pelecehan Seksual Perempuan dan Anak di Balimarkturner.net

Buda menjelaskan, bentuk pelecehan seksual yang kerap perempuan hadapi, namun mereka tidak sadar, adalah siulan yang ditujukan kepada si perempuan karena kemolekan tubuh yang dilihat lawan jenis.

“Disiuli saja sudah. 'Eh lu cantik', itu udah gak benar. Itu kan bahasa-bahasa dalam konteks ketubuhan perempuan tuh. Sepanjang itu menyangkut ketubuhan perempuan, itu tidak boleh. Cantiknya kamu dengan bahasa-bahasa verbal. Apalagi dengan gestur tubuh yang sedikit aja mengarah ke penunjukan pencitraan tubuhnya perempuan,” jelas Buda.

“Misalkan kedipan mata, gestur tubuh yang menggoda. Laki-laki itu udah gak benar. Pokoknya sepanjang perempuan itu tidak nyaman apalagi sampai disentuh susunya, sentuh pantat. Gak boleh itu,” lanjutnya.

Menurutnya, kekerasan seksual itu sampai kepada 15 identifikasi kekerasan seksual, termasuk pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, kawin gantung, dan hal-hal lain yang mengarah pada ketubuhan perempuan menjadi cedera, itu sudah termasuk kekerasan seksual.

5. Pelaporan kekerasan seksual sudah cukup dengan pengakuan korbannya saja

6 Fakta Tentang Pelecehan Seksual Perempuan dan Anak di BaliIlustrasi. (IDN Times/Arief Rahmat)

Kalau urusannya terkait dengan perlindungan perempuan dan anak, terkadang pengakuan korban melalui bukti petunjuk visum saja sudah cukup. Misalkan suami memperkosa istri. Kondisi ini tentu tidak mungkin. Malah yang ada, perempuan yang minta jatah tetapi tidak diberi oleh sang suami. Sesederhana inipun juga sudah masuk dalam kategori kekerasan seksual.

“Pokoknya intinya begini. Kewaspadaan itu penting. Menjaga jarak dengan bentuk persahabatan juga penting. Mencari teman sebenarnya penting dengan lingkungan. Kondisikanlah lingkungan kita jauh dari kecenderungan menjadi korban,” sarannya.

Kasus kekerasan seksual itu penting untuk dilaporkan. Kenapa? Karena pemberian efek jera kepada pelaku itu sangat penting. Sebab kalau ada kasus yang kita ketahui namun tidak dilaporkan dan berharap pelaku berubah, itu salah besar.

“Gak mungkin dia hanya tahu salahnya. Itu pun kita ber-gambling. Belum tentu juga dia sadar. Tapi setidaknya memberi efek jeranya, dan masyarakat tahu dia. Kemudian dihukum gitu. Itu sebenarnya hal yang penting,” terangnya.

6. Buda kritisi pemberitaan media yang menjelaskan kronologi pelecehan seksual dan pemakaian nama bunga

6 Fakta Tentang Pelecehan Seksual Perempuan dan Anak di Bali(Ilustrasi) IDN Times/Arief Rahmat

Sebagai pendamping korban pelecehan seksual, Buda mengkritisi pemberitaan di beberapa media, yang kebanyakan menjelaskan kronologi pelecehan terjadi. Karena menurutnya itu akan menginspirasi orang lain hingga keinginan untuk berbuat.

“Buatlah berita yang meng-campaign. Kampanyekan anti kekerasan seksual. Bukan menggambarkan kronologis kasus. Yang saya tidak suka, kekerasan seksual itu pentingnya adalah bagaimana mengemas berita itu menjadikan orang takut berbuat,” terangnya.

Pun penulisan terkait nama korban yang memakai nama bunga, dirasa Buda tidak elok. Lebih baik memakai nama korban namun dengan inisial. “Kalau kemudian mengatakan tentang identitas korban, mbok ya sampai Kecamatan saja. Jangan bikin bunga, cempaka tuh gak usah. Inisial nama begitu. Gak usah bunga cempaka itu. Menurut saya tuh gak elok saja,” imbaunya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya